[Ma, Kakak mau ke tempat Papa.][Ke tempat Papa? Beda pulau, Nak.][Naik pesawat Ma, Hamid juga katanya mau ikut. Boleh 'kan, Ma?]Dila terdiam sejenak. Bagaimana mungkin dia mengiyakan, melepas anak gadis dan bujang yang bahkan sekalipun belum pernah keluar kota seorang diri, apalagi jika naik pesawat. Sungguh tidak diterima akal pikirannya.[Jangan Kak, bahaya. Kakak nggak tahu pasti 'kan alamatnya di sana. Jauh perjalanannya, kalau dari Bandara sampai lebih lima jam supaya bisa sampai ke desa tempat tinggalnya Papa.][Nanti Kakak pedoman sama Google Map, Ma.][Bukan masalah Google Map nya Kak, tapi keselamatan Kakak. Siapa yang mau jamin? Nunggu aja dulu ya, siapa tahu besok Papa udah sadar.]Safia terdiam sejenak, masih ingin berdebat tapi sangat tahu jika wanita itu tidak akan mengijinkan ia pergi jauh seorang diri.[Nggak papa, Mama yakin pasti Papa akan sadar. Yang penting kalian terus berdoa ya untuk kesembuhan Papa. Nanti biar Mama telpon Dita untuk nanyakan kabarnya.][Kaka
Sudah empat hari dari berita Mas Wisnu koma berlalu. Bu Rena memberi kabar bahwa keadaan mantan suamiku itu belum juga membaik. Jujur, aku memang mengkhawatirkan keadaan Mas Wisnu, terlebih jika melihat Safia yang selalu merengek minta ditemani menjenguk sang papa. Tapi perasaan itu hanya sebatas mengkhawatirkan seorang kerabat. Tidak lebih.Tapi yang membuatku sangat kesal, kenapa Dita sampai tega meninggalkan Mas Wisnu. Padahal di saat seperti ini, kehadiran seorang istri tentu sangat berpengaruh. Siapa tahu dengan dirawat oleh tangannya sendiri, Mas Wisnu justru bisa sadarkan diri.Belum ada yang tahu kenapa Dita pergi dan kemana dia menghilang. Bahkan untuk biaya rumah sakit yang tak sedikit, wanita itu benar-benar lepas tangan. Syukur Bu Rena punya inisiatif untuk menjual mobil, untuk menutupi hutang-hutang Mas Wisnu serta kebutuhan lainnya.Dan yang paling kusyukuri adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah, dimana Bu Rena mau menjaga Mas Wisnu selama ia terbaring tak sadarkan
"Tentu Mas bersedia, 'kan sudah pernah Mas bilang dahulu.""Iya, Mas. Dila cuma merasa nggak yakin aja sama jawaban Mas saat itu.""Tapi sekarang udah yakin 'kan?"Farhan menggerakkan kembali tangannya memeluk sang istri, lalu mengecup di kening. Dila menerima dengan perasaan bahagia."In Syaa Allah jika untuk kebahagiaan anak-anak, Mas akan mendukung.""Safia pasti akan sangat bahagia, Mas."Mereka saling membalas senyum."Habis makan malam nanti kita beritahu anak-anak akan hal ini. Sebaiknya kita langsung berangkat besok.""Besok?""Mumpung weekend. Tapi malam senin harus langsung balik. Mas belum bisa cuti.""Iya, Mas. Aku setuju."Dila memeluk suaminya penuh bahagia. Perasaan sayang dan cinta semakin subur tumbuh di dalam dada. Sebuah perjuangan berat tapi berbuah bahagia. Ia kini mendapat pendamping yang benar-benar bisa mencintai tidak hanya pada dirinya sendiri tapi juga pada anak-anak sambung dari pernikahan pertamanya.*Perjalanan satu jam lebih tidak membuat Dila dan anak-
Aku menarik napas panjang membaca pesan yang dikirimkan Dita ke ponsel. Hanya sampai di sinikah perjuangannya?Pikiran kini tertuju pada Mas Wisnu, kasihan kamu Mas jika tahu Dita tak siap hidup susah bersamamu. Kuputuskan untuk membalas pesannya.[Semoga kamu tidak menyesal dengan keputusanmu ini, Dit.]Tak ingin basa basi, sebab jika untuk memberi nasihat dulu saat dia mendatangi rumah di Jakarta. Aku sudah cukup banyak memberinya nasihat yang kuyakini dapat membuat rumah tangga mereka akan sampai Jannah. Ternyata, semua tak seperti harapan.Kusimpan ponsel dalam tas, langkah kembali tergerak menuju tempat tujuan semula. Bertemu Rabb pemilik seluruh alam. Usai melaksanakan shalat empat rakaat, aku kembali mengangkat dua tangan memohon kesembuhan untuk Mas Wisnu.Setelah selesai shalat, diri kembali ke depan ruang ICU. Betapa terkejut saat Safia berlari menghampiri membawa kabar gembira."Ma, Papa sudah sadar."Kedatangan Safia diikuti Bu Rena, beliau menatapku di kejauhan. Dua netr
