Share

6. Melepasnya Dengan Berat Hati

"Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?"

"Papa benar-benar minta maaf, Ma."

"Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."

Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah.

"Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?"

"Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."

Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. 

Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri.

"Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."

Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,

"Selesai. Kebetulan ada yang cancel dua orang. Penerbangan jam setengah delapan malam, Ma. Sekarang Papa keluar dulu cari makan, setelah itu kita langsung berkemas ya, Ma."

Aku kembali menghela napas, lalu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Dua netra terus memerhatikan Mas Wisnu yang melangkah keluar kamar. Entah kenapa hatiku berbisik, dia akan menemui Dita. 

*

Setengah jam berlalu, aku mendengar deru mobil Mas Wisnu kembali. Pintu kamar kini terbuka, dengan tergopoh lelaki itu bersimpuh di kakiku, membuat dada berdegup tak karuan.

"Ma, Papa mohon sekali ini saja. Dita kecelakaan, saat ini sudah dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya kritis. Papa minta ijin sama Mama untuk tetap tinggal di pulau ini sampai Dita sadarkan diri."

Deg.

Hatiku bagai ada yang menusuk dengan kuat. Berita apa lagi ini? Kupikir semua akan selesai di hadapan ibu, biar hatiku tenang. Tapi ternyata?

"Papa mohon, Ma. Setelah Dita sadar, Papa akan kembali ke Jakarta. Papa berjanji akan jujur pada Ibu tentang kesalahan Papa ini."

Wajahku yang tertunduk kini terangkat, membaca dalamnya sorot mata lelaki yang sudah membersamai hingga tiga belas tahun. Baru kali ini aku melihat ia memendam ketakutan selain saat mendengar berita bahwa aku atau anak-anakku sakit. Ah, aku lupa. Kini di hati Mas Wisnu, sudah ada nama wanita lain di sana.

"Pergilah," jawabku dengan suara berat.

Mas Wisnu terhenyak, dia lalu meraih dua jemari tanganku, tapi aku menariknya. Aku tahu dia sadar bahwa diri tak ikhlas, tapi karena kekhawatirannya pada Dita, kesadaran itu diabaikan. 

"Terima kasih Ma."

Mas Wisnu kini bangkit lalu tanpa kusadari ia mengusap pucuk kepala ini.

"Nanti Mama diantar sama supir kemarin ya, Ma," ucapnya seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet dan meletakkan di atas nakas.

"Pakai uang ini untuk membeli anak-anak sesuatu. Papa minta maaf tidak bisa mengantar."

Dia menatapku kembali sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Terasa ada yang mendesak keluar pada kedua mata. Aku menahan sekuat tenaga. Antara sakit, kecewa dan keinginan untuk menyerah. 

Andai tak teringat ada tiga buah hati, mungkin hati sudah memilih mundur. Menerima dimadu adalah perkara sulit, jika tak siap lahir bathin maka hanya akan menyakiti diri. Dan kukatakan bahwa diri ini tidak siap.

Beberapa tetangga tampak memperhatikanku yang kini menaiki mobil pesanan Mas Wisnu. Aku yakin karena keributan tadi pagi, sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia pribadi kini menjadi rahasia umum. Semoga saja tidak akan berpengaruh pada kontrak kerja Mas Wisnu di perusahaannya.

Aku duduk di belakang supir. Ada beberapa orang lainnya yang ternyata punya tujuan sama denganku. Pandangan ini kuedarkan keluar, menatap keindahan alam salah satu kabupaten yang ada di kota Kalimantan ini. 

Harusnya perjalanan pertamaku ke sini, menimbulkan kesan indah yang tak terlupakan. 

Masih terbayang dengan jelas bagaimana jadwal kuatur dengan baik agar moment mengunjungi Dita menjadi kesempatan yang baik pula untukku bernostalgia berdua bersama Mas Wisnu. Tapi ternyata semua hancur saat tahu kebenaran yang sudah terjadi. 

Kini aku harus ikhlas meninggalkan suamiku bersama wanita keduanya. Haruskah aku bertahan?

*

Setelah melalui perjalanan lebih dari lima jam, aku sampai di ruang tunggu pemberangkatan. Semenjak tadi pagi perut ini hanya kuisi sepotong kue, nasi yang dibelikan Mas Wisnu bahkan tak kusentuh satu sendokpun. 

Demikian uang pemberiannya di atas nakas. Tak kusentuh walau satu lembar.

Kududukkan tubuh di sisi seorang wanita berkerudung lebar yang tengah memangku bocah lelaki. Dia menawarkan sepotong roti. Karena memang merasa lapar, kuanggukkan kepala dan menerima pemberiannya.

