"Alan sudah bosan denganmu, karena itu ia mencari kehangatan bersamaku. Katanya aku lebih hot daripada kamu," sahut Firda. Ia sengaja tidak membahas tentang suaminya. Ia ingin membuat mental Aira jatuh.
"O ya? Alan itu hanya ingin mencari sensasi lain. Denganmu ia melakukannya hanya nafsu belaka, tapi denganku melakukannya penuh cinta. Karena aku sah dimata hukum agama dan negara. Sedangkan kamu tak ubahnya hanya sebagai terminal saja. Jangan-jangan kamu melakukannya tidak hanya dengan Alan dan suamimu. Tapi dengan banyak laki-laki. Atau kamu open BO?" Aira membalas kata-kata Firda dengan penuh percaya diri. Ia tidak mau terlihat lemah."Firda, aku ingatkan kamu. Kalau kamu masih menghubungi Alan, aku tidak segan-segan akan menyebar foto-foto seksimu. Bagaimana reaksi suami dan orang tuamu ketika melihat itu. Bukankah kamu dulu tidak disetujui menikah dengan Alan? Pasti orang tuamu bisa marah besar, atau mungkin jantungan dan stroke!" Aira semakin berani menantang Firda.Firda yang sangat kesal segera memutuskan panggilan itu. Aira tersenyum puas, walaupun dalam hati ia menangis sedih. Sakit di perutnya tidak sebanding dengan sakit yang ada dihatinya. Ia pun berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh.Aira membuka ponsel Alan, membuka galeri dan mencari-cari foto Alan dan Firda. Ia sangat syok melihat foto-foto itu, ternyata foto mesra mereka berdua cukup banyak. Tak lupa Aira mengirim foto-foto itu, juga rekaman pembicaraannya dengan Firda tadi ke ponselnya. Ia akan menggunakan itu semua sebagai bukti, jika nanti diperlukan.Pintu kamar terbuka, seorang petugas rumah sakit membawakan makanan untuk Aira dan Kenzo. Aira segera menghapus air mata yang sudah terlanjur turun ke pipinya. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya, ia hendak menyuapi Kenzo."Biar aku saja yang menyuapi Kenzo," kata Alan, ketika petugas itu sudah keluar dari kamar Aira dan Kenzo di rawat."Memangnya kamu bisa? Bukankah selama ini kamu tidak mau membantu hal-hal kecil seperti ini?" sindir Aira."Maafkan aku. Mungkin selama ini kurang perhatian kepada kalian. Aku mohon, kamu jangan beranjak dari tempat tidur. Istirahat saja supaya cepat sembuh.""Biar kamu bisa bebas pergi kemana-mana? Janjian dengan Firda, ya kan?""Sayang, aku mohon! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Kamu belum sehat, istirahatlah. Kamu harus sehat, demi aku dan Kenzo.""Apakah kamu juga menyebut sayang pada Firda?"Alan terdiam, Aira pun menyuapi Kenzo."Makan dulu, Sayang. Biar cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan lagi," bujuk Aira. Kenzo pun mau membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari ibunda tercinta.Selesai menyuapi Kenzo, Aira pun makan. Ia butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Dengan perlahan ia mulai makan, walaupun rasanya tidak enak, ia tetap makan. Ia tidak mau terlihat seperti pesakitan di depan Alan. Ia ingin Alan melihatnya sebagai wanita kuat dan tegar.Terdengar ponsel Alan berdering setelah Aira selesai makan. Ponsel itu masih ada di tempat tidur Aira. Alan tidak berani mengambil ponselnya. Dering ponsel masih saja terdengar, Aira melirik ke arah layar ponsel itu."Angkat panggilan itu, loudspeaker! Jangan bilang kalau aku dan Kenzo ada di rumah sakit!" teriak Aira.Alan menuruti ucapan istrinya, untuk saat ini ia benar-benar tunduk di hadapan istrinya."Halo?" sapa Alan."Mas, jadi kan mau beliin aku iPhone terbaru? Teman-temanku sudah punya iPhone semua," rengek seseorang di seberang sana.Alan menatap Aira, Aira memalingkan wajah ke arah lain."Nggak bisa, Tris. Mas Alan sedang banyak pengeluaran.""Pasti Mas takut dengan Mbak Aira kan? Mas tuh laki-laki, ngapain takut dengan