"Kenapa sih masalah datang bertubi-tubi? Ketahuan selingkuh, anak istri sakit, adik minta iPhone dan Mama menyebutku durhaka," kata Alan dalam hati sambil mengusap kasar wajahnya karena kesal. Ia hanya bisa merutuki apa yang ia alami.
"Mas, perutku sakit sekali," kata Aira, ia pura-pura kesakitan untuk melihat reaksi Alan.Alan tersentak dalam lamunannya, kemudian ia langsung membopong tubuh Aira ke tempat tidur. Menyelimuti tubuh Aira."Perlu aku panggilkan perawat?" tanya Alan dengan wajah yang cemas."Nggak usah, biar aku istirahat saja." Aira memegangi perutnya."Seharusnya Kenzo punya adik," kata Aira dengan pelan. Alan merasa tertampar mendengar kata-kata Aira."Maafkan aku, aku nggak tahu kalau kamu hamil." Mata Alan tampak berkaca-kaca sambil mengelus perut Aira."Aku benar-benar menyesal telah melukaimu." Alan melanjutkan ucapannya.Aira hanya terdiam, ia masih belum bisa memaafkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya.Ponsel Aira yang berdering. Terpampang nama Oma Kenzo di layar ponselnya. Aira hanya mendiamkan saja. Ia malas berdebat dengan mertuanya itu. Ponsel Aira berdering terus, tapi Aira tetap mendiamkan saja.Ia yakin kalau yang ingin dibicarakan mertuanya itu pasti tentang iPhone untuk Trisa. Akhirnya dering itu berhenti, suasana kamar hening dan kaku. Tidak ada pembicaraan antara Aira dan Alan."Aku mau tidur, tolong jagain aku dan Kenzo. Kalau Mas mau pergi, bangunin aku." Kata-kata Aira terdengar sangat menusuk hati Alan. Ia semakin sedih dan menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan."Aku akan menjaga kalian, istirahatlah."Aira berbaring dengan memunggungi Alan yang sudah berada di dekat Kenzo. Tangis yang dari tadi ia tahan, akhirnya jebol juga. Aira menangis tanpa suara.Alan tahu kalau Aira sedang menangis, terlihat dari punggungnya yang bergetar. Ingin rasanya ia memeluk Aira, tapi takut jika Aira akan semakin marah padanya.Akhirnya Aira terlelap dalam tidurnya. Alan bingung mau melakukan apa. Mau mengambil ponselnya, ia tidak berani. Takut kalau nanti ketahuan Aira, bisa jadi kacau. Akhirnya ia pun ikut terlelap dalam tidur.Drtt…drtt… suara ponsel mengagetkan Alan, begitu juga Aira. Aira membuka matanya dan ternyata ponsel Alan yang berdering.Drtt..drtt, dua orang itu masih saling terdiam. Alan takut untuk menerima panggilan di ponselnya, sedangkan Aira merasa kesal karena terganggu tidurnya. Ia melihat ke arah layar ponsel, ia menjadi semakin kesal ketika melihat siapa yang menelponnya."Berisik banget sih? Ganggu orang tidur saja. Angkat telponnya, Mas! Loudspeaker!"Alan pun menerima panggilan itu dan tidak lupa meloudspeaker."Kemana saja kamu? Kok lama sekali angkat teleponnya?" Suara khas Dewi yang nyerocos langsung terdengar begitu Alan menerima panggilan itu."Maaf, Ma. Banyak kerjaan.""Aira kemana? Kok rumahmu sepi sekali, tadi Mama dan Trisa ke rumahmu, tapi Aira dan Kenzo tidak ada."Alan menoleh ke arah Aira, Aira menggelengkan kepala."Ngapain Mama ke rumah?" Alan mengernyitkan dahi."Memangnya Mama nggak boleh ke rumahmu ya?""Bukan begitu Ma?""Tadi Mama menelpon Aira, tapi nggak diangkat-angkat. Pasti ia tidur, alasannya ngelonin Kenzo. Makanya Mama mengajak Trisa ke rumahmu. Ternyata nggak ada orangnya.""Mungkin sedang belanja, Ma?""Belanja terus kerjanya! Memang enak ya ngabisin uang suami! Suami kerja banting tulang, malah istri yang menghabiskan. Itu istri pilihanmu, istri yang selalu kamu bela. Giliran Trisa minta iPhone tidak dibelikan, malah uangnya dipakai untuk hal yang nggak perlu.""Ma, Aira itu kalau belanja ya untuk kebutuhan Kenzo. Tadi Pampers dan susunya