Home / Romansa / Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan / 6. Melepasnya Dengan Berat Hati

Share

6. Melepasnya Dengan Berat Hati

Author: Wahyuni SST
last update Last Updated: 2022-07-04 16:24:10

"Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?"

"Papa benar-benar minta maaf, Ma."

"Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."

Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah.

"Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?"

"Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."

Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. 

Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri.

"Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."

Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,

"Selesai. Kebetulan ada yang cancel dua orang. Penerbangan jam setengah delapan malam, Ma. Sekarang Papa keluar dulu cari makan, setelah itu kita langsung berkemas ya, Ma."

Aku kembali menghela napas, lalu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Dua netra terus memerhatikan Mas Wisnu yang melangkah keluar kamar. Entah kenapa hatiku berbisik, dia akan menemui Dita. 

*

Setengah jam berlalu, aku mendengar deru mobil Mas Wisnu kembali. Pintu kamar kini terbuka, dengan tergopoh lelaki itu bersimpuh di kakiku, membuat dada berdegup tak karuan.

"Ma, Papa mohon sekali ini saja. Dita kecelakaan, saat ini sudah dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya kritis. Papa minta ijin sama Mama untuk tetap tinggal di pulau ini sampai Dita sadarkan diri."

Deg.

Hatiku bagai ada yang menusuk dengan kuat. Berita apa lagi ini? Kupikir semua akan selesai di hadapan ibu, biar hatiku tenang. Tapi ternyata?

"Papa mohon, Ma. Setelah Dita sadar, Papa akan kembali ke Jakarta. Papa berjanji akan jujur pada Ibu tentang kesalahan Papa ini."

Wajahku yang tertunduk kini terangkat, membaca dalamnya sorot mata lelaki yang sudah membersamai hingga tiga belas tahun. Baru kali ini aku melihat ia memendam ketakutan selain saat mendengar berita bahwa aku atau anak-anakku sakit. Ah, aku lupa. Kini di hati Mas Wisnu, sudah ada nama wanita lain di sana.

"Pergilah," jawabku dengan suara berat.

Mas Wisnu terhenyak, dia lalu meraih dua jemari tanganku, tapi aku menariknya. Aku tahu dia sadar bahwa diri tak ikhlas, tapi karena kekhawatirannya pada Dita, kesadaran itu diabaikan. 

"Terima kasih Ma."

Mas Wisnu kini bangkit lalu tanpa kusadari ia mengusap pucuk kepala ini.

"Nanti Mama diantar sama supir kemarin ya, Ma," ucapnya seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet dan meletakkan di atas nakas.

"Pakai uang ini untuk membeli anak-anak sesuatu. Papa minta maaf tidak bisa mengantar."

Dia menatapku kembali sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Terasa ada yang mendesak keluar pada kedua mata. Aku menahan sekuat tenaga. Antara sakit, kecewa dan keinginan untuk menyerah. 

Andai tak teringat ada tiga buah hati, mungkin hati sudah memilih mundur. Menerima dimadu adalah perkara sulit, jika tak siap lahir bathin maka hanya akan menyakiti diri. Dan kukatakan bahwa diri ini tidak siap.

Beberapa tetangga tampak memperhatikanku yang kini menaiki mobil pesanan Mas Wisnu. Aku yakin karena keributan tadi pagi, sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia pribadi kini menjadi rahasia umum. Semoga saja tidak akan berpengaruh pada kontrak kerja Mas Wisnu di perusahaannya.

Aku duduk di belakang supir. Ada beberapa orang lainnya yang ternyata punya tujuan sama denganku. Pandangan ini kuedarkan keluar, menatap keindahan alam salah satu kabupaten yang ada di kota Kalimantan ini. 

Harusnya perjalanan pertamaku ke sini, menimbulkan kesan indah yang tak terlupakan. 

Masih terbayang dengan jelas bagaimana jadwal kuatur dengan baik agar moment mengunjungi Dita menjadi kesempatan yang baik pula untukku bernostalgia berdua bersama Mas Wisnu. Tapi ternyata semua hancur saat tahu kebenaran yang sudah terjadi. 

Kini aku harus ikhlas meninggalkan suamiku bersama wanita keduanya. Haruskah aku bertahan?

*

Setelah melalui perjalanan lebih dari lima jam, aku sampai di ruang tunggu pemberangkatan. Semenjak tadi pagi perut ini hanya kuisi sepotong kue, nasi yang dibelikan Mas Wisnu bahkan tak kusentuh satu sendokpun. 

Demikian uang pemberiannya di atas nakas. Tak kusentuh walau satu lembar.

Kududukkan tubuh di sisi seorang wanita berkerudung lebar yang tengah memangku bocah lelaki. Dia menawarkan sepotong roti. Karena memang merasa lapar, kuanggukkan kepala dan menerima pemberiannya.

"Sendiri Mbak?" tanyaku memecah kekakuan.