Mbak Aira. Lagipula itu kan uangnya Mas Alan, bukan Mbak Aira. Kalau nggak mau beliin, nanti aku bilangin sama Mama.""Bilang saja, nggak apa-apa! Mas memang benar-benar sedang banyak pengeluaran.""Kok Mas jadi pelit sekarang? Nggak kayak dulu sebelum menikah." Suara Trisa terdengar sangat kesal."Trisa, Mas punya keluarga yang menjadi tanggung jawab Mas. Tidak bisa seenaknya saja mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting!""Tidak penting? Mas, teman-temanku sudah pakai iPhone semua. Nanti mereka tidak mau berteman denganku.""Cari teman lain!""Enak saja Mas ngomong kayak gitu. Makanya Mas, suruh Mbak Aira kerja, biar beban hidup Mas tidak terlalu berat. Coba Mas dulu menikah dengan Mbak Firda, pasti hidup Mas Alan enak."Telinga Aira terasa panas mendengar kata-kata Trisa. Ia masih berusaha untuk menahan emosi. Alan memiliki dua adik perempuan. Dwita yang sudah bekerja, sebentar lagi mau lamaran. Sedangkan Trisa masih kuliah, memiliki gaya hidup yang sok kaya."Sudah selesai ceramahnya?" Alan pun mengakhiri panggilan itu, dan meletakkan ponselnya di depan Aira.Aira masih diam saja, tidak berkomentar apapun. Ia mendekati Kenzo yang sudah tidur, karena pengaruh obat."Sayang, ternyata kita ini jadi beban hidup ayahmu ya? Semoga Ibu cepat sehat, jadi nanti Ibu bisa bekerja lagi," kata Aira sambil mengelus kepala Kenzo."Nggak usah didengarkan omongan Trisa tadi. Dia kalau ngomong memang nggak pakai mikir dulu.""Tenang saja, Mas. Setelah aku sehat, aku akan berusaha keras mencari tambahan uang. Biar beban hidupmu berkurang.""Aku yang berkewajiban mencari nafkah, bukan kamu." Alan mendekati Aira dan memegang pundak Aira.Tak lama kemudian, ponsel Alan berdering lagi. Alan hanya terdiam, ia menunggu perintah dari Aira."Loudspeaker!" seru Aira.Lagi-lagi Alan tunduk dengan perintah Aira."Alan, kenapa kamu nggak menuruti keinginan Trisa? Kasihan, hanya dia sendiri yang tidak punya iPhone." Terdengar suara dengan nada tinggi ketika Alan menerima panggilan itu."Ma, ponsel Trisa kan belum lama beli. Masih bisa digunakan. Lagipula nggak mesti punya iPhone, kan?""Dia itu adikmu, tanggung jawabmu. Apa salahnya kamu menuruti permintaannya. Darah itu lebih kental daripada air. Jangan hanya Aira saja yang selalu kamu turuti keinginannya.""Permintaan Trisa lama-lama semakin aneh dan tambah ngelunjak. Sekarang iPhone, bentar lagi apa? Mobil?" Alan mulai kesal dengan mamanya."Kok kamu jadi berubah begini? Biasanya apapun permintaan Trisa dan Dwita selalu kamu turuti. Apa karena Aira?""Bukan, Ma. Keinginanku sendiri. Aku sudah punya keluarga, tanggung jawabku semakin besar. Kalau untuk biaya kuliah, aku masih bisa membantu. Tapi kalau sekedar iPhone, aku nggak bisa.""Kamu jangan durhaka sama Mama ya? Apa perlu Mama menelpon Aira supaya mengizinkan kamu membelikan iPhone?""Nggak perlu, Ma. Karena jawaban Aira pun sama dengan jawabanku."Tut….Tut…! Panggilan itu pun diakhiri oleh Dewi, mamanya Alan dengan emosi. Alan menarik nafas panjang, meletakkan lagi ponselnya di tempat semula."Kenapa sih masalah datang bertubi-tubi? Ketahuan selingkuh, anak istri sakit, adik minta iPhone dan Mama menyebutku durhaka," kata Alan dalam hati sambil mengusap kasar wajahnya karena kesal. Ia hanya bisa merutuki apa yang ia alami."Mas, perutku sakit sekali," kata Aira, ia pura-pura kesakitan untuk melihat reaksi Alan.Alan tersentak dalam lamunannya, kemudian ia langsung membopong tubuh Aira ke tempat tidur. Menyelimuti tubuh Aira."Perlu aku panggilkan perawat?" tanya Alan dengan wajah yang cemas."Nggak usah, biar aku istirahat saja." Aira memegangi perutnya."Seharusnya Kenzo punya adik," kata Aira dengan pelan. Alan merasa tertampar mendengar kata-kata Aira."Maafkan aku, aku nggak tahu kalau kamu hamil." Mata Alan tampak berkaca-kaca sambil mengelus perut Aira."Aku benar-benar menyesal telah melukaimu." Alan melanjutkan ucapannya.Aira hanya terdiam, ia masih belum bisa memaafkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya. Ponsel Aira yang berdering. Terpampang nama Oma K
