Share

4. Pertengkaran Hebat

"Jangan terus menyebut pisah, Ma. Kita tidak boleh berpisah, jika memang Mama tidak setuju ...."

Mas Wisnu menarik napas panjang.

"Papa akan melepas Dita. Yang penting kita tetap bersama, kasihan anak-anak Ma jika pada akhirnya tahu kedua orang tua mereka justru bercerai."

Suara Mas Wisnu terdengar berat, aku tak menjawab karena satu kata lagi saja keluar dari mulut ini, maka tangisku akan pecah. Kubekap kembali mulut sekuat tenaga. Dia tak lagi berbicara. Hingga waktu yang lama, kami terus terbalut dalam kebisuan tentunya dengan dua kegundahan yang berbeda.

Jam terus bergulir, kini mata terasa lelah untuk terbuka dan ingin sekali kupejamkan walau sejenak. Namun, dering ponsel membuat kedua netraku kembali terbelalak.

Siapa yang sudah menelpon, apa Dita?

Mengingat nama sahabatku itu, rasanya amarah menyerbu kewarasan. Teganya dia menjadi yang ketiga diantara aku dan Mas Wisnu. Benarkah dia tidak tahu sama sekali jika yang menikahinya adalah suamiku?

Kutarik napas berat lalu membalikkan tubuh, sepertinya Mas Wisnu sudah tertidur. Suara ponselnya pun ia tak bereaksi. Dering pertama berhenti, kini lanjut dering kedua. Tubuhku sudah melongok hingga bisa menatap pada layarnya tulisan DT. Apa yang dia maksud Dita?

Tiba-tiba tubuh Mas Wisnu menggeliat, aku terperanjat hingga memutuskan kembali berbaring dan menarik selimut hingga menutupi kepala.

Terasa tempat tidur bergerak, tampaknya Mas Wisnu sudah bangkit dan mengecek ponselnya. Tak lama ...

"Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa," bisiknya kemudian mengecup kepalaku dari balik selimut. Aku menerima meski hati teramat gaduh. 

Rasanya ingin sekali kuhentikan langkah itu dan kembali kuhujani dengan ribuan kata-kata kekecewaan, tapi bibir ini kelu, badan bahkan tak bisa bergerak walau hanya untuk berbalik. 

Kurasakan kini Mas Wisnu sudah menuruni ranjang. Aku membuka sedikit selimut ingin tahu hendak kemana langkahnya tertuju. 

Ternyata dia keluar kamar sembari melihat layar ponsel.

Hati ini kembali menahan rasa sakit, pasti Mas Wisnu ingin pergi ke rumah Dita. Kutarik napas dalam. Ya Allah, kembalikan suamiku. Sungguh, diantara kekecewaanku padanya. Aku masih berharap rumah tangga ini utuh. Aku akan belajar memaafkan meski mungkin akan terasa berat. Bukan tersebab hati ini tak sakit, tapi tiga buah hati yang membutuhkan kami di sisi mereka.

Setelah terdengar mobil Mas Wisnu menjauh, dengan berat kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berwudhu. Jika jiwa menemukan keresahan, sajadahlah tempatku bersimpuh. Jika masalah yang menghampiri terasa amat berat hingga aku ingin berputus asa, hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu. Aku butuh bimbingan, aku butuh penerang hati ini untuk dapat mengambil sikap terbaik atas cobaan yang tengah kuhadapi.

Shalat tahajjud empat rakaat sudah selesai, kini lanjut witir tiga rakaat. Usai witir, dengan hati yang tak henti berucap istighfar dan air mata yang terus membasahi pipi, kutengadahkan kedua tangan.

Ya Rabb, hatiku sakit, lelaki yang teramat kupercaya telah mengkhianati diri. Apa yang harus kulakukan, maaf jika hati belum sanggup berbagi. Maaf jika diri tak siap diduakan. Bukan aku menolak syariatmu. Tapi aku tak siap terluka. Aku sakit bahkan ketika hanya melihatnya melirik wanita lain. Apalagi jika benar harus berbagi cinta. Aku tak mampu ya Allah. Tunjukkan yang terbaik dari-Mu ya Rabb.

Setelah menumpahkan segala resah hati, tubuh kembali kutarik ke atas ranjang. Dingin, tidak hanya tubuh yang terasa menggigil, tapi hati serasa beku. Mata terus teralih pada ranjang kosong yang ada di sebelah.

Sedang apa mereka di sana, benarkah yang dikatakan Mas Wisnu tadi, bahwa dia akan melepas Dita? Bagaimana jika sebaliknya, dia justru kembali terjerat dengan pesona sahabat durjanaku itu?

Hati terasa tersayat-sayat. Ibarat sebuah cermin, kini tiap bagianku telah pecah. Bisakah sempurna menyatu? Jika memang benar dia akan melepas Dita, bisakah hati kembali menerimanya dengan lapang dada.

Ingatan ini kembali terlempar pada tiga buah hati yang ada di rumah. 

