Semua lampu-lampu telah menyala. Memandang kejauhan yang tampak hanya gelap. Sunyi. Suara gemuruh ombak pantai terdengar jelas dalam suasana begini.
Aku membawa Abian masuk kamar. Mengajaknya bermain sebentar sebelum dia mengantuk. Sementara Mas Ilham duduk di bangku depan kamar, ngobrol dengan Didit dan beberapa orang lainnya.
Sambil mengawasi Abian aku membalas pesan dari Ibu dan Miya. Aku jadi kangen mereka semua, terutama pada putri kecilku. Padahal baru beberapa hari saja aku meninggalkannya, sudah sekangen ini.
Aku juga ingin sekali cerita ke Miya tentang perjalananku dan suasana baru di sini. Suamiku yang tiba-tiba jadi tukang gombal dan romantisnya minta ampun.
"Hayo, balas chat siapa?" tegur Mas Ilham yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.
"Ibu dan Miya. Mereka ngirim pesan dari siang tadi, tapi baru nyampe sekarang. Ini aku balesin tapi centang satu saja.
Sepulang dari pantai aku mengajak Abian keliling ke beberapa spot keren yang dekat dengan tempat tinggal kami. Pemandangannya benar-benar indah, makanya tempat ini dijadikan resort.Aku mengambil beberapa foto untuk kukirim kepada Ibu dan Miya.Setelah mandi dan sarapan, Mas Ilham sibuk di kantor bersama beberapa karyawan."Dari mana tadi?" tanya Mas Ilham, saat dia masuk kamar setelah aku baru kembali dari luar."Jalan-jalan di sekitar sini saja.""Jangan jauh-jauh. Jangan ke tempat-tempat yang asing."Aku termenung sejenak. "Ah, enggak."Jadi merinding mendengar larangan Mas Ilham. Aku jadi ingat kalau tempat-tempat yang jarang di jamah manusia begini, pasti ada kisah misterinya."Mas kembali dulu ke kantor."Aku mengangguk. Kulepas bergo yang kupakai. Terus memeriksa ponsel sebent
Aku tersenyum. Suka sekali melihat mimik wajahnya yang gusar. Tatapannya yang sendu."Apa mungkin Mas harus menunggu sampai beberapa tahun lagi?"Wajah itu kubingkai dengan kedua tanganku. Kukecup bibirnya sesaat. "Enggak perlu ungkapan, yang penting aku telah membuktikan.""Vi.""Hmm.""Jika dulu kita tidak punya Abian. Apa Vi akan ninggalin Mas.""Mungkin," jawabku sambil terus menatapnya. Sedikit menggodanya tidak apa-apa, 'kan?Mas Ilham menjatuhkan tubuhnya. Hembus napasnya terdengar jelas dan hangat di pipiku."Untungnya kamu lekas hamil lagi. Mas bersyukur punya Syifa dan Abian," bisiknya pelan."Aku juga bersyukur memiliki mereka."Malam makin larut, selarut percakapan kami di malam keempat pertemuan itu.🌺🌺🌺J
"Aku capek, Mas," kataku sambil mengempaskan diri di ranjang hotel. Setelah melepaskan jilbab dan menaruh barang belanjaan. Abian masih di gendong papanya.Setengah hari ini Mas Ilham mengajakku keliling di sepanjang koridor mall. Mencari gaun pesta untuk menghadiri pernikahan adiknya Bu Melinda yang akan di adakan di ballroom hotel ini.Pastinya akan menjadi pesta yang sangat megah.Aku kembali bangun, lalu mendekati Mas Ilham dan Abian yang berdiri dekat jendela kamar yang menghadap langsung ke kolam renang hotel. Kami berada di kamar lantai lima.Pak Petra sengaja menyiapkan penginapan untuk kami di hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan adik iparnya. Biar tidak ribet, soalnya kami bawa bayi. Orang-orang penting akan hadir dalam pernikahan ini nanti, termasuk big bos-nya Mas Ilham.Tadi Pak Petra menunggu kedatangan kami di lobi hotel.