Kenzo tinggal sedikit, jadi mungkin Aira belanja. Ma, iPhone yang diminta Trisa itu harganya dua puluhan juta. Uang darimana untuk membelinya?""Masa sih harganya segitu?" Dari suaranya terdengar kalau Dewi kaget."Cari info harga di internet, Ma. Kalau harga sekitar empat jutaan, aku masih mampu membelinya?"Percakapan itu langsung diakhiri oleh Dewi. Sepertinya Dewi kesal karena merasa dibohongi oleh Trisa. Ia tidak tahu harga iPhone yang dimaksud oleh Trisa.Alan menarik nafas panjang, ia kesal dengan mamanya sendiri. Alan kaget ketika Aira menyodorkan ponselnya."Lihat ponselku ini! Model sudah jadul, layar sudah mulai retak-retak dan memori hampir penuh. Kalau aku kerjanya ngabisin uang suami, pasti aku beli ponsel model terbaru." Aira memberikan ponsel itu pada Alan.Alan menerima ponsel itu dan membukanya. Benar yang dikatakan Aira, ponsel itu sudah tidak layak untuk digunakan."Kenapa kamu nggak beli yang baru? Aku nggak masalah kok.""Aku masih mikirin kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin bertambah. Bukan seenaknya saja menghabiskan uang suami."Alan terdiam mendengar jawaban Aira."Mas, apakah kamu menyesal menikah denganku?""Kenapa kamu berkata seperti itu?""Kamu tahu kan kalau Mama dan adik-adikmu tidak menyukaiku, ada saja kata-kata mereka yang menyakitiku. Aku bahagia ketika kamu selalu membelaku. Tapi perselingkuhanmu membuatku semakin tidak berharga di mata keluargamu. Apalagi kamu berselingkuh dengan orang yang dulu mereka harapkan jadi istrimu.""Maafkan aku." Suara Alan terdengar sangat pelan, ia mendekati Aira dan memeluknya."Entahlah, Mas. Aku masih syok dengan perselingkuhanmu dan keguguran yang aku alami." Air mata Aira menetes lagi.***Sambil menggendong Kenzo, Alan merapikan tempat tidur, supaya Aira dan Kenzo bisa nyaman beristirahat. Mereka baru saja sampai di rumah, dokter sudah memperbolehkan mereka untuk pulang."Istirahatlah, biar aku yang mengurus rumah," kata Alan. Kemudian meletakkan Kenzo di tempat tidur karena Kenzo terlelap dalam tidurnya."Terima kasih." Aira berkata dengan pelan.Alan terharu mendengar ucapan terima kasih dari Aira. Seharusnya ia yang berterima kasih karena Aira sepertinya memaafkannya."Kamu mau makan apa? Nanti aku belikan." Alan menawari makanan. Ia berusaha baik dan perhatian pada Aira. Ia takut kalau Aira marah dan akan menyebarkan foto-foto mesranya dengan Firda."Terserah Mas saja.""Oke, aku pesankan makanan. Istirahat ya?" Alan mencoba mengelus kepala Aira. Aira menikmati elusan itu, ia merasa sangat nyaman. Walaupun hatinya sangat kecewa jika mengingat kelakuan Alan.Aira bimbang dengan perasaannya. Apakah ia akan memaafkan Alan atau berpisah dengan Alan.Perlahan Alan menc*um kening Aira, Aira kaget, tapi ia tidak berontak. Alan pun beranjak dari duduknya dan perlahan keluar dari kamar. Ia akan menelpon tempat laundry untuk mengambil pakaian kotor yang dibawa dari rumah sakit.Sambil menunggu tukang laundry datang, ia pun memesan makanan untuk makan mereka nanti. Ia memesan pindang tulang kesukaan Viona.Alan duduk di sofa di ruang keluarga. Ia merebahkan tubuhnya yang lelah karena menunggui anak istrinya di ruang sakit.Ting-tong! Terdengar suara bel rumahnya dipencet orang."Siapa sih yang bertamu siang-siang seperti ini?" gerutu Alan.Ting-tong! Bel berbunyi lagi, akhirnya Alan beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke ruang tamu.Alan terkejut melihat siapa yang datang. "Kok kamu nggak kerja?" tanya wanita yang bertamu itu, tak kalah terkejut karena Alan yang membuka pintu alih-alin Aira.Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te