Dengan kasar Victor mendorong Edzhar hingga pria itu kembali terduduk di sofanya,
"Kalau kau tidak mengusirnya malam itu, kejadian buruk itu tidak akan pernah terjadi ... ""Kau tadi bilang padaku kalau kau belum pernah melihat Edson, tapi kau ada bersamanya saat setelah Halwa melahirkan, bagian mana yang merupakan kebohonganmu, Vic?" tanya Edzhar sambil menyipitkan kedua matanya.'Sial! Aku memang tidak pandai berbohong!' umpat Victor dalam hati.Sambil terus memasang wajah tak terbacanya, Victor duduk di kursi tepat di depan Edzhar, yang masih terus saja menatapnya dengan tatapan penuh selidik."Vic ... ""Ok, baiklah! Seseorang mengirimkan pesan singkat padaku beserta dengan foto-foto Aira yang tengah terluka parah, Max!"Max yang sedari tadi hanya bisa berdiri diam saat melihat dua sahabat itu ribut, kini bergerak mendekati Edzhar, dan menyerahkan tabletnya pada pria itu.Edzhar nampak tidak tercengang saatUntuk kesekian kalinya Halwa menguap lebar setelah nyaris semalaman ia terjaga karena harus melaksanakan salah satu tradisi pernikahan di Turki henna night, atau dalam bahasa Turki disebut dengan kına gecesi. Baju untuk malam hena dominan dengan warna khusus merah dan kuning keemasan. Busana khas wanita Turki Jaman dulu, dengan kepala ditutupi kain berwarna merah transparan. Acara penuh tarian dari keluarga juga sahabat yang digelar dalam rangka mengucapkan selamat tinggal pada status pengantin yang sebelumnya masih sendiri hingga akhirnya menemukan pasangan kemudian menikah. Dengan instrumen klasik berupa drum tradisional Turki yang disebut davul dan pipa yang disebut zurna sebagai musik latarnya. Sesekali air mata Halwa menitik ke telapak tangannya malam itu, saat telapak tangannya diberi hena dengan koin emas, yang dipercaya sebagai simbol fertilitas. Semakin gelap warnanya, semakin baik pula bagi calon pengantin terhadap kesuburannya
Satu minggu kemudian. Lilian turun dari mobil yang membawanya dan juga Victor ke jet pribadi milik Victor. Matanya tertuju pada nama Omero Group yang tertulis di badan pesawat pribadi itu. Omero Group adalah group perusahaan raksasa di Spanyol milik keluarga Victor. Namun Victor lebih memilih mendirikan perusahaannya sendiri di Jakarta. Setidaknya itulah yang diketahui sedikit oleh Lilian tentang Victor dari Halwa. Yang semakin membuat Lilian terjatuh pada pesona yang dimiliki Victor. Bukan karena dia adalah seorang CEO muda dan kaya raya, tapi lebih ke Victor yang mampu membangun usaha miliknya sendiri dari nol di negara lain yang bukan negaranya sendiri. Perjalanan Spanyol-Turki itu dilewati dalam keheningan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Victor. Pria itu selalu asik dengan pikirannya sendiri. Saat pesawat sudah take off dan lampu seatbelt padam, Victor lebih memilih menghabiskan perjalanan
"Kenapa pernikahan kita tidak dilakukan secara sederhana saja, Ed? Toh kita pernah menikah sebelumnya ... " tanya Halwa untuk yang kesekian kalinya tiap kali ia dan Edzhar tengah membahas masalah pernikahan mereka. Saat ini, mereka tengah berada di sebuah butik ternama tempat Edzhar memesan pakaian pengantin untuk Halwa. Hari ini Halwa kembali melakukan fitting gaun pengantin agar terlihat pas di badan Halwa, yang saat ini terlihat amat cantik dengan gaun putih itu. Kedua mata Edzhar berkedip cepat dan ia pun memejamkan kedua matanya sambil menekan keningnya, saat ingatan tentang mimpi buruknya dua bulan lalu saat ia tengah kritis kembali hadir. Halwa yang bersimbah darah dengan gaun pengantin yang persis sama dengan yang wanita itu kenakan saat ini, dengan kelopak mawar yang tersebar di sekelilingnya, kelopak mawar merah yang berubah menjadi warna hitam, lambang dari sebuah cinta yang tragis. Napas Edzhar seketika tercek
