Share

5. Kesaksian Dita

"Ijinkan aku bicara sebentar saja Mas dengan Dila."

"Kumohon jangan sekarang, Dit."

"Kenapa, Mas? Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita yang sudah tidak bisa terpisahkan lagi. Tolong, Mas."

Aku mendengar semuanya. Jadi ini maunya? Baik, aku akan memberi apa yang dia mau, tapi sebelumnya, biar kuajarlan bagaimana sakitnya menginginkan sesuatu dengan cara yang tidak baik.

"Siapa, Mas?"

Aku pura-pura tidak tahu. Lalu berjalan hingga mendekati mereka berdua. Barulah kupasang wajah marah.

"Dila, aku minta maaf sama kamu. Sungguh aku tidak tahu jika Mas Wisnu adalah suamimu."

Aku menatapnya tenang, meski hati sekuat tenaga ingin mengamuk.

"Sekarang kamu 'kan sudah tahu semuanya, maka mundurlah. Aku sebagai istri pertama merasa tersakiti dengan pernikahan kalian yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Coba kau ada di posisiku, Dit. Suami yang kau cintai ternyata tega menikah diam-diam dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatmu sendiri. Bagaimana perasaanmu, Dit?"

Dia terdiam. 

"Terus apa maksudmu mengatakan bahwa Mas Wisnu menikahimu dengan alasan aku tidak mau ikut ke Kalimantan dan berselingkuh?"

Pandangan Mas Wisnu kini tertuju pada Dita.

"Baik, aku akan mengakui semuanya Dil. Jujur aku malu sama kamu sesaat setelah mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istri kedua dari seorang lelaki. Naluriku menuntun untuk berbohong. Bahkan saat Mas Wisnu menelpon ketika kita pertama bertemu, aku juga membohongimu dengan mengatakan bahwa Mas Wisnu bekerja sebagai supir, maafkan aku Dil. Aku terlanjur mencintai Mas Wisnu hingga menerima menjadi yang kedua tanpa sepengetahuan istri pertama Mas Wisnu yaitu kamu. Jujur aku tak pernah tahu jika kamulah istri pertamanya, Dil. Maafkan aku."

"Kau bisa saja berkata apapun, tapi karena kerelaanmu, rumah tanggaku hancur. Sekarang hatiku sudah sakit, aku tidak bisa menerima pernikahan kalian ini karena aku tidak siap berbagi. Maka itu aku mohon, mundurlah Dit."

Dila meraih dua tanganku.

"Dil, aku minta maaf atas semua ini. Sungguh aku tidak ada niat untuk menghancurkan rumah tanggamu. Kami kenal baru dua bulan ini, satu bulan kemudian dia datang membawa lamaran. Aku tidak bisa menolak takdir. Makanya aku menerima lamaran suamimu. Aku tidak minta macam-macam, setelah kamu dan anakmu pindah kemari, aku hanya minta dua malam saja. Selebihnya milikmu, Dil."

Aku tercengang sekaligus tak percaya dengan jalan pikiran Dita.

"Kamu nggak sedang bermimpi 'kan, Dit? Apa Mas Wisnu datang melamarmu dengan paksaan? Membawa pedang atau senjata, lalu jika kau menolak maka akan dibunuh? Tidak 'kan?"

Wajah Dita kini tertunduk.

"Manusia dibekali akal untuk berpikir. Sudah tahu Mas Wisnu lelaki beristri, harusnya kamu bisa menolak. Pernikahan bukan permainan, bahkan dalam Al-Qur'an Allah sebutkan sebagai perjanjian yang suci. Kamu tidak bisa masuk begitu saja tanpa ijin dariku, istri pertama Mas Wisnu. Tapi yang kamu lakukan apa? Kamu menerima lamaran Mas Wisnu tanpa meminta ijin padaku. Artinya kamu memang ingin merusak rumah tanggaku, Dit. Jangan pernah gunakan takdir untuk alasan nafsu."

"Baik aku salah. Sebab itulah aku minta maaf padamu. Sekaligus, kumohon jangan suruh aku bercerai dari Mas Wisnu, apapun akan kulakukan asal jangan bercerai, Dil. Jujur, aku sudah begitu mencintainya. Aku mohon Dil, mengalahkan sedikit. Aku janji akan menjadi saudaramu. Aku janji akan menjaga sikapku. Please kumohon, mengertilah."

Aku menarik napas berat. Entah kenapa di hadapan mereka justru, dua netra ini tak bisa sedikitpun mengeluarkan cairannya.

"Jangan meminta yang tak bisa kusanggupi. Aku minta maaf."

"Lalu aku harus mundur? Mas, bagaimana ini? Mas kenapa diam saja? Mas mengiyakan keinginan istri pertama Mas untuk menceraikanku?"

"Sudah kukatakan, jangan memperburuk suasana. Bersabarlah, supaya semua bisa dingin. Tapi kamu tidak mau mendengar."

