“Rumah itu disewakan, uang sewanya untukku. Alhamdulillah, untuk tambahan biaya hidup kami berdua. Mas Alan memang belum memberi nafkah untuk Kenzo….”“Kamu harus memperjuangkan nafkah untuk Kenzo! Jangan keenakan dia, sudah selingkuh, melakukan penganiayaan, tidak mau menafkahi anaknya. Laki-laki seperti itu yang dulu kamu perjuangkan pada Ayah dan Ibu?” Lagi-lagi Amel nyerocos dan selalu menyalahkan Aira.“Ma, sudahlah. Jangan selalu menyalahkan Aira. Ia sudah cukup menderita hidupnya, jangan ditambahi dengan ucapan yang semakin menyakiti hatinya.” Fariz berusaha mengingatkan Amel untuk tidak menyalahkan Aira.“Pa, Alan ini harus diberi pelajaran supaya tidak meremehkan Aira. Kalau sampai aku bertemu dengannya, aku maki-maki dia!” Aira hanya diam, entah apa yang ia rasakan saat ini. Apakah ia bahagia karena Amel membelanya, walaupun tadi sempat menyalahkannya? Yang jelas, ia sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Amel dan orang tuanya. Ia ingin fokus pada kehidupannya d
“Kenzo, sini sama Ayah,” kata Alan sambil mengulurkan kedua tangannya. Kenzo tampak ragu-ragu.“Peluk Ayah,” kata Aira pada Kenzo, Kenzo pun mendekati Alan dan kemudian memeluknya. Alan terharu sampai mata berkaca-kaca, ia tetap memeluk Kenzo dengan eratnya.“Kenzo sudah besar ya? Jangan nakal, nurut sama Ibu,” kata Alan sambil melepaskan pelukannya.“Kenzo sudah makan?” tanya Alan.“Sudah,” jawab Kenzo.“Sama apa?”“Sop.” Kenzo menjawab dengan singkat. Ia masih terlihat kaku di dekat Alan, karena memang sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Aira memang sengaja membatasi pertemuan dengan Alan dengan Kenzo. Waktu itu Aira dan Alan masih bersengketa di pengadilan, takutnya Alan akan berbuat nekat.“Kapan-kapan kita jalan-jalan ya?” kata Alan pada Kenzo.Kenzo bingung mau menjawab apa, ia pun menatap ibunya.“Iya, nanti Kenzo bisa jalan-jalan dengan Ayah.” Aira menjawab keraguan Kenzo, Kenzo pun mengangguk.“Aku senang melihat kalian berdua sehat. Maafkan aku belum bisa memberi y
Ciiit…. Tiba-tiba Fariz mengerem mendadak. Amel syok, untung saja ia memakai sabuk pengaman, jadi kepalanya terhindar dari benturan dengan dasbor mobil.Amel langsung menoleh ke arah Fariz, butuh mobil menepi dan berhenti. Fariz masih fokus menatap ke depan, nafasnya terengah-engah sepertinya ia sedang menahan amarah.“Pa, apa Papa mau membuat kita mati kecelakaan? Apa yang Papa pikirkan? Oh, pasti Papa memikirkan Aira kan?” Amel langsung mengomel lagi.Fariz menarik nafas panjang.“Ma, bisa nggak sih Mama itu berpikir positif, jangan selalu berpikir negatif tentang Aira. Ingat ma, ucapan itu adalah doa. Apa yang Mama ucapkan bisa saja suatu saat jadi kenyataan.” Fariz berkata dengan perlahan.“Oh, jadi Papa punya niat mendekati Aira ya? Iya?” bentak Amel.“Ma, Papa tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menduakan Mama. Apalagi dengan mendekati Aira. Tapi Mama sudah menuduh yang enggak-enggak, seolah-olah Papa ini laki-laki hidung belang. Selama ini Papa selalu mengalah dengan segala
Pandangan mata Aira beralih ke ponsel. [Jangan takut, Mbak. Ini kemauanku sendiri bukan disuruh Mama. Aku janji nggak akan memberi tahu tempat tinggal Mbak Aira. Aku hanya ingin ngobrol-ngobrol.]Aira menghela nafas panjang membaca pesan dari Dwita.[Ok. Nanti pas libur ya?] Aira membalas pesan itu.Tak butuh waktu lama, Dwita langsung membalas pesan Aira.[Terima kasih, Mbak.]Aira pun meletakkan ponselnya di meja lagi.Vani yang dari tadi memperhatikan Aira, tidak berani bertanya. Padahal banyak pertanyaan yang ada di kepalanya. Ia ingin menghargai privasi Aira.Aira melanjutkan pekerjaannya, walaupun pikirannya menerawang kemana-mana. Tapi ia tetap berusaha untuk berkonsentrasi mengerjakan semuanya. Ia sedih karena hubungannya dengan Dwita sudah membaik, tapi malah hubungan perkawinannya dengan Alan sudah bubar. Aira hanya berharap semoga hubungannya dengan Dwita tetap baik. Apalagi ada Kenzo yang merupakan keponakan Dwita. Dwita juga terlihat sayang dengan Kenzo. Vani masih saj