"Ke mana, Mas?""Ada dua destinasi untuk dipilih. Malaysia dan Singapura. Besok saat kita ketemuan baru menentukan hendak ke mana.""Ngurus paspor dulu, dong.""Iya. Nanti Mas usahakan untuk mengurus paspor kita."Aku jadi kepikiran Syifa. Kasihan karena tidak akan bisa ikut. Sebagai ibu, aku merasa seperti tidak adil padanya."Mas kasihan sama Syifa, Vi. Dia mungkin tidak akan bisa ikut."Ah, Mas Ilham pun memiliki perasaan yang sama.🌺🌺🌺Jam delapan pagi, seorang pegawai salon datang untuk meriasku di kamar. Rupanya Pak Petra yang menyiapkan semua ini. Baik sekali pria itu.Untungnya sebelum wanita umur empat puluhan itu datang, Abian sudah aku mandikan dan ganti baju. Tinggal Mas Ilham yang sekarang sedang mandi.Hanya butuh waktu lima belas menit, wanita itu telah selesai
Sampai sore Mas Ilham tidak cerita padaku bahwa dia telah melihat Nura. Sepertinya dia pun tidak tahu kalau aku juga melihat perempuan itu. Mas Ilham bersikap biasa saja.Biarlah, bersikap masa bodoh jauh lebih baik. Diam dan memperhatikan saja."Jam berapa, Mas meeting nanti?" tanyaku memindahkan lengannya yang melingkar di pinggangku."Jam tujuh malam.""Dengan siapa saja?""Dengan semua BM yang hadir hari ini.""Pak Alex juga?""Ya. Tadi dia ngomong apa ke, Vi?""Cuman tanya kabar saja.""Bener?""Iya. Sama tanya apakah aku kerasan atau enggak tinggal di tengah hutan.""Vi, jawab apa?""Kujawab kalau aku tersiksa tinggal di sana."Mas Ilham menatapku tajam. Cukup lama aku memandang netranya y
Melihat Mas Ilham tidak peduli, aku kembali fokus makan. Sesekali menatap Abian yang asik bermain dengan mainan di tangannya."Selamat pagi, Pak Ilham dan Ibu!"Sontak kami menoleh mendengar sapaan itu. Seorang pria perlente berdiri di sebelah kiri kami."Pak Rony, mau gabung bersama kami. Mari silakan duduk," ucap Mas Ilham ramah sambil menarik kursi di sebelahnya untuk pria setengah baya itu.Nura menyusul dan berdiri di sebelah Pak Rony."Saya datang bersama Bu Nura. Kemarin ada pekerjaan di sini sekaligus menghadiri undangan dari Pak Broto." Laki-laki itu menjelaskan."Mari silakan bergabung dengan kami," kata Mas Ilham lagi.Aku menggeser dudukku di sebelah Mas Ilham, lalu menarik satu kursi lagi buat Nura. Mereka lantas duduk berhadapan dengan kami di meja bulat itu. Mas Ilham menawari sarapan bersama-sama, tapi
"Kamu bingung, ya, mau jawab apa? Sebab kamu tidak pernah mengalami apa yang aku alami," kata Bu Melinda lagi tanpa memandangku.Justru Mas Ilham dan Pak Alex yang menatapku.Abian sudah tidur di pangkuanku. Dengan di bantu Mas Ilham, Abian kupindahkan ke stroller-nya.Bu Melinda menatap lurus ke dinding kaca, yang menampakkan pemandangan taman di hadapan kami. Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa. Kami tidak pernah berbincang banyak hal sebelumnya.Dia juga tidak tahu. Bahwa aku telah melewati peristiwa itu. Fase yang sulit. Dan permasalahan Bu Melinda malah lebih rumit."Vi.""Ya, Kak.""Apa kamu akan memaafkan suami yang punya anak dengan perempuan lain?""Enggak, Kak," jawabku spontan. Namun aku sudah tahu, masalah Bu Melinda dan Pak Petra tidah sesederhana itu."T
"Tapi yang sulung tampaknya sudah bisa meraba, hanya saja dia diam saja," kata Bu Melinda lagi.Percakapan kami terhenti saat dua anak Bu Melinda yang lain menghambur masuk kamar. Mereka tersenyum senang, menghampiri Abian. Mereka baru pulang sekolah."Hati-hati, ya, adeknya masih kecil.""Iya, Ma," jawab Vita.Seorang wanita umur empat puluhan mengetuk pintu kamar yang terbuka. "Makan siangnya sudah siap, Bu.""Iya. Tolong, Bibik, awasi anak-anak di sini dulu, ya. Terutama bayi ganteng itu."ART itu mengangguk. "Ya, Bu."Meja makan itu berbentuk oval. Dia atasnya ada tumis daun pakis, balado telur, gulai ikan kakap, ayam goreng, satu teko sirup, irisan buah semangka, dan melon.Mereka makan sambil berbincang, sedangkan aku hanya jadi pendengar. Sesekali tersenyum menanggapi kelakar Pak Petra.