Pak Yasir membuka pagar, lalu naik kembali ke mobil dan menjalankan kendaraan sampai ke halaman. Pandangan ini masih tertuju pada Dita yang bersiap bangkit ketika melihat mobilku masuk. Kendaraan berhenti sempurna, tapi aku justru merasa malas untuk turun. Melihat wajah Dita, ada amarah yang berusaha menguasa hati. Tapi semua harus kuselesaikan, sesulit apapun itu.Dengan dibantu supir, akhirnya aku turun dari mobil dan duduk di atas kursi roda. Setelah sempurna mendudukkan diri, kualihkan pandangan menatap Dita yang menyunggingkan senyuman untuk diri ini."Masuk sekarang Pak Wisnu?" tanya Pak Yasir ragu.Kuanggukkan kepala. Lalu lelaki paruh baya itupun mendorong kursi roda yang kududuki untuk lebih dalam menjejak teras.Hati masih tak menyangka jika Dita berani menampakkan diri tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia justru berterima kasih pada Pak Yasir."Saya minta tinggalkan kami, Pak.""Baik, Mas."Pak Yasir berjalan kaki keluar pagar lalu berbelok ke kiri dan entah kemana mengang
"Papa?"Lekas gadis itu mengangkat telpon. Suara cukup berisik terdengar di seberang sana. Seperti api yang sedang melahap bangunan."Papa, apa yang terjadi?""Safia ... Papa-"Sambungan telpon dibiarkan hidup, tapi suara Wisnu tak lagi terdengar."Pa, Papa. Papa kenapa? Papa nggak kenapa-kenapa 'kan?"Tak ada jawaban."Papa dengar Safia 'kan Pa. Apa yang terjadi, Pa?"Masih tak ada jawaban, dengan begitu ketakutan sang anak berlari keluar kamar. Ia abaikan perasaan tak enak lalu mengetuk pintu kamar mamanya."Ma, Mama ...."Tak ada jawaban, Safia kembali memanggil sang ibu."Mama ....."Ketukan di pintu lebih dikencangkan."Ada apa, Kak?""Ma, bisa bicara sebentar.""Iya, sebentar Kak."Tak lama pintu kamar Dila terbuka, wanita yang memakai kimono itu menatap sang anak."Ada apa, Kak? Nggak bisa tidur?""Papa, Ma.""Papa kenapa?""Papa barusan nelpon, tapi suaranya aneh. Perasaanku nggak enak, Ma. Aku coba nelpon lagi nggak diangkat. Mama punya nomor telpon siapa gitu yang bisa dihub
[Dila, kamu tahu nggak kabar terbaru Dita?]Sari mengirim pesan padaku.[Emang ada kabar apa, Sar?][Coba buka IG Dita, kemarin-kemarin dia 'kan sempat bercadar tu ceritanya, eh tau-tau kemarin majang foto nggak pakai jibab, mana dandanannya udah kayak artis Bollywood. Coba deh kamu cek, dapat banyak hujatan. Kasihan.][Yang benar, Sar?][Iya benar, Dila. Masak iya aku bohong. Kasihan ya, kukira benaran dia insyaf dan mau hijrah. Ternyata ada maksud pastinya itu.]Aku menghela napas panjang. Dulu saat pertama melihat Dita berniqab, jujur perasaan hati cukup gembira. Kukira dia benar-benar sudah berubah ke arah yang lebih baik. Tapi mendengar kabar bahwa ia tak mau mendampingin Mas Wisnu yang tertimpa musibah. Jujur hati begitu kecewa.Dan sekarang, apa yang Dita lakukan semakin membuatku malu telah mengenalnya.[Sari, kebetulan aku lagi diluar ne. Nanti biar aku cek deh.][Oh yaudah, lanjut aja say. Aku cuma nggak mau kamu ketinggalan berita aja. Oke ya, jangan lupa dicek.]Kututup te
Dita tak menjawab ucapan Wisnu, tapi detik berikutnya dia bangkit dan keluar dari ruangan tersebut. Wanita itu berlari kencang, melewati lalu lalangnya manusia hingga sampai di ruang tunggu. Dia hempaskan tubuh di atas kursi, air mata kembali mengalir.Hatinya sakit, tapi ia tak tahu harus seperti apa meluapkan rasa itu. Sesak memenuhi ruang dada, bayangan diawal pertemuan dengan Wisnu, perdebatan ketika Dila tahu perselingkuhannya dengan sang suami, hingga sampai pada suatu saat dimana ia harus dirawat oleh psikiater tersebab menderita trauma psikologis. Ia ingat bagaimana Wisnu menemani, memberi semangat bahkan melakukan apapun yang dirinya butuhkan. Pernah suatu ketika Wisnu tak tidur, hanya untuk mendengar curhatan serta tangisan yang terus berderai tersebab ulah ibu mertua dan ipar.Wisnu adalah lelaki baik dan suami yang bertanggung jawab. Tapi kenapa dengan dirinya? Kenapa ketika lelaki itu mengalami musibah, dia justru pergi dan tak siap mendampingi?Penyesalan memenuhi relun