"Aku tidak bisa sabar, Mas. Aku butuh ketegasanmu sebagai lelaki yang sudah meminangku."

Aku hanya diam mendapati pertengkaran mereka. 

Mungkin sebelum ini dibenakmu hanya terpikir bahwa menikah dengan siapapun tetap isinya syurga. Namun kini, setelah kau jalani baru kau paham. Bahwa tidak mudah menjadi yang ketiga dalam rumah tangga orang lain. 

Karena cek cok yang terjadi di rumah, beberapa orang mulai berdatangan dan berdiri di ambang pintu. Satu diantara mereka bertanya,

"Apa ada yang bisa dibantu Pak Wisnu?"

"Tidak, Mas. Ini masalah pribadi."

"Oke, baik lanjutkan saja."

Mereka kembali pergi satu persatu. 

"Dita sebaiknya kamu pulang, ya. Berikan ruang untuk aku berbicara dengan Dila," ucap Mas Wisnu sembari menatap Dita dan menyentuh lengannya. Dada ini kembali dihujam rasa cemburu. 

Entah dari mana asalnya niat itu, aku bangkit dan berpura-pura terjatuh. Rintihan pelan kugaungkan hingga Mas Wisnu kaget dan menangkap tubuh ini. Sengaja kumemeluk tubuh suamiku sedikit erat. Walau jujur, hati enggan sekali bersentuhan kembali dengannya. Tapi demi, supaya Dita tahu bahwa berbagi cinta itu bukan soal mudah, aku akan mengalahkan egoku.

Dan tak lupa dua netra ini kutajamkan ke arah wanita itu.

"Mama nggak papa? tanya Mas Wisnu seraya mengangkat tubuh ini hingga pada posisi tegak.

Dita menatapku dengan dua mata yang mulai berkaca-kaca. Hah, baru segini saja dia sudah kacau? Lalu bagaimana lagi perasaanku?

"Tiba-tiba Mama pusing sekali, Pa."

"Pasti ini karena Mama belum makan. Papa antar Mama beristirahat."

Aku menerima perhatiannya dengan perasaan sakit di dada, tapi mencoba ikhlas dan ikut saja seraya memandangi wajah Dita. Kini kami sudah sampai di kamar. Mas Wisnu membantuku naik ke atas ranjang. Setelah itu ia berpamitan keluar.

"Mas suruh Dita pulang dulu, ya."

Aku membuang wajah. Setelah pintu kamar ditutup, tak sabar ingin kembali menyaksikan apa yang terjadi diluar sana. Lekas tubuh menuruni ranjang lalu membuka sedikit daun pintu. Mess ini tidak terlalu luas, jadi jarak kamar utama dengan ruang tamu masih dalam jangkauan indra pendengar.

"Tega Mas nyuruh aku pulang sendiri?"

"Kumohon mengertilah, Dit. Saat ini Dila sangat membutuhkanku di sisinya. Sebagai akibat dari perbuatan kita. Dan sebagai yang kedua, kamu harus paham dan harus bisa lebih bersabar."

"Tapi aku masih ingin sama kamu, Mas," ucap Dita seraya memeluk Mas Wisnu.

Kubuang kembali wajah ke arah lain, rasanya muak sekali melihat tingkah manja serta penerimaan Mas Wisnu.

Awas kamu, Mas.

Tak lagi sanggup melihat adegan pemancing emosi itu. Tubuh kini kududukkan di atas meja rias. Dua netra memandangi wajah di depan cermin. Apakah benar wajah ini tak lagi semenarik dulu di matanya?

Betapa Dita yang mulus itu berhasil membuat Mas Wisnu jatuh cinta. Padahal dulu ia begitu mengagumi kecantikanku. 

Sakit berkali-kali menghujam dada. Tapi aku tak ingin menyerah. Hanya ada satu cara untuk membuat Mas Wisnu menyadari kesalahannya.

Pintu kamar kembali terbuka. Mas Wisnu kini duduk di atas ranjang.

"Mama mau sarapan apa? Biar Papa belikan?"

"Mama tidak nafsu makan."

"Sedikit saja, Ma."

"Mama bilang nggak mau, jangan memaksa, Pa."

Mas Wisnu terhenyak.

"Mama mau pulang ke Jakarta. Di sana, Mama akan menemui Ibu," ucapku seraya bangkit menuju lemari untuk mengemas pakaian.

"Mama mau ngomong apa ke Ibu?" cegat Mas Wisnu.

"Mama akan berterus terang sama Ibu jika ternyata Papa sudah mendua tanpa meminta ijin pada Mama."

Dua netra Mas Wisnu membelalak. Selama ini, ibu mertua sangat menyayangiku. Jika ia tahu perihal pengkhianatan Mas Wisnu. Pasti beliau akan sangat kecewa.

"Mama jangan begini, Ma."

***

Bersambung

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wahyuni
seneng banget ih, slalu mengingatkan utk membaca Alquran.. terima kasih Thor semoga Allah memudahkan rejeki kita semua ya..amiiin yra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status