Masih jelas di pandangan bagaimana kebahagiaan mereka tatkala menyambut sang ayah pulang setelah lama tak bertemu. Usia mereka memang bukan lagi anak-anak, tapi kedekatannya sama Mas Wisnu bahkan tak beda saat ketiganya masih balita.

Ya Allah, bagaimana jika mereka tahu papanya sudah menikahi wanita lain? Pasti perasaan mereka hancur. Lalu bagaimana jika karena masalah ini, aku dan Mas Wisnu memutuskan untuk bercerai. Sungguh aku tak ingin jiwa mereka rusak hanya karena perceraian kedua orang tuanya.

Bimbing hamba ya Allah ...

Beri kami yang terbaik.

*

Entah pukul berapa semalam aku tertidur, tapi saat kedua mata ini terbuka. Kudapati Mas Wisnu sudah tertidur di samping.

Entah jam berapa semalam dia pulang, tapi tampaknya lelaki itu masih terlelap dengan membawa sejuta beban. Tampak dari mata dan wajahnya.

Meski baru terbuka, otak ini kembali berputar.

Aku harus mencari keberadaan ponsel Mas Wisnu, entah kenapa penasaran dengan chat antara lelaki ini dengan Dita. Apakah sama dengan yang aku baca kemarin di ponsel wanita itu?

Dengan mengatur degup di dada, kumencari keberadaan benda pipih tersebut. Ternyata ada di saku celananya. Pelan, aku memasukkan jemari, dan menarik benda tersebut. Biasa Mas Wisnu kalau sudah tidur, tidak akan sadar kalau hanya diberi sedikit sentuhan. Kecuali sentuhan sedikit kuat disertai memanggil nama.

Berhasil, benda itu kini ada di tanganku.

Segera kubuka aplikasi W******p. Mata langsung tertuju pada nama DT.

Tak ada satupun pesan di dalamnya, pasti Mas Wisnu sudah menghapus. Ternyata lelaki memang lebih hati-hati menutupi kesalahannya.

Kuletakkan kembali benda itu, lalu bangkit ke kamar mandi. Pagi ini aku akan memutuskan untuk bertemu Dita, kami harus duduk berbicara. Apapun itu Dita, harus siap mundur.

Aku masih duduk di atas sajadah, saat kulihat dengan ekor mata Mas Wisnu bangun dari lelapnya tidur. 

"Mama sudah bangun, kenapa tidak bangunin Papa?"

Huh, dia masih bicara seolah tak pernah melakukan kesalahan besar. Kuabaikan! Hati masih sakit menerima perselingkuhannya.

Mas Wisnu bangkit dan duduk di hadapanku, masih dengan pakaian kemarin.

"Tolong jauhi Mama," ucapku penuh penekanan. Mas Wisnu menghela napas lalu mengangkat tubuh menuju kamar mandi.

Apa sebenarnya yang sudah terjadi antara dia dan Dita tadi malam? 

Padahal ingin sekali kutanyakan. Terutama tentang kenapa dia tega memfitnahku pada Dita. Tapi ah, mulut ini bahkan enggan berbicara padanya.

Mas Wisnu keluar dari kamar mandi, dengan cepat aku bergerak naik ke atas ranjang. Terlihat lelaki itu mulai melaksanakan shalat.

Aku diam, jangan pikir aku sepenuhnya sudah berdamai Mas, aku sedang membaca keadaan dan mencari tahu, kemana langkah akan menuntunku saat ini.

Lelaki itu sudah selesai shalat. Dia beranjak ke atas ranjang.

"Jangan seperti ini Ma, biacaralah walau sepatah kata pada Papa."

Aku menatapnya tajam.

"Apa yang harus Mama bicarakan pada lelaki yang bahkan tega memfitnah demi bisa diterima sebagai suami, meski statusnya masih suami dari wanita lain?"

Tatapan dan pertanyaanku membuat sorot matanya melemah.

"Benarkan Papa ngomong ke Dita kalau Mama yang nggak mau ikut ke Kalimantan, terus Papa juga yang ngomong kalau Mama di Jakarta selingkuh."

Wajah Mas Wisnu terlihat kebingungan, dua alisnya tertaut.

"Papa nggak pernah ngomong seperti itu. Papa cuma bilang ke Dita, kalau Papa sudah punya istri dan tiga orang anak. Tapi buat dia itu nggak masalah. Papa juga bilang jika status pernikahan sama dia sampai kapanpun cuma untuk dibawah tangan. Itupun dia oke."

Astaghfirullah, mendengar ucapan Mas Wisnu, aku terus beristighfar.

