"Ijinkan aku bicara sebentar saja Mas dengan Dila."
"Kumohon jangan sekarang, Dit."
"Kenapa, Mas? Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita yang sudah tidak bisa terpisahkan lagi. Tolong, Mas."
Aku mendengar semuanya. Jadi ini maunya? Baik, aku akan memberi apa yang dia mau, tapi sebelumnya, biar kuajarlan bagaimana sakitnya menginginkan sesuatu dengan cara yang tidak baik.
"Siapa, Mas?"
Aku pura-pura tidak tahu. Lalu berjalan hingga mendekati mereka berdua. Barulah kupasang wajah marah.
"Dila, aku minta maaf sama kamu. Sungguh aku tidak tahu jika Mas Wisnu adalah suamimu."
Aku menatapnya tenang, meski hati sekuat tenaga ingin mengamuk.
"Sekarang kamu 'kan sudah tahu semuanya, maka mundurlah. Aku sebagai istri pertama merasa tersakiti dengan pernikahan kalian yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Coba kau ada di posisiku, Dit. Suami yang kau cintai ternyata tega menikah diam-diam dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatmu sendiri. Bagaimana perasaanmu, Dit?"
Dia terdiam.
"Terus apa maksudmu mengatakan bahwa Mas Wisnu menikahimu dengan alasan aku tidak mau ikut ke Kalimantan dan berselingkuh?"
Pandangan Mas Wisnu kini tertuju pada Dita.
"Baik, aku akan mengakui semuanya Dil. Jujur aku malu sama kamu sesaat setelah mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istri kedua dari seorang lelaki. Naluriku menuntun untuk berbohong. Bahkan saat Mas Wisnu menelpon ketika kita pertama bertemu, aku juga membohongimu dengan mengatakan bahwa Mas Wisnu bekerja sebagai supir, maafkan aku Dil. Aku terlanjur mencintai Mas Wisnu hingga menerima menjadi yang kedua tanpa sepengetahuan istri pertama Mas Wisnu yaitu kamu. Jujur aku tak pernah tahu jika kamulah istri pertamanya, Dil. Maafkan aku."
"Kau bisa saja berkata apapun, tapi karena kerelaanmu, rumah tanggaku hancur. Sekarang hatiku sudah sakit, aku tidak bisa menerima pernikahan kalian ini karena aku tidak siap berbagi. Maka itu aku mohon, mundurlah Dit."
Dila meraih dua tanganku.
"Dil, aku minta maaf atas semua ini. Sungguh aku tidak ada niat untuk menghancurkan rumah tanggamu. Kami kenal baru dua bulan ini, satu bulan kemudian dia datang membawa lamaran. Aku tidak bisa menolak takdir. Makanya aku menerima lamaran suamimu. Aku tidak minta macam-macam, setelah kamu dan anakmu pindah kemari, aku hanya minta dua malam saja. Selebihnya milikmu, Dil."
Aku tercengang sekaligus tak percaya dengan jalan pikiran Dita.
"Kamu nggak sedang bermimpi 'kan, Dit? Apa Mas Wisnu datang melamarmu dengan paksaan? Membawa pedang atau senjata, lalu jika kau menolak maka akan dibunuh? Tidak 'kan?"
Wajah Dita kini tertunduk.
"Manusia dibekali akal untuk berpikir. Sudah tahu Mas Wisnu lelaki beristri, harusnya kamu bisa menolak. Pernikahan bukan permainan, bahkan dalam Al-Qur'an Allah sebutkan sebagai perjanjian yang suci. Kamu tidak bisa masuk begitu saja tanpa ijin dariku, istri pertama Mas Wisnu. Tapi yang kamu lakukan apa? Kamu menerima lamaran Mas Wisnu tanpa meminta ijin padaku. Artinya kamu memang ingin merusak rumah tanggaku, Dit. Jangan pernah gunakan takdir untuk alasan nafsu."
"Baik aku salah. Sebab itulah aku minta maaf padamu. Sekaligus, kumohon jangan suruh aku bercerai dari Mas Wisnu, apapun akan kulakukan asal jangan bercerai, Dil. Jujur, aku sudah begitu mencintainya. Aku mohon Dil, mengalahkan sedikit. Aku janji akan menjadi saudaramu. Aku janji akan menjaga sikapku. Please kumohon, mengertilah."
Aku menarik napas berat. Entah kenapa di hadapan mereka justru, dua netra ini tak bisa sedikitpun mengeluarkan cairannya.
"Jangan meminta yang tak bisa kusanggupi. Aku minta maaf."
"Lalu aku harus mundur? Mas, bagaimana ini? Mas kenapa diam saja? Mas mengiyakan keinginan istri pertama Mas untuk menceraikanku?"
"Sudah kukatakan, jangan memperburuk suasana. Bersabarlah, supaya semua bisa dingin. Tapi kamu tidak mau mendengar."