"Aira sakit, Ma.""Sakit apa? Manja sekali, sampai-sampai suaminya nggak boleh kerja." Dewi langsung masuk ke dalam rumah, ia datang bersama dengan Trisa."Dimana anak istrimu?" tanya Dewi yang kemudian duduk di sofa. "Istirahat di kamar, Ma. Mereka sedang sakit."Belum sempat Dewi berkata lagi, terdengar suara bel berbunyi. Alan segera menemui tamu yang datang. Ternyata tukang laundry, Alan pun masuk kembali untuk mengambil pakaian kotor."Siapa tamunya?" tanya Dewi. Alan hanya diam, karena ia tahu kalau mamanya pasti mau mengomel."Kayaknya tukang laundry, Ma," sahut Trisa ketika melihat Alan membawa dua kantong plastik besar. Alan tetap diam.Alan masuk ke ruang keluarga lagi setelah tukang laundry pulang. Belum sempat Alan duduk, bel berbunyi lagi. Alan kembali berjalan ke depan, karena ia yakin kalau yang datang ini adalah makanan yang ia pesan."Wah enak sekali istrimu ya? Dengan alasan sakit nggak sempat mencuci baju dan masak. Ini namanya pemborosan!" sindir Dewi ketika melih
"Ibu, maem." Kenzo merengek minta makan."Kenzo lapar ya?" tanya Aira sambil mengelus kepala Kenzo.Kenzo menganggukkan kepala. Sebenarnya Aira malas menemui Dewi, tapi karena Kenzo lapar, mau tidak mau Aira harus keluar dari kamar. Ia menyiapkan mental untuk bertemu dengan mama mertuanya."Akhirnya kamu keluar kamar juga? Jangan-jangan dari tadi kamu sengaja tidak mau menemui Mama." Dewi langsung nyerocos melihat Aira berjalan tertatih-tatih menggendong Kenzo. Tidak ada rasa iba sedikitpun melihat menantunya yang sedang sakit, atau sekedar menyapa cucunya. Alan yang melihat kondisi Aira, segera mendekati Aira dan menggendong Kenzo."Aku benar-benar tidur, Ma. Suara Mama yang keras tadi mengagetkan aku dan Kenzo." Aira menjawab ucapan Dewi."Alasan saja! Kata Alan kamu keguguran ya? Apa kamu nggak KB? Kenzo masih kecil kok sudah mau dikasih adik," omel Dewi. Aira hanya diam."Selalu saja aku yang salah," kata Aira dalam hati."Ma, sudahlah, nggak usah ngomel," kata Alan."Bela terus
"Mampus aku!" umpat Trisa sambil menatap ponselnya. Jantungnya berdetak dengan kencang.Alan dan Dewi menoleh ke arah Trisa."Kamu kenapa?" tanya Alan."E…e…nggak apa-apa, Mas." Trisa menjawab dengan gugup dan suara bergetar."Matilah aku," umpat Trisa lagi, tadi dengan suara yang agak pelan. Hanya Alan saja yang mendengarnya."Ada apa?" tanya Alan lagi."Bakal terjadi perang," gumam Trisa.Alan hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Trisa bertingkah aneh. "Perang?" tanya Alan lagi.Trisa hanya diam saja, pikirannya kacau. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Papanya pasti marah besar melihat video yang dikirim tadi. Sudah terlambat bagi Trisa untuk menghapusnya, karena sudah terlihat tanda centang dua berwarna biru. Berarti papanya sudah melihat video itu.Drtt….drtt…. Ponsel Dewi berdering. Dewi menerima panggilan itu."Halo, Pa?" sapa Dewi."Mama ada dimana?""Di rumah Alan.""Ngapain kesitu? Memangnya Alan nggak kerja?""Enggak, Pa. Kasihan Alan, Aira manja sekali, baru sa