"Oke karena Papa belum jadi miliknya. Setelah memiliki, tentu akan timbul dalam diri Dira keinginan untuk diakui. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa dapat pengakuan jika tanpa persetujuan Mama? Yang pada akhirnya tentu dia akan meraunh-raung minta Papa mengemis sama Mama supaya mengijinkan Papa menikahi dirnya secara sah. Mama udah paham Pa, trik pelakor ngerebut hati laki orang. Belum lagi nanti kalau dari rahimnya lahir seorang bayi, tentu anak itu juga butuh pengakuan seorang ayah. Yang jelas, nikah kedua kalau didasari nafsu, hasilnya tak baik. Apalagi jika dilakukan sembunyi-sembunyi, seperti yang Papa lakukan ini. Papa merusak segalanya, hati Mama, kepercayaan dan cinta yang Mama punya, Pa."

Air mataku mengalir kembali. Tak dapat kututupi kekecewaan yang menghujam diri.

"Tolong Ma, jangan menangis lagi. Kasih tahu apa yang Mama mau? Papa janji akan melakukannya. Asal jangan begini terus, Mama bisa sakit."

Pandangan kami kembali bertemu. Dia tanya mauku? Apa jika kuberitahu dia akan bisa memenuhinya?

"Papa tanya apa yang Mama mau? Apa Papa yakin bisa memenuhinya jika Mama sebutkan keinginan Mama?"

"Papa janji, Ma. Asal jangan bercerai."

"Baik, jika Papa tidak mau kita bercerai. Maka putuskan hubungan Papa dengan Dita."

Dua netra Mas Wisnu membelalak.

"Ini permintaan yang berat, Ma. Janganlah yang ini, tolong minta yang lain."

"Kenapa? Karena Papa masih mencintainya? Masih belum puas berbulan madu?"

"Bukan itu, Ma. Dita sekarang istri Papa juga. Bagaimana kalau dia hamil, tentu Papa punya tanggung jawab pada anak yang ada dalam kandungannya itu."

"Kalau begitu, tinggalkan Mama," bentakku dengan tangis yang seketika kembali pecah.

"Mama tolong mengertilah. Jangan bercerai, Ma. Bagaimana perasaan anak-anak kita jika tahu kedua orang tuanya memilih bercerai? Pasti mereka akan tersakiti."

"Papa tidak tega menyakiti mereka, tapi Papa tega menyakitiku."

"Ma, kasih kesempatan untuk Papa membuktikan bahwa Papa bisa adil pada Mama dan juga Dita."

Hah? Jantung ini serasa ada yang menghunus dengan tajam. Dia bahkan tega berkali-kali menabur garam pada lukaku yang dia tabur sebelumnya.

"Maaf Pa, tidak sampai kapanpun."

"Apa alasan Mama menolak Papa berpoligami?"

"Astaghfirullah, Papa. Sekarang Mama tanya sama Papa, apa alasan Mama menerima Papa poligami? Apa Mama mandul? Tiga orang anak sudah Mama beri. Apa Mama berpenyakitan hingga tak bisa layani Papa? Nggak. Bahkan saat kita bertemu, Papa minta sampai berkali-kali pun Mama sanggup. Nggak ada alasan poligami yang disyariatkan yang Papa punya untuk meminta kesetujuan Mama."

"Tapi ini sudah terjadi, Ma. Papa mohon Mama legowo sedikit saja."

"Apapun yang Mama lakukan dalam pernikahan, semua Mama niatkan demi mendapat ridha Allah. Bagaimana mungkin Mama menerima Dita, jika hati Mama tidak rela. Mama takut jika ketidakridhaan ini akan mengubah perasaan Mama kepada Papa, akan membuat Mama membenci bahkan mendoakan Papa yang tidak baik. Sebab keikhlasan bukan hanya untuk diucapkan dalam lisan saja, tetapi untuk dilakukan sungguh sungguh dengan hati dan diwujudkan dengan tindakan. Jika Papa tidak bisa meninggalkan Dita. Tidak masalah. Toh, Mama juga tidak boleh meminta Papa menceraikan wanita itu. Tapi tolong, lepaskan Mama."

Mas Wisnu terdiam seribu kata. Apalagi yang bisa dia katakan. Sebagai istri yang sudah membersamainya selama belasan tahun, kini dia membuatku tak berarti apapun dalam pernikahan kami.

Aku dan Mas Wisnu masih terdiam, hingga terdengar suara pintu diketuk. Air mata yang mengalir di kedua pipi kuusap perlahan. 

"Papa buka pintunya dulu."

Mas Wisnu berjalan ke luar kamar. 

Karena merasa tak enak hati, akupun ikut keluar untuk mengecek siapa yang datang. 

Dua netra ini kini menatap tamu itu, yang tengah beradu mulut dengan Mas Wisnu di ruang tamu.

Dialah sahabat durjana yang kini menjadi adik maduku. Sudah kukatakan, dia tidak akan menunggu hamil untuk minta diakui. 

Lihatlah Mas, apa yang kukatakan benar bukan?

***

Bersambung

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
banyak bawang nya ...
goodnovel comment avatar
KokoSan
baguasshalwa iyim
goodnovel comment avatar
KokoSan
lumayaanlah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status