"Aku tidak bisa sabar, Mas. Aku butuh ketegasanmu sebagai lelaki yang sudah meminangku."
Aku hanya diam mendapati pertengkaran mereka.
Mungkin sebelum ini dibenakmu hanya terpikir bahwa menikah dengan siapapun tetap isinya syurga. Namun kini, setelah kau jalani baru kau paham. Bahwa tidak mudah menjadi yang ketiga dalam rumah tangga orang lain.
Karena cek cok yang terjadi di rumah, beberapa orang mulai berdatangan dan berdiri di ambang pintu. Satu diantara mereka bertanya,
"Apa ada yang bisa dibantu Pak Wisnu?"
"Tidak, Mas. Ini masalah pribadi."
"Oke, baik lanjutkan saja."
Mereka kembali pergi satu persatu.
"Dita sebaiknya kamu pulang, ya. Berikan ruang untuk aku berbicara dengan Dila," ucap Mas Wisnu sembari menatap Dita dan menyentuh lengannya. Dada ini kembali dihujam rasa cemburu.
Entah dari mana asalnya niat itu, aku bangkit dan berpura-pura terjatuh. Rintihan pelan kugaungkan hingga Mas Wisnu kaget dan menangkap tubuh ini. Sengaja kumemeluk tubuh suamiku sedikit erat. Walau jujur, hati enggan sekali bersentuhan kembali dengannya. Tapi demi, supaya Dita tahu bahwa berbagi cinta itu bukan soal mudah, aku akan mengalahkan egoku.
Dan tak lupa dua netra ini kutajamkan ke arah wanita itu.
"Mama nggak papa? tanya Mas Wisnu seraya mengangkat tubuh ini hingga pada posisi tegak.
Dita menatapku dengan dua mata yang mulai berkaca-kaca. Hah, baru segini saja dia sudah kacau? Lalu bagaimana lagi perasaanku?
"Tiba-tiba Mama pusing sekali, Pa."
"Pasti ini karena Mama belum makan. Papa antar Mama beristirahat."
Aku menerima perhatiannya dengan perasaan sakit di dada, tapi mencoba ikhlas dan ikut saja seraya memandangi wajah Dita. Kini kami sudah sampai di kamar. Mas Wisnu membantuku naik ke atas ranjang. Setelah itu ia berpamitan keluar.
"Mas suruh Dita pulang dulu, ya."
Aku membuang wajah. Setelah pintu kamar ditutup, tak sabar ingin kembali menyaksikan apa yang terjadi diluar sana. Lekas tubuh menuruni ranjang lalu membuka sedikit daun pintu. Mess ini tidak terlalu luas, jadi jarak kamar utama dengan ruang tamu masih dalam jangkauan indra pendengar.
"Tega Mas nyuruh aku pulang sendiri?"
"Kumohon mengertilah, Dit. Saat ini Dila sangat membutuhkanku di sisinya. Sebagai akibat dari perbuatan kita. Dan sebagai yang kedua, kamu harus paham dan harus bisa lebih bersabar."
"Tapi aku masih ingin sama kamu, Mas," ucap Dita seraya memeluk Mas Wisnu.
Kubuang kembali wajah ke arah lain, rasanya muak sekali melihat tingkah manja serta penerimaan Mas Wisnu.
Awas kamu, Mas.
Tak lagi sanggup melihat adegan pemancing emosi itu. Tubuh kini kududukkan di atas meja rias. Dua netra memandangi wajah di depan cermin. Apakah benar wajah ini tak lagi semenarik dulu di matanya?
Betapa Dita yang mulus itu berhasil membuat Mas Wisnu jatuh cinta. Padahal dulu ia begitu mengagumi kecantikanku.
Sakit berkali-kali menghujam dada. Tapi aku tak ingin menyerah. Hanya ada satu cara untuk membuat Mas Wisnu menyadari kesalahannya.
Pintu kamar kembali terbuka. Mas Wisnu kini duduk di atas ranjang.
"Mama mau sarapan apa? Biar Papa belikan?"
"Mama tidak nafsu makan."
"Sedikit saja, Ma."
"Mama bilang nggak mau, jangan memaksa, Pa."
Mas Wisnu terhenyak.
"Mama mau pulang ke Jakarta. Di sana, Mama akan menemui Ibu," ucapku seraya bangkit menuju lemari untuk mengemas pakaian.
"Mama mau ngomong apa ke Ibu?" cegat Mas Wisnu.
"Mama akan berterus terang sama Ibu jika ternyata Papa sudah mendua tanpa meminta ijin pada Mama."
Dua netra Mas Wisnu membelalak. Selama ini, ibu mertua sangat menyayangiku. Jika ia tahu perihal pengkhianatan Mas Wisnu. Pasti beliau akan sangat kecewa.
"Mama jangan begini, Ma."
***
Bersambung
Utamakan baca Al-Quran.
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an
"Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih
Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me
Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b