"Sendiri Mbak?" tanyaku memecah kekakuan.

"Nggak Mbak, sama keluarga besar," jawabnya seraya tersenyum.

"Khalid mau kue, Nak?" 

Wanita itu kini berbicara pada bocah di pangkuannya.

"Nggak, Bunda."

Karena penasaran, akhirnya kuberanikan diri bertanya.

"Ini adiknya, Mbak?"

Wanita di sampingku tersenyum.

"Bukan, Mbak. Ini anak saya. Anak terkecil dari istri pertama suami saya."

Dua netraku membelalak.

"Saya ini istri kedua dari suami saya Mbak. Rencananya kami sekeluarga mau berkunjung ke rumah saudara di Jakarta. Suami sama Umi kebetulan tadi sedang ke kamar mandi. Makanya saya jadi nunggu sendirian di sini."

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Mbak, apa maksudnya suami Mbak melakukan poligami, betul begitu ya, Mbak?"

Dia kembali tersenyum.

"Benar, Mbak. Saya dipoligami sudah sepuluh tahun, Alhamdulillah rumah tangga kami sangat akur dan bahagia."

"Alhamdulilah, ikut senang dengarnya, Mbak."

Hati ini terenyuh mendengar penuturan wanita tersebut. Jujur, aku tak melihat kebohongan dalam setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Bolehkah saya tahu lebih banyak, Mbak. Kebetulan saya sedang mengadakan penelitian tentang praktik poligami."

Dia menatapku dengan dua alis terpaut.

"Mbak mau tahu apa? Boleh, tanya saja. In Syaa Allah akan saya jawab semampunya."

Seulas senyum terkembang begitu saja di bibir ini, degup di dada yang sedari tadi menyentak kuat, perlahan kembali normal. Ternyata wanita di hadapanku cukup ramah meski baru berkenalan belum satu jam.

"Saya hanya ingin tahu bagaimana Mbak memposisikan diri dalam rumah tangga hingga bisa sangat akur?"

"Hem ... Saya tahu pasti banyak orang memandang wanita kedua dari sisi negatif. Namun, meskipun yang kedua, saya ini wanita terhormat, Mbak. Saya datang dalam rumah tangga sepasang suami istri atas dasar permintaan."

"Karena permintaan?"

Dia mengangguk.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Savitri. Waktu itu umur saya tepat dua puluh lima tahun saat wanita yang selama ini begitu saya hormati yang tak lain adalah Umi istri pertama dari suami saya datang dengan membawa sebuah lamaran. Saya kira beliau membawa lamaran untuk adiknya, tapi ternyata Umi bermaksud melamar saya untuk suaminya."

"Hah?"

Aku semakin tak mengerti dengan ucapan wanita ini.

"Mohon maaf bertanya lagi, Mbak. Jadi yang meminta Mbak menjadi istri kedua adalah istri pertama dari suami Mbak sekarang?"

Savitri mengangguk.

"Apa alasannya?"

"Sebenarnya ini sangat pribadi."

"Maaf Mbak, jika Mbak tidak mau membicarakannya lagi tidak apa-apa. Justru saya yang sudah keterlaluan bertanya sangat privasi sama Mbak."

Savitri kembali menyunggingkan selarik senyum.

"Suami kami punya banyak harta dan usaha."

Aku pikir dia tidak akan melanjutkan ucapannya.

"Suami kami mempunyai banyak harta dan usaha. Ada sebuah pesantren yang harus dikelola, belum lagi beberapa usaha yang tersebar di berbagai daerah. Suatu ketika dia mengatakan kepada istrinya, ingin sekali menjalankan syariat poligami untuk memiliki banyak keturunan dan bisa ikut melanjutkan usaha-usahanya tersebut. Saat itu Umi Khalida sangat terkejut. Namun, setelah cukup matang berpikir akhirnya dengan lapang dada beliau menerima niat suaminya itu dengan satu syarat. Wanita yang akan menjadi madu dipilih langsung oleh dirinya sendiri."

"Begitukah, Mbak?"

"Iya, Mbak. Saya ini adalah murid dari suami saya sendiri, Mbak. Umi yang menunjuk saya langsung untuk menjadi saudaranya."

Bergetar kalbu ini mendengar penuturan Savitri.

"Mbak tidak menolak?"

"Tentu saja pada awalnya saja menolak. Tapi Umi beberapa kali meyakinkan saya bahwa kami pasti akan bisa hidup rukun dan bahagia dalam satu rumah tangga. Hingga akhirnya saya setuju dan mau dinikahi oleh Abati. Begitu kebanyakan orang memanggil suami kami."

