[Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?]
[Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.]
[Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.]
[Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]
Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.
Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.
Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?
Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jika Dita kecelakaan supaya bisa berduaan tanpa ada yang mengganggu.
Jika benar hal itu yang kamu inginkan, maka selamat Mas. Kamu akan menangis darah saat tahu ibumu telah tiada dan kamu tak bisa melihat jenazahnya untuk terakhir kali.
Kubuang napas panjang, rasanya ingin mengabaikan saja permintaan mama tapi rasa kasihan membuat tangan ini akhirnya menelpon ke nomor perusahaan. Berbicara sejenak menyampaikan maksud pada seseorang di seberang sana, tapi ternyata suamiku tidak masuk dinas.
Dengan begitu, hanya tersisa satu cara untuk memberitahu Mas Wisnu, yaitu dengan menghubungi Dita.
Tapi maaf Mas, untuk yang satu ini aku tidak bisa melakukannya.
Sebab itulah kuputuskan untuk menyimpan kembali ponsel dan meneruskan perjalanan pulang.
*
Pemakaman telah selesai, aku dan keluarga besar suami kembali ke rumah. Terlihat sebuah nomor tak dikenal menelpon ke ponselku.
Jujur sangat malas melayani. Dengan beban yang kini kupikul saja, aku merasa ingin menyerah dan pergi menjauh dari kehidupan yang sudah kujalani ini. Tapi jika memandang tiga buah hati, akal pikiran ini menuntut untuk tegar.
Setelah panggilan kuabaikan, kini sebuah pesan masuk masuk kembali ke ponsel ini. Tangan mencoba mengecek.
[Ma, ini Papa. Tolong diangkat telponnya.]
Mas Wisnu?
Nomor itu kembali memanggil. Kali ini aku menjawab panggilan tersebut.
[Ma, ini Papa. Ponsel Papa hilang dari kemarin. Papa mau keluar, tapi Dita belum bisa ditinggal.]
Dita lagi?
Mendengar nama wanita itu, apa yang ingin kukatakan pada Mas Wisnu seakan menghilang begitu saja dari benak.
[Oya, semalam Mama ada nelpon Papa ke kantor?]
[Iya.]
[Maafkan Papa ya, Ma. Papa jadi terlihat mengabaikan Mama. Papa janji setelah Dita sehat, Papa akan pulang.]
Aku menahan sakit di dada. Lalu mencoba membuka suara.
[Mama nelpon Papa karena ingin memberitahu, bahwa Ibu sudah meninggalkan kita semua.]
Sejenak Mas Wisnu terdiam.
[Ibu pergi kemana?]
Air mataku kembali mengenang di pelupuk. Dia bahkan tak punya firasat tentang kepergian ibunya sendiri?
[Ibu sudah berpulang ke Rahmatullah.]
[Apa? Mama jangan bercanda, Ma.]
[Mana berani Mama bercanda tentang kematian, Pa. Papa terlalu sibuk dengan wanita itu, lalu sekarang lihat apa yang terjadi?]
[Tidak, Ibu masih hidup. Mana bohong 'kan?]
Tangis Mas Wisnu pecah di seberang sana.
[Tolong, jangan biarkan Ibu dikebumikan sebelum Papa sampai.]
[Papa terlambat. Ibu meninggal sudah semenjak kemarin sore, jadi tidak bisa menunggu lebih lama lagi.]
[Apa? Tega Mama membiarkan mereka mengebumikan jenazah Ibu, sedang Papa belum sempat melihatnya.]
[Papa pikir ini semua kehendak Mama. Asal Papa tahu, Pak Le yang menyarankan semua itu, Mama bisa apa.]
[Seharusnya Mama menelpon Papa ke ponselnya Dita? Untuk hal penting seperti ini, harusnya Mama bisa lebih peka. Berkorban sedikit akan menampakkan kemuliaan Mama di mata Papa, bukan seperti ini.]
[Buat apa Mama menampakkan kemuliaan di mata Papa, untuk mengemis cinta. Maaf Pa, Mama tidak bisa melakukan hal itu. Seharusnya Papa membuka cara berpikir, jika kemarin Papa ikut Mama, tentu Papa bisa mengantar jenazah ibu sampai ke tempat peristirahat terakhirnya. Tapi yang Papa lakukan apa? Membiarkan Mama pulang sendiri dengan alasan Dita. Jujur ya Pa, Mama yakin Dita kecelakaan itu cuma alasan 'kan?]
[Kenapa ini terus sih yang didebatkan, Ma? Sudah Papa tidak mau dengar lagi. Yang jelas, Mama sudah benar-benar mengecewakan Papa hari ini!]
Tut ...
Dia mematikan telpon. Ya Allah ... Seumur pernikahan, tak pernah Mas Wisnu berbicara dengan nada tinggi padaku apalagi sampai mematikan telpon tanpa basa basi. Tapi hari ini ia membuktikan bahwa kehadiran wanita itu telah mengubah segalanya.
*
Mas Wisnu bersimpuh di depan makam sang ibu, air mata mengalir di kedua pipi. Pasti ini adalah duka terberat untuknya. Wanita yang teramat dimuliakan di dunia ini, menutup usia tanpa bisa ia menatap untuk terakhir kali.
Semoga ini menjadi pengalaman berharga untukmu, Mas. Kamu harus tahu satu hal, bahwa akan ada ganjaran dari setiap kesalahan. Kau ingin punya dua istri, tapi jika kau tak bisa menjaga perasaan salah satunya, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai sebuah kesalahan. Karena pada hakikatnya poligami sunnah jika membawa kebahagiaan, dan berubah menjadi dosa apalagi saling menyakiti.