"Nggak Mbak, sama keluarga besar," jawabnya seraya tersenyum.

"Khalid mau kue, Nak?" 

Wanita itu kini berbicara pada bocah di pangkuannya.

"Nggak, Bunda."

Karena penasaran, akhirnya kuberanikan diri bertanya.

"Ini adiknya, Mbak?"

Wanita di sampingku tersenyum.

"Bukan, Mbak. Ini anak saya. Anak terkecil dari istri pertama suami saya."

Dua netraku membelalak.

"Saya ini istri kedua dari suami saya Mbak. Rencananya kami sekeluarga mau berkunjung ke rumah saudara di Jakarta. Suami sama Umi kebetulan tadi sedang ke kamar mandi. Makanya saya jadi nunggu sendirian di sini."

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Mbak, apa maksudnya suami Mbak melakukan poligami, betul begitu ya, Mbak?"

Dia kembali tersenyum.

"Benar, Mbak. Saya dipoligami sudah sepuluh tahun, Alhamdulillah rumah tangga kami sangat akur dan bahagia."

"Alhamdulilah, ikut senang dengarnya, Mbak."

Hati ini terenyuh mendengar penuturan wanita tersebut. Jujur, aku tak melihat kebohongan dalam setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Bolehkah saya tahu lebih banyak, Mbak. Kebetulan saya sedang mengadakan penelitian tentang praktik poligami."

Dia menatapku dengan dua alis terpaut.

"Mbak mau tahu apa? Boleh, tanya saja. In Syaa Allah akan saya jawab semampunya."

Seulas senyum terkembang begitu saja di bibir ini, degup di dada yang sedari tadi menyentak kuat, perlahan kembali normal. Ternyata wanita di hadapanku cukup ramah meski baru berkenalan belum satu jam.

"Saya hanya ingin tahu bagaimana Mbak memposisikan diri dalam rumah tangga hingga bisa sangat akur?"

"Hem ... Saya tahu pasti banyak orang memandang wanita kedua dari sisi negatif. Namun, meskipun yang kedua, saya ini wanita terhormat, Mbak. Saya datang dalam rumah tangga sepasang suami istri atas dasar permintaan."

"Karena permintaan?"

Dia mengangguk.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Savitri. Waktu itu umur saya tepat dua puluh lima tahun saat wanita yang selama ini begitu saya hormati yang tak lain adalah Umi istri pertama dari suami saya datang dengan membawa sebuah lamaran. Saya kira beliau membawa lamaran untuk adiknya, tapi ternyata Umi bermaksud melamar saya untuk suaminya."

"Hah?"

Aku semakin tak mengerti dengan ucapan wanita ini.

"Mohon maaf bertanya lagi, Mbak. Jadi yang meminta Mbak menjadi istri kedua adalah istri pertama dari suami Mbak sekarang?"

Savitri mengangguk.

"Apa alasannya?"

"Sebenarnya ini sangat pribadi."

"Maaf Mbak, jika Mbak tidak mau membicarakannya lagi tidak apa-apa. Justru saya yang sudah keterlaluan bertanya sangat privasi sama Mbak."

Savitri kembali menyunggingkan selarik senyum.

"Suami kami punya banyak harta dan usaha."

Aku pikir dia tidak akan melanjutkan ucapannya.

"Suami kami mempunyai banyak harta dan usaha. Ada sebuah pesantren yang harus dikelola, belum lagi beberapa usaha yang tersebar di berbagai daerah. Suatu ketika dia mengatakan kepada istrinya, ingin sekali menjalankan syariat poligami untuk memiliki banyak keturunan dan bisa ikut melanjutkan usaha-usahanya tersebut. Saat itu Umi Khalida sangat terkejut. Namun, setelah cukup matang berpikir akhirnya dengan lapang dada beliau menerima niat suaminya itu dengan satu syarat. Wanita yang akan menjadi madu dipilih langsung oleh dirinya sendiri."

"Begitukah, Mbak?"

"Iya, Mbak. Saya ini adalah murid dari suami saya sendiri, Mbak. Umi yang menunjuk saya langsung untuk menjadi saudaranya."

Bergetar kalbu ini mendengar penuturan Savitri.

"Mbak tidak menolak?"

"Tentu saja pada awalnya saja menolak. Tapi Umi beberapa kali meyakinkan saya bahwa kami pasti akan bisa hidup rukun dan bahagia dalam satu rumah tangga. Hingga akhirnya saya setuju dan mau dinikahi oleh Abati. Begitu kebanyakan orang memanggil suami kami."

Aku masih menarik napas, dada berdebar demikian hebat. Tak terbayang bagiku kebesaran hati istri pertama lelaki tersebut. Aku tak percaya jika dibalik sikapnya itu tak ada perjuangan besar untuk mengalahkan ego dan berdamai dengan keinginan suaminya. Sebab yang kutahu hakikat seorang wanita tetap tidak ingin berbagi. Jika dia terlihat sangat ikhlas, itu tentu karena jaminan yang diberikan sang suami berupa keadilan dalam segala hal.