“Betul katamu itu Malvin, tidak ada cinta sejati antara laki-laki beristri dan perempuan bersuami.” Terdengar suara seseorang yang tiba-tiba datang di hadapan mereka.Malvin dan Gita kaget melihat siapa yang datang.“Mas Bara?” Suara Malvin terdengar bergetar karena kaget. Orang yang dari tadi ia bicarakan sekarang berada di hadapannya.“Halo Gita! Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian.”Malvin dan Gita semakin gugup saja. “Kamu tahu Malvin, kenapa Gita sampai sekarang belum menikah?” tanya Bara.“Terlalu pilih-pilih laki-laki, Mas.” Malvin menjawab pertanyaan Bara.“Salah, bukan itu sebabnya. Gita itu pacaran dengan suami orang. Makanya ia tidak menikah. Dan Firda ikut-ikutan Gita, berpacaran dengan suami orang.” Wajah Bara tampak sinis memandang Gita.“Nggak mungkin Gita mau mengingatkan Firda, kelakuannya sama kok. Kamu masih berhubungan dengan Derry kan? Sadarlah, Gita, Derry itu punya istri dan dua anak. Apa kamu nggak kasihan melihat anak istri Derry?” Bara menceramahi G
Sebenarnya Dwita tidak berhak membuka amplop besar yang ada di atas bakas itu. Tapi rasa penasaran membuatnya ragu antara membukanya atau mengacuhkannya. Apalagi ketika ia melihat tulisan di atas amplop itu tertera pengadilan agama.“Kenzo lelap kan tidurnya,” kata Aira yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.“I-iya, lelap sekali. Ternyata ia sudah besar ya?” sahut Dwita dengan gugup, tapi ia berusaha untuk menutupi kegugupannya.“Ayo kita ngobrol di ruang tamu saja,” ajak Aira.“Oke, Mbak.” Dwita mengikuti langkah kaki Aira keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu.“Kamu pamit apa sama Mama?” tanya Aira sambil mencomot martabak yang tadi dibawa Dwita.“Pamit ke rumah teman, tapi Papa tahu aku pergi kesini. Ini ada titipan untuk Kenzo dari Papa.” Dwita membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam tas.“Apa ini?” tanya Aira ketika menerima amplop itu.“Kayaknya uang sih, Mbak. Kata Papa untuk Kenzo dan Mbak Aira.”Mata Aira berkaca-kaca, ia sangat terharu dengan perhat
Bara beranjak dari duduknya dan menyambut yang datang.“Papa dengan siapa kesini?” tanya Bara sambil menyalami papanya, Ardi Nugraha.“Sama Hilman, ia ada diluar.” Papanya Bara mendekati sang besan dan bersalaman dengannya. Hilman adalah asisten yang juga merangkap orang kepercayaan Ardi.“Bagaimana kondisinya Pak Hendra?” tanya Ardi.“Seperti inilah, sudah mulai membaik,” sahut Hendrawan dengan pelan.“Waktu Bara memberi kabar ini, saya sedang di luar negeri. Jadi baru sekarang saya sempat menjenguk kesini.” Ardi memberikan penjelasannya.“Nggak apa-apa, ini juga sudah mau sembuh kok.”“Nggak usah banyak pikiran, Pak. Kita ini sudah tua, biarkan yang muda-muda saja yang menyelesaikan semua pekerjaan. Kita hanya perlu memantaunya saja. Seperti saya, semua pekerjaan saya serahkan dengan Bintang dan Bara, sesekali saya mengeceknya,” kata Ardi.Bintang adalah kakak pertama Bara. Mereka tiga bersaudara, Bintang, Bara dan Kinanti. Kinanti masih kuliah, Bintang dan Bara masing-masing memega
Dwita segera membuka tasnya, karena itu adalah suara dering ponselnya.“Halo, Ma,” sapa Dwita.“Kamu dimana?” tanya sang mama.“Lagi di mall.”“Sama siapa?”“Teman. Ada apa, Ma?” Dwita penasaran.“Kamu tahu nggak kalau Alan sudah resmi bercerai dengan perempuan tidak tahu diri itu. Tadi waktu Mama masuk ke kamar Alan, Mama melihat surat perceraian mereka. Yang Mama heran, kenapa Alan nggak cerita sama Mama ya? Alan cerita sama kamu nggak? Tapi entah kenapa Mama merasa sangat senang…” Dewi nyerocos tanpa memberi kesempatan Dwita untuk berbicara.“Ma, aku sudah tahu. Sudah ya, aku mau jalan lagi, nih.” Dwita langsung menutup panggilan itu. Wajahnya tampak sangat kesal. Ia kesal dengan Dewi, karena selalu membenci Aira dan sering menyebutnya dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan.Aira ikut mendengarkan Dwita berbicara dengan seseorang di telepon. Tapi ia yakin kalau yang menelpon Dwita tadi itu mamanya. Soalnya Aira mendengar Dwita menyebut mamanya. Hati Aira berdenyut nyeri