Setelah memastikan si kecil benar-benar tertidur di boksnya, Rayhan mematikan lampu kamar bayi, lalu kembali ke ruang tengah. Dinda sudah duduk dengan segelas air hangat di tangannya. Wajahnya tampak lebih tenang, tapi masih menyimpan sisa lelah.Rayhan duduk di sampingnya. “Masih sedih?” tanyanya pelan.Dinda menggeleng, lalu menghela napas panjang. “Bukan sedih… cuma kayak baru sadar kalau aku nggak harus selalu kuat. Aku kadang lupa kalau aku boleh minta bantuan.”Rayhan mengangguk memahami. “Din, kamu itu hebat banget. Aku lihat sendiri kamu dari pagi sampai malam ngurusin semuanya. Tapi kamu juga manusia. Kalau kamu lelah, ya wajar. Aku justru seneng kalau kamu bilang ke aku, biar aku bisa ikut bantu.”Dinda menatap Rayhan lama-lama, kemudian tersenyum tipis. “Kamu nggak marah aku nangis tadi?”Rayhan menggeleng cepat. “Kenapa harus marah? Aku malah seneng kamu jujur. Aku kan pengen jadi tempat kamu cerita, bukan cuma partner di rumah.”Ucapan itu membuat hati Dinda menghangat. I
Sore itu, suasana rumah yang biasanya riuh terasa sedikit tegang. Dinda duduk di sofa sambil memeluk bantal, wajahnya tampak lelah. Matanya sayu, rambutnya sedikit berantakan, dan napasnya berat. Seharian ia hampir tidak duduk tenang—menyusui, menenangkan bayi yang rewel, membereskan rumah, lalu memasak.Rayhan baru saja pulang dari toko dan langsung melihat istrinya yang tampak tidak seperti biasanya.“Din? Kamu kenapa? Capek banget ya?” tanyanya hati-hati sambil mendekat.Dinda hanya mengangguk tanpa menoleh. “Capek, Han. Badan aku rasanya remuk. Siang tadi dia rewel terus, aku bahkan belum sempat makan dengan tenang.”Rayhan merasa bersalah. “Maaf… aku nggak bisa bantu karena harus keluar. Harusnya aku pulang lebih cepat.”Nada itu membuat Dinda tiba-tiba menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Bukan salah kamu, Han. Tapi… aku cuma pengen istirahat sebentar. Rasanya… aku sendirian ngadepin semuanya hari ini.”Rayhan terdiam. Perasaannya campur aduk antara bersalah dan bingung harus b
Suara tangisan si kecil memecah kesunyian subuh. Dinda langsung terbangun, matanya masih berat, rambut berantakan. Rayhan, yang tadinya tidur nyenyak, ikut terbangun dengan ekspresi panik.“Din, dia nangis ya?” suaranya parau.“Iya, Han. Kayaknya lapar.” Dinda bangkit, berjalan cepat ke boks bayi, lalu menggendong si kecil. Rayhan ikut duduk di tepi kasur, masih setengah sadar.“Aku bikin susu ya?” tanyanya sambil mengucek mata.Dinda menoleh, sedikit tersenyum melihat wajah kusut suaminya. “Boleh. Air panasnya udah aku siapin di termos.”Rayhan mengangguk, lalu beranjak ke dapur dengan langkah setengah sempoyongan. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa botol susu. “Nih, coba cek suhunya.”Dinda meneteskan sedikit di pergelangan tangan. “Pas. Kasih ke aku.”Si kecil segera menyusu dengan lahap, membuat suasana sedikit tenang. Rayhan duduk di samping Dinda, memperhatikan dengan wajah lembut. “Lucu banget ya kalau lagi gini. Rasanya semua capek ilang.”Dinda mengangguk. “Iya. Tapi
Sesampainya di rumah, Rayhan buru-buru membuka pintu mobil lalu mengangkat si kecil yang masih setengah terlelap. Dinda mengikuti dari belakang, membawa tas kecil berisi perlengkapan bayi yang isinya seakan lebih banyak dari barang mereka sendiri.Begitu masuk, suasana rumah terasa tenang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Rayhan menaruh si kecil di kasur kecil di ruang tengah, sementara Dinda menyiapkan susu hangat.“Nih, biar dia tidur lebih nyenyak,” kata Dinda sambil menyerahkan botol susu ke Rayhan.Rayhan duduk di samping anaknya, perlahan menyodorkan botol itu ke mulut mungil yang langsung refleks menghisap. Senyum kecil muncul di wajah Rayhan. “Din, tiap kali aku lihat dia minum susu gini, rasanya semua capek hilang.”Dinda menatap mereka dengan mata berbinar. “Aku juga ngerasa gitu, Han. Meski sehari penuh rasanya chaos, tapi tiap malam kayak gini… ada rasa tenang.”Setelah selesai minum, si kecil tertidur pulas lagi. Rayhan dan Dinda saling bertukar pandang, lalu
Sore itu, setelah puas bermain air mancur, Dinda dan Rayhan akhirnya memutuskan untuk pulang. Si kecil sudah diganti baju hangat dan tampak nyaman dalam gendongan Dinda.“Din, tadi kita bawain baju ganti dua set, tapi ternyata semua kepake. Untung aja aku kepikiran bawa lebih,” kata Rayhan sambil tertawa kecil.Dinda menoleh dengan wajah geli. “Iya, Han. Kalau sama anak kecil, yang nggak kepikiran tuh malah sering kejadian. Makanya aku siapin ekstra.”Rayhan mengangguk setuju, lalu berjalan menuju tempat parkir sambil menenteng tas bayi yang terlihat makin penuh. Si kecil, yang awalnya semangat main air, kini terlihat lelah. Matanya sayup-sayup, tapi sesekali masih menatap keluar, mengamati keramaian.“Han, lihat deh… dia kayaknya lagi ngelamunin sesuatu,” ujar Dinda sambil mengusap lembut kepala anaknya.Rayhan melirik ke arah si kecil, lalu tersenyum. “Mungkin dia lagi replay di kepalanya gimana serunya main air tadi. Si kecil aja udah bisa punya memori bahagia.”Dalam perjalanan pu
Si kecil yang tadinya asyik bermain bunga, tiba-tiba kembali menatap air mancur dengan penuh semangat. Kedua tangannya terentang, kakinya menendang-nendang kecil sambil mengoceh riang.“Han, sepertinya dia bener-bener kepengin main air itu,” ujar Dinda sambil terkekeh.Rayhan menatap wajah penuh antusias anaknya, lalu tersenyum pasrah. “Oke deh, ayo kita dekatin. Tapi kita harus awasi dia ketat.”Mereka bertiga pun berjalan mendekat ke air mancur. Si kecil tampak semakin bersemangat, tubuh mungilnya berusaha condong ke depan, seakan tak sabar untuk menyentuh percikan air.Begitu sampai, Rayhan mengangkat anaknya tinggi-tinggi, lalu mendekatkan tangannya ke percikan air yang jatuh. Tetesan-tetesan kecil mengenai kulit mungilnya, membuat bayi itu terbahak dengan tawa renyah.“Ya ampun, Han! Liat deh! Dia ketawa sampai matanya nyipit begitu,” kata Dinda sambil menutup mulutnya menahan tawa haru.Rayhan ikut tertawa. “Dia kayak nemu dunia baru. Nih, Nak… rasain lagi airnya!”Setiap kali p