Dulu ucapan cintanya bagaikan borgol yang membelenggu hatiku. Namun sekarang, terlalu hambar saat kudengar lagi. Dia hanya ingin memenangkan hatiku yang telah terluka parah.
Sepanjang liburan ini keceriaan tampil menghiasi wajahnya yang rupawan. Mas Ilham bahagia. Bisa menikmati quality time yang jarang kami punya.
Kulepas hijab dan menggantungnya di hanger yang tergantung di tembok samping.
"Sini!" Dia menepuk lengannya. Aku mendekati dan berbaring seperti hari-hari kemarin.
"Anak-anak sudah tidur?"
"Ya."
Kami baru saja pulang dari menemani anak-anak bermain. Pulang ke penginapan kelelahan dan tidur setelah makan siang.
Di luar kabut mulai turun dan menebarkan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mataku mulai memejam.
"Ngantuk, ya?" tanya Mas Ilham sambil mengusap pipiku.
"Enggak, dingin saja."
Mas Ilham menarik selimut hingga menutupi tubuh kami sampai ke dada. Dia juga memelukku.
Tig
Aku hanya agak terganggu dengan sikap Mas Ilham yang berubah posesif. Jika biasa aku membeli apa-apa sendiri, kini harus menunggunya off kerja dulu. Atau dia menyuruhku untuk pesan lewat aplikasi online saja.Cemburu? Ini berlebihan, Pak Ilham.Namun, langit tidak selamanya cerah. Mendung kembali membayang saat sebuah foto dikirim oleh nomer tidak kukenal. Sebuah resit hotel atas nama Ilham Bagaskara dengan dua orang yang ditulis keterangan di sana.Resit itu sudah dua tahun yang lalu. Dan aku tidak pernah diajak menginap di hotel yang namanya tertera di resit pembayaran.Setelah terluka sekian lama, aku tidak lagi menangisinya. Tidak. Aku sudah lelah. Aku memasa bodohkan semua itu. Namun tidak kupungkiri, meski mengabaikan pada kenyataannya dadaku sesak juga.Miya, hanya kepada dia aku bercerita."Abaikan saja, Vi. Jika kamu melihat ke belakang lagi, kapan lukamu sembuh. Toh, Mas Ilham sudah menyadari kesalahannya.
"Dengerin, Vi, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Please, dengarkan Mas."Tiba-tiba perutku terasa mual. Kutepis pelukan Mas Ilham. Aku berdiri dengan tubuh gemetar dan langsung berlari ke kamar mandi belakang.Aku muntah di wastafel. Napas rasanya tertekan di tenggorokan bersama tubuh yang terasa makin lemah. Pandangan mata mulai kabur dan aku luruh tidak ingat apa-apa lagi. Sesaat sebelum aku tidak sadar, kurasakan ada yang menahan tubuhku.Aroma minyak kayu putih dan bau obat menguat dalam penciuman. Aku langsung tersadar kalau tidak sedang di rumah. Ini pasti di klinik. Kurasakan badan yang masih lemah dan rasa pusing yang mendera."Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sayang." Suara Mas Ilham berada di sebelah kananku.Aku menoleh kemudian menarik tangan yang digenggamnya."Minum, ya," tawarnya sambil meraih sebotol air mineral. Aku menggeleng.Sekarang ini aku ingin sekali ada Ibu dan Syifa di sini. Aku
"Sayang, hari ini kita pulang setelah sarapan." Mas Ilham bicara di pagi itu.Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya tampak segar. Namun matanya tampak cekung karena kurang tidur tiga hari ini.Selama dirawat, tidak ada satu pun keluarga yang tahu. Aku yang melarangnya agar tidak memberitahu siapapun.Biarlah Ibu menjaga Syifa dan mengurus toko. Sementara Mama mertua baru seminggu ini sembuh dari sakitnya. Aku yang akan mengambil sendiri keputusan ini, tanpa campur tangan keluarga.Hanya Miya yang kuberitahu tentang kehamilanku, juga permasalahan yang kembali mencederai hati. Aku meneleponnya saat Mas Ilham pulang untuk mengambilkan baju ganti."Mas ngambil cuti sampai lusa. Mas akan menemanimu di rumah.""Ya, kita bisa bicarakan perceraian kita."Mas Ilham mematung sejenak. Kemudian mengambil kotak nasi di meja. "Sarapan dulu, Mas suapi," ujarnya tidak mempedulikan ucapanku."Aku akan makan sendiri
