Share

Beban Hidup

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-20 20:45:36

"Alan sudah bosan denganmu, karena itu ia mencari kehangatan bersamaku. Katanya aku lebih hot daripada kamu," sahut Firda. Ia sengaja tidak membahas tentang suaminya. Ia ingin membuat mental Aira jatuh.

"O ya? Alan itu hanya ingin mencari sensasi lain. Denganmu ia melakukannya hanya nafsu belaka, tapi denganku melakukannya penuh cinta. Karena aku sah dimata hukum agama dan negara. Sedangkan kamu tak ubahnya hanya sebagai terminal saja. Jangan-jangan kamu melakukannya tidak hanya dengan Alan dan suamimu. Tapi dengan banyak laki-laki. Atau kamu open BO?" Aira membalas kata-kata Firda dengan penuh percaya diri. Ia tidak mau terlihat lemah.

"Firda, aku ingatkan kamu. Kalau kamu masih menghubungi Alan, aku tidak segan-segan akan menyebar foto-foto seksimu. Bagaimana reaksi suami dan orang tuamu ketika melihat itu. Bukankah kamu dulu tidak disetujui menikah dengan Alan? Pasti orang tuamu bisa marah besar, atau mungkin jantungan dan stroke!" Aira semakin berani menantang Firda.

Firda yang sangat kesal segera memutuskan panggilan itu. Aira tersenyum puas, walaupun dalam hati ia menangis sedih. Sakit di perutnya tidak sebanding dengan sakit yang ada dihatinya. Ia pun berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh.

Aira membuka ponsel Alan, membuka galeri dan mencari-cari foto Alan dan Firda. Ia sangat syok melihat foto-foto itu, ternyata foto mesra mereka berdua cukup banyak. Tak lupa Aira mengirim foto-foto itu, juga rekaman pembicaraannya dengan Firda tadi ke ponselnya. Ia akan menggunakan itu semua sebagai bukti, jika nanti diperlukan.

Pintu kamar terbuka, seorang petugas rumah sakit membawakan makanan untuk Aira dan Kenzo. Aira segera menghapus air mata yang sudah terlanjur turun ke pipinya. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya, ia hendak menyuapi Kenzo.

"Biar aku saja yang menyuapi Kenzo," kata Alan, ketika petugas itu sudah keluar dari kamar Aira dan Kenzo di rawat.

"Memangnya kamu bisa? Bukankah selama ini kamu tidak mau membantu hal-hal kecil seperti ini?" sindir Aira.

"Maafkan aku. Mungkin selama ini kurang perhatian kepada kalian. Aku mohon, kamu jangan beranjak dari tempat tidur. Istirahat saja supaya cepat sembuh."

"Biar kamu bisa bebas pergi kemana-mana? Janjian dengan Firda, ya kan?"

"Sayang, aku mohon! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Kamu belum sehat, istirahatlah. Kamu harus sehat, demi aku dan Kenzo."

"Apakah kamu juga menyebut sayang pada Firda?"

Alan terdiam, Aira pun menyuapi Kenzo.

"Makan dulu, Sayang. Biar cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan lagi," bujuk Aira. Kenzo pun mau membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari ibunda tercinta.

Selesai menyuapi Kenzo, Aira pun makan. Ia butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Dengan perlahan ia mulai makan, walaupun rasanya tidak enak, ia tetap makan. Ia tidak mau terlihat seperti pesakitan di depan Alan. Ia ingin Alan melihatnya sebagai wanita kuat dan tegar.

Terdengar ponsel Alan berdering setelah Aira selesai makan. Ponsel itu masih ada di tempat tidur Aira. Alan tidak berani mengambil ponselnya. Dering ponsel masih saja terdengar, Aira melirik ke arah layar ponsel itu.

"Angkat panggilan itu, loudspeaker! Jangan bilang kalau aku dan Kenzo ada di rumah sakit!" teriak Aira.

Alan menuruti ucapan istrinya, untuk saat ini ia benar-benar tunduk di hadapan istrinya.

"Halo?" sapa Alan.

"Mas, jadi kan mau beliin aku iPhone terbaru? Teman-temanku sudah punya iPhone semua," rengek seseorang di seberang sana.

Alan menatap Aira, Aira memalingkan wajah ke arah lain.

"Nggak bisa, Tris. Mas Alan sedang banyak pengeluaran."

"Pasti Mas takut dengan Mbak Aira kan? Mas tuh laki-laki, ngapain takut dengan Mbak Aira. Lagipula itu kan uangnya Mas Alan, bukan Mbak Aira. Kalau nggak mau beliin, nanti aku bilangin sama Mama."

