Pagi itu, Dinda sedang duduk di ruang tengah, memandangi ultrasound yang baru saja dicetak dari rumah sakit. Gambar hitam-putih itu tak jelas bagi orang lain, tapi bagi Dinda, itu adalah dunia barunya. Ada jantung kecil yang berdetak, ada tangan mungil yang mulai terbentuk. Alea.Rayhan duduk di lantai, menyandarkan kepalanya ke paha Dinda sambil mengusap perut istrinya dengan lembut.“Kamu sadar nggak,” ucap Rayhan pelan, “setiap kali aku bicara dekat perut kamu, dia gerak sedikit?”Dinda terkekeh kecil. “Mungkin dia suka suara kamu.”“Berarti nanti aku harus sering bacain buku dong, biar dia terbiasa.”“Dan jangan bacain dokumen kerjaanmu yang tebal-tebal itu, ya. Kasihan anaknya nanti jadi stres sejak dalam kandungan.”Rayhan tertawa pelan. “Ya udah, kita mulai dari sekarang, yuk.”Ia meraih sebuah buku anak-anak dari meja kecil dekat sofa. Buku itu punya gambar sampul cerah dan tulisan besar berwarna merah muda: “Cerita Tentang Bintang.”Dengan posisi nyaman, Rayhan mulai membaca,
Sudah memasuki trimester kedua, Dinda mulai merasakan perubahan yang semakin nyata. Perutnya kini membuncit, gerakan kecil dari dalam sudah terasa sesekali—seperti bisikan lembut bahwa kehidupan itu terus bertumbuh, menari pelan dalam rahimnya.Suatu sore, Dinda dan Rayhan duduk bersandar di sofa ruang tamu. Jendela dibiarkan terbuka, membiarkan angin sore menerobos masuk bersama aroma hujan yang masih tertinggal dari siang tadi.“Kamu udah mulai mikir nama?” tanya Rayhan tiba-tiba, sambil memutar tubuh menghadap istrinya.Dinda mengangguk, tangannya otomatis mengelus perutnya yang membulat. “Aku sempat lihat-lihat beberapa nama tadi siang. Tapi kayaknya belum ada yang sreg.”“Punya kriteria khusus?” goda Rayhan.“Yang lembut… tapi punya makna kuat. Nama yang kalau dipanggil, ada rasa damai tapi juga kekuatan,” jawab Dinda pelan. “Kamu gimana?”Rayhan tersenyum, mengangkat bahu. “Aku sempat kepikiran nama ‘Alea’.”“Alea?” Dinda mengulang pelan. “Artinya?”“Dari bahasa Latin. Artinya:
Trimester kedua terasa lebih ringan bagi Dinda. Rasa mualnya berkurang, tubuhnya lebih kuat, dan perasaannya jauh lebih stabil. Tapi di balik semua itu, ada perasaan lain yang diam-diam mulai tumbuh: rasa takut. Takut tak bisa menjadi ibu yang cukup baik, takut tak mampu melindungi kehidupan kecil yang kini ia bawa ke mana pun.Suatu malam, saat Rayhan tertidur di sampingnya, Dinda duduk sendirian di balkon, memandangi langit yang berhiaskan bintang-bintang kecil. Perutnya kini mulai membentuk lekukan yang jelas. Ia menyentuhnya perlahan, seperti mencoba menyapa kehidupan yang sedang tumbuh di sana.“Aku takut,” bisiknya pelan, nyaris hanya angin yang mendengar. “Bukan karena kamu. Tapi karena aku belum pernah jadi ibu. Aku nggak tahu caranya. Tapi aku janji, aku akan belajar. Karena kamu… pantas punya cinta yang paling utuh.”Dari dalam kamar, Rayhan muncul dengan selimut di tangan. Ia mendekat, memakaikan selimut itu di bahu Dinda lalu duduk di sampingnya.“Kamu ngomong sama dia?” t
Dinda berjalan menyusuri lorong kantor lamanya dengan perasaan campur aduk. Sudah lebih dari dua bulan sejak ia resmi cuti dari pekerjaannya, dan hari ini ia datang bukan untuk kembali bekerja, melainkan untuk berpamitan secara resmi. Masa transisi kehamilan awal ini membuatnya ingin mengambil waktu lebih panjang untuk fokus pada keluarga—dan calon bayi mereka.Teman-temannya menyambut dengan pelukan hangat. Rani, sahabat satu timnya yang dulu sering jadi partner makan siang, langsung menggandeng tangannya dan membisik, “Kamu glowing banget, Din. Fix, hormon ibu hamil!”Dinda terkekeh. “Glowing karena capek nahan mual seminggu terakhir.”Mereka tertawa bersama sebelum masuk ke ruang pantry tempat semua orang sudah berkumpul kecil-kecilan. Ada bunga, beberapa makanan ringan, dan bahkan kue tart mungil bertuliskan: Selamat Menyambut Babak Baru, Bunda Dinda!Suasana haru mulai terasa saat kepala divisi memberikan sepatah dua patah kata. Dinda mendengarkan sambil menahan senyum dan rasa s
Hari-hari terasa lebih panjang sejak Dinda dinyatakan hamil. Setiap detiknya kini diisi oleh perasaan cemas dan bahagia yang bertumpuk jadi satu. Tubuhnya memang cepat lelah, tapi hatinya seolah tak pernah kehabisan tenaga untuk berharap dan bermimpi tentang masa depan kecil mereka.Rayhan makin protektif. Bahkan terlalu protektif menurut Dinda. Ia tak membiarkan Dinda menyentuh setrika, naik tangga lebih dari dua lantai, atau bahkan menyapu halaman seperti biasanya.“Kamu bukan cuma bawa dirimu sekarang,” ujar Rayhan dengan lembut setiap kali Dinda protes. “Ada dua nyawa yang harus dijaga.”Dinda tak bisa membantah. Di dalam dirinya, ada kehidupan yang sedang bertumbuh. Sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia percayai bisa terjadi secepat ini. Tapi itulah kenyataan yang kini mereka peluk bersama.⸻Pagi itu, Dinda dan Rayhan kembali ke rumah orang tua Dinda untuk makan pagi bersama. Aroma nasi uduk buatan Mama menyambut sejak dari pintu.“Cucu Mama sehat?” tanya Mama sambil membelai
Pagi itu, Jakarta masih diselimuti gerimis tipis. Hujan semalam menyisakan aroma tanah basah dan udara sejuk yang jarang ditemukan di tengah kota yang selalu riuh.Dinda duduk di ruang tunggu klinik kandungan, tangannya menggenggam erat jemari Rayhan. Meski kehamilannya baru memasuki trimester pertama, jantungnya berdebar tak karuan. Hari ini mereka akan mendengar detak jantung bayi mereka untuk pertama kalinya.“Tenang, Din. Apa pun hasilnya, kita hadapi bareng-bareng, ya?” ucap Rayhan, mencoba menenangkan, meski sorot matanya juga memancarkan kekhawatiran yang sama.Dinda mengangguk, tersenyum kecil. “Aku nggak takut karena kamu ada.”Panggilan perawat membuat mereka berdiri. Dinda berbaring di ranjang periksa, dan Rayhan berdiri di sampingnya, menggenggam tangan istrinya yang dingin karena gugup. Dokter mulai mengoleskan gel dingin di perut Dinda dan menggerakkan alat kecil ke sana-sini.Hening.Beberapa detik terasa seperti selamanya.Lalu—detak.Dug… dug… dug…Cepat. Nyaring. Kua