Ilham's POVSepanjang perjalanan aku mengutuk kedunguanku selama ini. Betapa tololnya aku membiarkan diri terlena demikian lama. Hingga jejak yang kutinggalkan tidak begitu saja bisa terhapuskan. Kembali melukai dan menyakiti lagi.Kekhawatiran makin merajai hati saat dokter mengatakan kalau Vi hamil tiga bulan. Aku takut terjadi apa-apa dengan Vi dan calon anak kami.Selama pemeriksaan aku berdoa tiada henti.Aku lega ketika dokter bilang, janinnya baik-baik saja.Kenapa dia merahasiakan kehamilannya dariku?"Dokter bilang tadi kalau Vi lagi hamil dua belas minggu. Kenapa tidak memberitahu Mas?""Aku ingin memberikan surprise di hari ulang tahun, Mas. Tapi ... sudahlah, sekarang Mas juga sudah tahu," jawabnya sendu.Ada yang luruh dalam dada ini. Perasaan bersalah yang menghantam bertubi-tub
Malam itu aku mengantar Vi ke klinik untuk pemeriksaan rutin kehamilannya. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kelima.Aku memperhatikan Dokter Endah yang mengoleskan gel pada perut Vi yang telah membuncit. Lalu menggerakkan tranduser secara pelan-pelan untuk mendapatkan gambar yang tepat di layar.Tampak bayi kami sangat sehat."Berat janinnya sudah 360 gram dan panjangnya sekitar 27 cm, Bu Vi. Kondisinya sehat. Ingin tahu jenis kelaminnya, enggak?" tanya Dokter Endah.Aku dan Vi saling berpandangan. Vi mengangguk pelan."Ya, Dok," jawabku cepat."Second born ini baby boy, Pak Ilham. Jadi sudah pas sepasang, ya. Cewek cowok."Kuucapkan hamdalah dalam hati berulang kali.Kami mampir ke pusat perbelanjaan setelah dari klinik. Aku menyarankan agar Vi membeli baju hamil, tapi di tolaknya. Masih ada baju
Nura's POVHamil? Setelah beberapa bulan tidak pernah bertemu atau mendengar kabarnya, malam ini kami berserempak. Istri Ilham sedang mengandung. Sebaik itukah hubungan mereka? Aku tidak percaya. Setelah pengkhianatan yang luar biasa, akankah semudah itu Vi menerima kembali suaminya?Hasna yang berbasa-basi. Aku tidak.Aku ingat tentang kemarahan Ilham dua bulan yang lalu. Saat foto di kamar hotel aku kirimkan ke nomer istrinya. Mungkin ini kelewatan, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membongkar semuanya.Empat tahun percintaan kami berakhir karena terhalang restu Bapak. Aku kecewa meski sebenarnya kami juga yang sepakat untuk mengakhiri hubungan. Setelah itu aku menikah dengan pria yang baru ku kenal dua bulan. Aziz Razak, ayah dari anakku, Dinita.Tidak perlu kuceritakan bagaimana kacaunya rumah tanggaku karena hubungan kami tercipta karena sama-s
Nura's POV"Kalau kamu mau dengan pemberianku, besok ikut saya keluar kota selama dua hari."Aku masih terdiam sejenak kemudian kembali berkata, "Orang-orang kantor akan mencurigai saya, Pak.""Besok pagi kamu bisa izin tidak masuk kerja dengan alasan menunggu ibumu yang sakit. Nanti akan saya jemput di rumahmu jam delapan pagi."Tanpa berpikir lagi aku mengangguk. Otak kotorku tidak bisa berpikir panjang. Selain mendapatkan kemudahan dengan cara apapun. Apalagi ditambah dengan kekalutan pikiran karena memikirkan Ilham.Pak Rony juga bukan pria yang buruk rupa. Dia masih menawan di usianya yang setengah abad.🌺🌺🌺Kedatangan mobil Fortuner di depan rumahku sepagi itu, merupakan awal petualangan tergilaku kedua setelah sempat memanfaatkan Ilham.Mobil meluncur keluar kota. Pak Rony menyuruhku menu
Aku memandang langit jingga yang kian memudar. Menikmati semilir angin sore, menyejukkan dan mengibarkan jilbab warna biru yang kupakai.Aku suka senja. Aku suka dengan segala keindahannya. Pada senja aku bisa berbagi rasa meski hanya duduk diam dan memandanginya.Meski bertemu senja hanya sebentar.Sudah hampir setengah jam aku duduk di depan teras rumah Ibu, menunggu gadis kecilku pulang ke rumah setelah mengaji."Mama, Assalamu'alaikum," sapanya riang."Wa'alaikumsalam, Sayang," jawabku sambil menerima uluran tangannya."Syifa mau balik lagi ke Masjid, Ma. Ini mau ngambil mukena. Mau Salat Maghrib di Masjid.""Sama siapa?""Sama teman-teman.""Nanti kalau sudah azan Ibu nyusul. Jangan khawatir sudah seminggu ini Syifa jamaah sama Ibu di Masjid. Biasanya dia akan berangkat dulu sam