"Bilang saja, nggak apa-apa! Mas memang benar-benar sedang banyak pengeluaran."

"Kok Mas jadi pelit sekarang? Nggak kayak dulu sebelum menikah." Suara Trisa terdengar sangat kesal.

"Trisa, Mas punya keluarga yang menjadi tanggung jawab Mas. Tidak bisa seenaknya saja mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting!"

"Tidak penting? Mas, teman-temanku sudah pakai iPhone semua. Nanti mereka tidak mau berteman denganku."

"Cari teman lain!"

"Enak saja Mas ngomong kayak gitu. Makanya Mas, suruh Mbak Aira kerja, biar beban hidup Mas tidak terlalu berat. Coba Mas dulu menikah dengan Mbak Firda, pasti hidup Mas Alan enak."

Telinga Aira terasa panas mendengar kata-kata Trisa. Ia masih berusaha untuk menahan emosi. Alan memiliki dua adik perempuan. Dwita yang sudah bekerja, sebentar lagi mau lamaran. Sedangkan Trisa masih kuliah, memiliki gaya hidup yang sok kaya.

"Sudah selesai ceramahnya?" Alan pun mengakhiri panggilan itu, dan meletakkan ponselnya di depan Aira.

Aira masih diam saja, tidak berkomentar apapun. Ia mendekati Kenzo yang sudah tidur, karena pengaruh obat.

"Sayang, ternyata kita ini jadi beban hidup ayahmu ya? Semoga Ibu cepat sehat, jadi nanti Ibu bisa bekerja lagi," kata Aira sambil mengelus kepala Kenzo.

"Nggak usah didengarkan omongan Trisa tadi. Dia kalau ngomong memang nggak pakai mikir dulu."

"Tenang saja, Mas. Setelah aku sehat, aku akan berusaha keras mencari tambahan uang. Biar beban hidupmu berkurang."

"Aku yang berkewajiban mencari nafkah, bukan kamu." Alan mendekati Aira dan memegang pundak Aira.

Tak lama kemudian, ponsel Alan berdering lagi. Alan hanya terdiam, ia menunggu perintah dari Aira.

"Loudspeaker!" seru Aira.

Lagi-lagi Alan tunduk dengan perintah Aira.

"Alan, kenapa kamu nggak menuruti keinginan Trisa? Kasihan, hanya dia sendiri yang tidak punya iPhone." Terdengar suara dengan nada tinggi ketika Alan menerima panggilan itu.

"Ma, ponsel Trisa kan belum lama beli. Masih bisa digunakan. Lagipula nggak mesti punya iPhone, kan?"

"Dia itu adikmu, tanggung jawabmu. Apa salahnya kamu menuruti permintaannya. Darah itu lebih kental daripada air. Jangan hanya Aira saja yang selalu kamu turuti keinginannya."

"Permintaan Trisa lama-lama semakin aneh dan tambah ngelunjak. Sekarang iPhone, bentar lagi apa? Mobil?" Alan mulai kesal dengan mamanya.

"Kok kamu jadi berubah begini? Biasanya apapun permintaan Trisa dan Dwita selalu kamu turuti. Apa karena Aira?"

"Bukan, Ma. Keinginanku sendiri. Aku sudah punya keluarga, tanggung jawabku semakin besar. Kalau untuk biaya kuliah, aku masih bisa membantu. Tapi kalau sekedar iPhone, aku nggak bisa."

"Kamu jangan durhaka sama Mama ya? Apa perlu Mama menelpon Aira supaya mengizinkan kamu membelikan iPhone?"

"Nggak perlu, Ma. Karena jawaban Aira pun sama dengan jawabanku."

Tut….Tut…! Panggilan itu pun diakhiri oleh Dewi, mamanya Alan dengan emosi. Alan menarik nafas panjang, meletakkan lagi ponselnya di tempat semula.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Eli Mirza
ancam Alan dong.sebarin foto2 mrka ke suami firda biar kapok..klrga toxix ihh serem
goodnovel comment avatar
Sabrina Taski
kirim foto ke hpmu....aneh ya sdh tau kelg alan kykgitu...ngga ada persiapan....
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
knp Alan takut klu Aira bekerja trs bisa tampil cntik lgi dan tkut ada laki2 yg ngelirik istri mu alan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Setelah Kau Mendua   Ending

    Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu

  • Setelah Kau Mendua   Jangan Jual Mahal

    Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran

  • Setelah Kau Mendua   Benar-benar Kecewa

    Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,

  • Setelah Kau Mendua   Lelah Dengan Keadaan

    Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B

  • Setelah Kau Mendua   Duren

    Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per

  • Setelah Kau Mendua   Pergilah, Nak!

    Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status