Pembalasan Ikhram sungguh menakutkan.
"Memangnya kenapa, tidak mengijinkan aku dekat dengan Aska dan Bara?" tanyaku sambil menatap wajah suami yang menyebalkan itu."Masih perlu aku beritahukan alasannya?" jawab Ikhram dengan kesal. Aku mendengus lalu meninggalkannya, "Kalau tidak mau ngomong, gak usah pasang wajah seperti itu juga kali.""Mau kemana lagi?" tanyanya saat melihatku beranjak pergi. "Ke kamar melihat barang yang baru aku beli, selama ini aku bodoh telah mengabaikan uang yang sebanyak ini. Sekarang aku akan menghabiskan sebisaku selagi menjadi istrimu," ketusku sinis."Bagus, ada kemajuan jadi pergunakan sebanyak yang kau mau. Kalau habis aku akan kerja lebih keras lagi, asal bayaran cukup memuaskan di atas ranjang," bisiknya di telingaku. "Semakin lama kau semakin mesum, aku heran apa Kartika tidak cukup memuaskanmu," ujarku pelan. Tiba-tiba terdengar suara pintu di tutup dengan kencang, setelah itu aku terdorong hingga jatuh ke atas tempat tidur. Tidak lagi, pria ini masih mau berhubungan intim, setelah tad
"Mami, Abang dan Adik sudah tidak bisa sekolah lagi?" tanya Rama yang membuatku tersentak, untung Ikhram segera menjawab pertanyaan itu, "Sekolah dong, tapi tidak di tempat itu lagi. Kita akan pindah dan masuk ke sekolah baru." Sayangnya aku justru terkejut dengan jawaban Ikhram. Sejak kapan dia memutuskan kami akan pindah, dengan bingung mau menatap bapak dan ibu, tapi mereka terlihat tenang seolah mereka sudah tau keputusan Ikhram itu. "Ikhram benar, sebaiknya kalian pindah. Selama ada keluarga mantanmu itu, kita tidak akan bisa tenang. Lagipula sebagai istri kau harus mengikuti kemana pun suamimu pergi." Aku melotot begitu mendengar ucapan bapak. Aku tidak menyangka dalam waktu sedemikian cepat, Ikhram kembali mengambil hati bapak dan ibu. "Kita bicarakan lagi nanti." Ikhram memegang tanganku lalu memberi tanda untuk diam."Terserah kau saja, aku akan keluar membeli sayuran dan daging untuk makan siang nanti." Aku beranjak keluar dan berjalan menuju ke gerobak tukang sayur. Sialn
"Kalian bisa makan dengan tenang?" tanyaku dengan wajah garang. Dua orang pria yang tengah berebutan, mengambilkan makanan itu langsung terdiam.Mengambilkan makanan untuk kedua anak itu mereka berebut, lalu untuk bapak dan ibu juga sama, setelah itu gantian berebut mengambilkan makanan untukku. Bahkan piringku saja sudah penuh dengan makanan."Kau semakin kurus jadi harus makan banyak, aku rasa kau terlalu banyak makan hati jadi kurus begini, bagaimana kalau aku ajak kabur lagi?" Dengan wajah polos Bara mengajakku.Dia bahkan tidak melihat, iblis yang tengah menatapnya dengan pandangan membunuh. Anak ini semakin lama semakin berani, bahkan berani memprovokasi Ikhram. Konon Pak Abraham dan Aska saja, masih memiliki rasa segan pada pria ini. "Apa kau sudah bosan hidup, Bar? Kalau belum sebaiknya kau tutup mulut. Jika tidak kau tak akan sempat memiliki Melati," ancamku."Memangnya kenapa?" Astaga, pria ini masih saja bertanya. Rasanya ingin sekali aku lihat isi kepalanya, jangan-jangan
"Presdir, sekaligus pemilik perusahaan ARTAMA." Identitas itu cukup menghancurkan Bram dan istrinya. Sekarang mereka hanya bisa menunggu nasib sialnya, itu tidak menunggu lama, karena besok paginya saham perusahaan Maharani jatuh ke titik terendah.Aku hanya menarik napas panjang, tidak menyangka Bram akan kembali hancur karena ulah adiknya. "Kenapa, tak rela melihatnya menderita?" tanya Ikhram sinis."Ternyata cintaku masih ada untuknya?" jawabku datar. "A ... Apa yang kau bilang?!" pekik Ikhram seperti orang gila. "Huh, cari gara-gara dilawan berteriak kalap." Bara berkata dengan wajah datar."Apa yang kau lakukan, Am. Turunkan aku sekarang juga, turunkan aku!" Aku berteriak tapi Ikhram seolah tidak mendengarnya, dengan santai dia meminta ijin pada bapak lalu membawaku pergi.Di depan semua orang dia melajukan mobilnya, membawaku yang berteriak seperti orang gila. "Semakin lama kau semakin keterlaluan, aku harus memberimu pelajaran agar tidak asal bicara," ketusnya di depan wajahku