"Walau Umi terlihat begitu ikhlas, tapi entah kenapa saya tahu bahwa dibalik itu semua, beliau berjuang keras untuk menyatukan rumah tangga kami ini, Mbak. Beliau selalu ada untuk saya, jika saya salah beliau selalu membimbing dan mengajarkan saya ke arah yang benar. Dan buat saya beliau adalah yang pertama di hati suami saya dan tetap akan menjadi yang utama. Saya terus mengingatkan pada diri saya bahwa saya hanyalah yang kedua. Meski Umi tak pernah menampakkan kecemburuannya tapi saya tahu menempatkan diri. Tidak ada wanita yang tidak cemburu ketika melihat kebersamaan suami dengan istrinya yang lain. Oleh karena itu, saya pun amat sangat menjaga sikap dan lebih bersabar. Selama ini saya punya banyak kekurangan, tapi beliau selalu menutupi kekurangan saya itu. Dan itulah kenapa saya menyayangi Umi sebesar saya menyayangi suami saya sendiri. Alhamdulillah, kami sangat bahagia. Dan semua itu juga tidak terlepas dari kepemimpinan suami. Beliau sangat paham tentang ketentuan berpoligami, beliau adil, tak pernah menampakkan kemesraan dengan satu istri di hadapan istri yang lain. "

Wanita itu mengakhiri ceritanya dengan senyuman tulus.

Ya Allah, aku percaya setiap syariat yang Engkau turunkan tentu untuk mendatangkan kebahagiaan bagi hamba-Mu. Tapi jika seperti yang dilakukan suamiku? 

Aku menarik napas panjang.

Mas Wisnu harus paham bahwa praktik poligami yang dilakukannya ini keliru, agar ke depan ia tidak lagi melakukannya. 

"Bunda, ke sana sebentar yuk. Khalid bosan."

"Iya, Nak."

Lalu wajah Savitri kembali menatapku.

"Mohon maaf ya, Mbak. Kita nggak bisa lanjut berbicara. Saya mau nemeni Khalid ke sana sebentar."

"Iya nggak papa, Mbak. Makasih banyak Mbak, sudah mau berbagi sama saya."

"Jangan sungkan. Permisi."

Aku menatap kepergian mereka, hingga setengah jam berlalu dan akhirnya langkah ini memasuki pesawat. 

Ada yang menderu di dalam dada. Setelah berjam-jam aku pergi, tak adakah niat Mas Wisnu untuk tahu kabar dariku? 

Huhft ...

Kupikir, jika aku berusaha ikhlas dan menerima kehadiran Dita, kamu tetap takkan bisa adil, Mas. Karena apa yang kamu lakukan inipun hanya didorong nafsu semata tanpa ilmu. 

Sebab itu aku tetap memutuskan untuk tidak berdamai, karena aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya, Mas. Maaf.

*

Pesawat baru saja mendarat saat sebuah panggilan terdengar di ponsel. 

Mama?

Ada apa ya, kenapa Mama menelpon? Lekas aku mengangkat.

[Assalamualaikum, Ma]

[Waalaikum salam. Kamu dimana Dila?]

[Sudah di Jakarta, Ma.]

[Alhamdulillah, Dil ibu mertuamu ....]

Ucapan Mama terpotong oleh isakan.

[Ibu kenapa, Ma?]

[Ibu mertuamu tadi pagi terjatuh di kamar mandi.]

[Astaghfirullah, lalu sekarang bagaimana keadaannya, Ma?]

[Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah, Dila.]

[Innalilahi wainnailaihi rajiun.]

Ya Allah, padahal aku pulang dengan membawa maksud ingin bertemu dengannya. Namun, Engkau justru mengambilnya kembali ya Allah ...

***

Bersambung.

Terima kasih sudah membaca, jika ada kesalahan dalam penulisan, monggo tegur saya ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jati Setiasri
Bagus ceritanya,,,nafsu tanpa ilmu... kebanyakan di real life memang seperti itu.Membaca novel ini serasa mengupas kembali kisah hidup saya yang melepas suami untuk pelakor, bahkan lebih pedih,,,tapi Allah maha segalanya.
goodnovel comment avatar
Gimo
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mira damayanti
Kok kisahnya sama ya sama aku bgt cma bedanya nama desa nya aja ...Kota pun sma kalimantan ...Tp udah berlalu kini aku mngambil jalan sdri aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   67. Akhir Kisah (TAMAT)

    "Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   66. Pilihan Berat

    Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   65. Berdamai Dengan Takdir

    Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   64. Permintaan Anak-Anak

    Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   63. Cinta Untuk Dila

    "Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   62. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status