"Ma, memangnya uang yang Papa kasih itu sudah habis?" tanya Gunawan kepada Dewi, ketika mereka sudah sampai di rumah.Dewi kaget mendengar pertanyaan suaminya, ia tidak menyangka jika Gunawan akan bertanya tentang uang. Selama ini, berapapun uang yang diberikan Gunawan dan dihabiskan untuk apa, sang suami tidak tahu menahu."Ma-masih kok, Pa." Dewi menjawab dengan gugup."Kenapa Papa bertanya seperti itu? Apa Papa nggak percaya dengan Mama? Apa perlu Mama tuliskan secara rinci pengeluarannya?" lanjut Dewi. Ia berusaha untuk tenang dan mencecar Gunawan dengan beberapa pertanyaan."Syukurlah kalau masih ada. Papa percaya kok sama Mama. Kalau memang kurang, bilang saja. Jangan sampai minta uang dengan anak-anak, terutama dengan Alan. Dia kan sudah punya keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.""Mama nggak pernah minta uang dengan Alan. Apa Aira mengadu yang tidak-tidak dengan Papa? Pa, Aira itu tidak suka dengan Mama. Jadi dia akan menjelek-jelekkan Mama di depan Papa. Papa jangan mudah
Suasana tampak hening sesaat, hanya terdengar hembusan nafas dari Aira dan Alan. "Apa kata Bapak dan Ibu, jika mereka tahu masalah ini? Aku malu, Mas! Berbeda dengan Mama, ia pasti akan bahagia, apalagi kalau sampai tahu siapa yang jadi selingkuhanmu."Aira masih saja mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Aku akan mulai mencari kerja, Mas siapkan uang lebih untuk membayar baby sitter untuk Kenzo."Alan kaget mendengar kata-kata Aira, ia tidak menyangka jiika Aira bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu."Apa kamu tega membiarkan Kenzo diasuh oleh orang lain? Ia masih kecil, kasihan dia!" sahut Alan."Kenapa nggak tega? Semua demi masa depanku dan Kenzo. Kalau tidak nanti biar Kenzo aku masukkan ke tempat penitipan anak. Aku ingin punya uang sendiri," kata Aira dengan nada yang tinggi."Apa uang dariku nggak cukup?""Bukan masalah cukup nggak cukup, aku nggak mau menjadi beban hidupmu. Setidaknya aku punya uang untuk kebutuhanku sendiri. Aku sudah capek dihina terus oleh Mama dan a
"Kenzo!" panggil Aira sambil berjalan mencari-cari Kenzo. Ia sudah sangat gemetar karena ketakutan. Pikirannya sudah sangat kacau membayangkan Kenzo tidak ada. Tiara mengikuti Aira sambil menenangkannya."Kita cari satpam!" usul Tiara."Maafkan Ibu, Sayang. Ibu teledor," kata Aira sambil terisak-isak."Bagaimana Tiara, aku takut jika tidak bertemu dengan Kenzo lagi.""Hush! Jangan berkata seperti itu, pasti Kenzo ketemu."Tiara dan Aira berjalan mengelilingi gerai pakaian anak, kemudian berlanjut ke pakaian laki-laki. Belum juga menemukan Kenzo, Aira semakin cemas. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat, tangannya terasa sangat dingin karena ketakutan."Ya Allah, kemana kamu, Nak? Jangan membuat Ibu panik!" Aira melanjutkan pencarian ke tempat lain, ia dan Tiara tadi sempat berpencar."Kenzo, dimana kamu?" kata Aira dalam hati.Seketika langkah kaki Aira terhenti, ia memasang telinganya untuk mendengarkan sesuatu. Wajahnya tampak tersenyum mendengar suara tawa anak kecil. Suara yang m
"Ma, apa maksud Mama mengirim foto Aira pada Papa?" tanya Gunawan. Dewi langsung kaget, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia segera membuka ponselnya untuk memastikan siapa yang ia kirimi foto tadi. Wajah Dewi langsung pucat pasi, ketika tahu bahwa ia salah kirim. Sebenarnya ia ingin mengirim foto itu pada Alan untuk memprovokasi Alan. Ternyata malah terkirim pada suaminya."Maaf, Pa. Salah kirim." Dewi menjawab dengan gugup."Terus apa maksud dari foto itu? Dapat darimana?""Mama mau mengirim foto pada Alan, biar ia tahu kelakuan istrinya. Suami sibuk kerja, malah istri sibuk belanja." Dewi sudah mulai bisa menetralisir suasana hatinya. Ia pun sekarang berusaha mempengaruhi suaminya."Ma! Tadi Papa sudah bilang, jangan ikut campur urusan Alan!" Gunawan menjadi kesal."Ma!" Terdengar suara Dwita memanggil mamanya."Iya, Sayang," sahut Dewi, kemudian berjalan untuk menemui Dwita yang duduk di sofa ruang keluarga."Kamu sudah pulang ya? Belanja apa saja? Reza mana?" Dewi tampak sumri