Aku masih menarik napas, dada berdebar demikian hebat. Tak terbayang bagiku kebesaran hati istri pertama lelaki tersebut. Aku tak percaya jika dibalik sikapnya itu tak ada perjuangan besar untuk mengalahkan ego dan berdamai dengan keinginan suaminya. Sebab yang kutahu hakikat seorang wanita tetap tidak ingin berbagi. Jika dia terlihat sangat ikhlas, itu tentu karena jaminan yang diberikan sang suami berupa keadilan dalam segala hal.

"Walau Umi terlihat begitu ikhlas, tapi entah kenapa saya tahu bahwa dibalik itu semua, beliau berjuang keras untuk menyatukan rumah tangga kami ini, Mbak. Beliau selalu ada untuk saya, jika saya salah beliau selalu membimbing dan mengajarkan saya ke arah yang benar. Dan buat saya beliau adalah yang pertama di hati suami saya dan tetap akan menjadi yang utama. Saya terus mengingatkan pada diri saya bahwa saya hanyalah yang kedua. Meski Umi tak pernah menampakkan kecemburuannya tapi saya tahu menempatkan diri. Tidak ada wanita yang tidak cemburu ketika melihat kebersamaan suami dengan istrinya yang lain. Oleh karena itu, saya pun amat sangat menjaga sikap dan lebih bersabar. Selama ini saya punya banyak kekurangan, tapi beliau selalu menutupi kekurangan saya itu. Dan itulah kenapa saya menyayangi Umi sebesar saya menyayangi suami saya sendiri. Alhamdulillah, kami sangat bahagia. Dan semua itu juga tidak terlepas dari kepemimpinan suami. Beliau sangat paham tentang ketentuan berpoligami, beliau adil, tak pernah menampakkan kemesraan dengan satu istri di hadapan istri yang lain. "

Wanita itu mengakhiri ceritanya dengan senyuman tulus.

Ya Allah, aku percaya setiap syariat yang Engkau turunkan tentu untuk mendatangkan kebahagiaan bagi hamba-Mu. Tapi jika seperti yang dilakukan suamiku? 

Aku menarik napas panjang.

Mas Wisnu harus paham bahwa praktik poligami yang dilakukannya ini keliru, agar ke depan ia tidak lagi melakukannya. 

"Bunda, ke sana sebentar yuk. Khalid bosan."

"Iya, Nak."

Lalu wajah Savitri kembali menatapku.

"Mohon maaf ya, Mbak. Kita nggak bisa lanjut berbicara. Saya mau nemeni Khalid ke sana sebentar."

"Iya nggak papa, Mbak. Makasih banyak Mbak, sudah mau berbagi sama saya."

"Jangan sungkan. Permisi."

Aku menatap kepergian mereka, hingga setengah jam berlalu dan akhirnya langkah ini memasuki pesawat. 

Ada yang menderu di dalam dada. Setelah berjam-jam aku pergi, tak adakah niat Mas Wisnu untuk tahu kabar dariku? 

Huhft ...

Kupikir, jika aku berusaha ikhlas dan menerima kehadiran Dita, kamu tetap takkan bisa adil, Mas. Karena apa yang kamu lakukan inipun hanya didorong nafsu semata tanpa ilmu. 

Sebab itu aku tetap memutuskan untuk tidak berdamai, karena aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya, Mas. Maaf.

*

Pesawat baru saja mendarat saat sebuah panggilan terdengar di ponsel. 

Mama?

Ada apa ya, kenapa Mama menelpon? Lekas aku mengangkat.

[Assalamualaikum, Ma]

[Waalaikum salam. Kamu dimana Dila?]

[Sudah di Jakarta, Ma.]

[Alhamdulillah, Dil ibu mertuamu ....]

Ucapan Mama terpotong oleh isakan.

[Ibu kenapa, Ma?]

[Ibu mertuamu tadi pagi terjatuh di kamar mandi.]

[Astaghfirullah, lalu sekarang bagaimana keadaannya, Ma?]

[Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah, Dila.]

[Innalilahi wainnailaihi rajiun.]

Ya Allah, padahal aku pulang dengan membawa maksud ingin bertemu dengannya. Namun, Engkau justru mengambilnya kembali ya Allah ...

***

Bersambung.

Terima kasih sudah membaca, jika ada kesalahan dalam penulisan, monggo tegur saya ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Gimo
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mira damayanti
Kok kisahnya sama ya sama aku bgt cma bedanya nama desa nya aja ...Kota pun sma kalimantan ...Tp udah berlalu kini aku mngambil jalan sdri aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status