Semakin banyak kesalahan yang kamu perbuat, maka semakin banyak cobaan yang Allah beri untuk menggugurkan dosa-dosamu itu.
Aku membalikkan tubuh dan kembali ke rumah, setelah melihatnya di pemakaman secara diam-diam.
Sekitar dua jam Mas Wisnu di sana, saat pulang ia memasang muka masam padaku. Mungkin masih menganggap semua ini karena kesalahanku yang tidak mau menghubungi Dita.
Sampai mama melihat gerak-gerik kami dan akhirnya menanyakan apa yang terjadi.
"Ada apa, Dila? Selama ini yang Mama tahu kamu selalu menyambut kepulangan suamimu, tapi kenapa dengan hari ini? Apa Wisnu melakukan kesalahan?"
Aku menoleh dan menatap matanya. Tak lagi terbendung, air mata terlebih dahulu menggambarkan keadaan hati. Baru setelahnya satu persatu kejujuran itu keluar dari bibir ini.
"Dila ingin bercerai, Ma."
Aku menutup ceritaku dengan kata cerai.
"Bercerai? Astaghfirullah. Dila, hatimu sedang dipenuhi amarah. Jangan gegabah mengambil keputusan."
"Tiga belas tahun, Ma. Aku menemaninya dari dia bukan siapa-siapa hingga punya segalanya. Hampir dua tahun, aku berjuang merawat tiga buah hatinya seorang diri. Aku ikhlaskan ia pergi ke pulau lain dengan alasan mencari rejeki. Dan apa yang kudapat, sebuah pengkhianatan. Hatiku hancur, Ma."
"Istighfar, Nak. Jangan biarkan amarah menghancurkan semuanya."
"Dila berbicara apa adanya, Ma. Buat apa bertahan jika hanya menciptakan rasa sakit."
"Anakku, rasa sakit yang dialami seorang manusia, sebenarnya bersumber dari hati dan pikirannya sendiri. Karena hati adalah tempatnya segala penyakit. Jika kamu memilih bercerai, maka wanita itu menang. Kamu tak dapat apapun. Tapi bertahanlah, tunjukkan pada wanita itu bahwa dia salah telah merebut suamimu dengan curang seperti ini. Dan tunjukkan pada Wisnu, bahwa kamu lebih baik dari yang lain, dan yang paling utama kamu harus menunjukkan pada suamimu bahwa kamu tidak patut diduakan dengan cara seperti ini, Dila."
"Mama memintaku bersedia dimadu?"
"Dila, Mama tidak memintamu seperti itu. Mama hanya ingin, apapun yang kamu lakukan, keputusan apapun yang akan kamu ambil, hendaklah dilakukan dengan pikiran jernih dan hati yang tenang. Agar syaitan tidak membisikkan kata-kata yang akan membuat manusia pada akhirnya salah dalam memilih langkah. Beri hatimu waktu untuk berpikir dengan matang. Dibarengi doa dan ihktiar, In Syaa Allah, Allah akan membimbing langkahmu ke jalan yang baik."
Aku kembali menatap mama. Meski tak sepenuhnya menghilangkan lara, tapi nasehat beliau sedikit banyak bisa meredam amarah yang terus bergejolak. Benar, aku harus bisa menenangkan diri agar bisa mengambil keputusan tepat hingga tidak menimbulkan penyesalan dikemudian hari.
*
[Gimana Fa, surat lamaran kerja Mbak kemarin?] tanyaku pada adik sepupu di seberang telpon.
[Beres Mbak. Besok langsung test.]
[Hah, besok? Aduh persiapannya belum matang ini, gimana?]
[Santai aja Mbakku Sayang. Fanya yakin kalau Mbak Dila yang ikutan, pasti langsung diterima.]
[Aamiinn makasih banyak Fanya sayang atas segala bantuannya.]
[Jangan sungkan, Mbak. Besok tak tunggu di kantor ya.]
[Oke siap.]
Kututup telpon dari Fanya dengan perasaan sedikit berdebar. Esok aku akan kembali bekerja. Aku harus bisa mengendalikan amarahku dengan mencari kesibukan di luar rumah.
Aku paham, kesuksesan dan produktifitas akan membawa seseorang untuk lebih berlaku dan berpikir positif, yang mana hal itu akan mendorong semangat hidup mereka demi mencapai target yang diinginkan.
Bismillah, aku akan bekerja agar bisa sukses dan memiliki penghasilan pribadi.
Kuletakkan kembali ponsel dan berniat hendak keluar kamar. Tapi sangat terhenyak saat membalikkan tubuh dan mendapati Mas Wisnu sudah berada di sini.
Netra kami saling memandang.
Semenjak kemarin dia pulang, kami belum berbicara satu patah katapun. Dan semalam juga aku memutuskan untuk tidur di kamar anak-anak.
Kira-kira apakah dia akan menyalahkanku lagi?
"Mama habis nelpon siapa?"
"Fanya," jawabku singkat sambil meneruskan langkah keluar kamar.
"Ada keperluan apa Fanya menelpon Mama?"
"Mama mau kerja, Fanya yang bantu masukkan lamaran Mama di perusahaan tempatnya bekerja."
"Apa, kerja?"
***
Bersambung
Utamakan baca Al-Quran.
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an