"Masih marah?" tanyaku saat sudah di dalam mobil, akhirnya kami bergerak menuju ke kota, tempat awal semua cerita tentang aku, Ikhram dan juga Bram. Bicara tentang Bram, aku baru tau tadi dari mulut anak Desi. Kalau pria itu tengah mengusahakan kebebasan adiknya, ironis saat orang dewasa gila membuat keributan, sedangkan anak-anak yang menjadi alasan keributan itu justru sudah baikan."Aku minta maaf, Rama. Kata nenek aku yang membuat ibu masuk penjara. Sekarang aku tidak tau akan tinggal dengan siapa, bapak juga tidak mau membawaku menemui "nenek" ibu dari ayah," ujar anak Dodi dengan sedih. "Semua akan baik-baik saja, sayang. Sekarang Dodi pulang dulu, jadi anak yang baik besok ibumu pasti pulang." Aku melirik Ikhram yang terdengar menarik napas dengan kesal. "Desi sudah kehilangan tangannya, aku rasa itu sudah lebih dari cukup untuknya. Sayang, biarkan dia bebas, kasihan Dodi karena dia yang akan menderita karena masalah ini." Aku memeluk pinggang Ikhram, diikuti Rama dan Rara
"Masih sakit?" tanya Ikhram sambil memijit punggungku. Astaga aku hanya istirahat satu jam, setelah itu dia menyiksaku hingga menjelang petang.Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya memukul tangannya dengan pelan, alasannya karena tangan itu mulai nakal lagi. Dia mulai meraba dari punggung lalu maju ke depan dan naik ke dada. "Pinggangku sudah seperti mau patah, entah gaya apa saja yang kau pakai." Aku mengomel sambil berjalan menuju ke kamar mandi. "Jangan bergerak tetap di tempatmu!" ujarku dengan suara naik satu oktaf. Dengan wajah sedih, Ikhram kembali duduk di tempat tidur. Sudah mendapat jatah berkali-kali masih belum puas juga, melihatnya duduk dengan patuh, membuatku tenang ketika masuk ke kamar mandi. Hingga tak butuh waktu lama aku sudah keluar dalam keadaan rambut basah. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, aku melihat Ikhram berbaring telentang dengan lengan menutupi matanya. Setelah menarik napas panjang, aku mendekatinya lalu menyentuh keningnya."Tidak sakit,
"Anak-anak sudah masuk ke kelas, sampai kapan kau berdiri di sana?" tanya Ikhram di belakang kemudi. Aku tidak menjawab hanya menarik napas panjang, perlahan aku memutar tubuhku lalu meninggalkan sekolah Rama dan Rara."Kenapa menangis?" Tiba-tiba Ikhram mengulurkan tangan menghapus air mata di pipiku, aku tidak tau kenapa air mata itu mengalir keluar. Hanya saja aku merasa, sesuatu menekan dadaku dan membuatku sulit bernapas."Mereka kau jadikan belenggu yang akan membuatku tidak bisa melarikan diri, kau luar biasa hebat aku tidak menduganya sama sekali," ketusku lirih. "Sayang, kau sedang bicara apa?" tanya Ikhram, entah karena tidak tau atau dia sedang berpura-pura tidak mengerti. "Berhenti di depan, aku ada urusan sebentar nanti aku pulang sendiri." Aku hendak bersiap untuk turun, tapi ternyata Ikhram tidak menghentikan mobilnya."Temani aku ke kantor dulu, nanti aku temani membereskan urusanmu." Ikhram mengengam tanganku dan tak berniat melepaskannya. Kembali aku hanya diam, d
Aku nyaris tertawa ngakak melihat wajah pucat dan kaki Denis yang gemetar. Sementara di depan kami wajah Ikhram sudah merah padam, ketika melihat tanganku melingkar di lengan asistennya. "Tolong aku, Kak. Dia marah karena aku membuat ribut di perusahaannya. Aku hanya membantumu karena aku lihat pekerjaanmu sangat banyak sampai lembur tiap hari, dia seharusnya berterima kasih padaku karena menangkap pekerjanya yang hanya makan gaji buta. Bukannya marah-marah begini." Aku pura-pura merajuk pada Denis dan itu membuat Ikhram makin marah. "Kau bereskan masalah ini, aku tak mau memiliki pekerja yang tak berguna. Soal anak ini biar aku yang mengurusnya." Ikhram meraih kerah bajuku dari belakang sudah seperti mengangkat kucing.Aku meronta dan meminta tolong pada Denis, tapi pria itu hanya mengusap keringat di keningnya seolah ketakutan. "Tunggu dulu, setidaknya biarkan aku makan dan minum dulu, aku sudah mau pingsan ini. Kau buruan keluar ikuti aku." Aku menunjuk pada wanita yang berdiri d