Dua bulan kemudian ... “Apakah kamu datang ke pesta pernikahan itu?” tanya Victor kepada Lilian. “Pernikahan Halwa dan Edzhar maksudmu?” tanya balik Lilian. Victor tidak menjawab, dia kembali meneguk gelas brandy berikutnya. “Cukup! Kamu tidak boleh meminumnya lagi!” cegah Lilian, tapi Victor menepis tangannya, dan dengan cepat mengisi kembali gelas kosongnya. Pria itu Tengah patah hati, lebih tepatnya mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi bisa memberikan kebahagiaan untuk wanita yang sangat pria itu cintai, Halwa. “Apa aku bodoh? Apa seharusnya aku tidak melepaskannya? Bagaimana kalau wanita itu kembali tersakiti lagi?” “Vic … Saat kamu bertekad untuk membatalkan pertunanganmu dengannya demi kebahagiaannya, seharusnya kamu tidak perlu berpaling kebelakang lagi. Teruslah fokus kedepan, yakinkan dirimu sendiri kalau keputusanmu itu adalah yang terbaik untuk kalian. Dan hanya
Halwa terbangun karena sentuhan lembut di pipinya. Perlahan ia membuka kedua matanya, dan langsung berhadapan dengan wajah sendu Edzhar. Halwa menahan dirinya untuk tidak memekik senang saat mendapati pria itu telah siuman, ditambah lagi ada raut kekhawatiran di wajahnya itu. Rupanya ia tertidur di samping pria itu, dan untungnya anne Neya telah membawa Vanessa ke hotel tepat mereka bermalam. "Günaydın ... " sapa Halwa dengan lembut. "Apa kita telah berada di surga? Apa paru-paruku tidak bisa menyelamatkanmu hingga kamu menyusulku? Bagaimana dengan anak-anak kita?" tanya Edzhar. Pertama kali Edzhar membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah wajah wanita yang paling ia cintai ini, hingga ia harus menyentuh wajah Halwa untuk meyakinkan dirinya kalau saat ini wanita itu benar nyata, tidak seperti sebelumnya yang hanya berupa bayangannya saja. "Kita masih berada di Milan, Ed.
Sambil memangku Vanessa yang masih tidur, Halwa menatap penuh Edzhar yang belum juga bangun. Sesekali terdengar gumaman pelannya yang tidak terdengar jelas apa yang tengah pria itu gumamkan. Dan saat Halwa meraih tangannya, ia menahan pekikannya karena merasakan lengan pria itu yang panas. Setelah menekan tombol untuk memanggil dokter Halwa merebahkan Vanessa di solfa bed yang tersedia di ruangan itu, sebelum kembali lagi ke tempat tidur Edzhar. "Badanmu panas sekali, Ed!" serunya saat menempelkan punggung tangannya pada kening Edzhar. Bahkan wajah pria itu pun mulai memerah mungkin karena saking panasnya suhu badannya saat ini. Ia harus melakukan sesuatu untuk menurunkan demamnya Edzhar, sebelum pria itu kejang karena panas tingginya, sambil menunggu dokter datang. Halwa bergegas ke toilet dan menemukan handuk kecil, ia membasahinya dengan air dingin sebelum kembali ke Edzhar untuk mengompres keningnya, "Ed
"Anne!" pekik Vanessa sambil menghambur ke pelukan Halwa saat melihat annenya itu melangkah ke arahnya dan anne Neya. Halwa baru lepas infusnya, dan dokter mengizinkannya untuk ke kamar Edzhar, meski tidak boleh berlama-lama di sana mengingat kondisi Edzhar, juga dirinya yang masih harus banyak istirahat. "Vanessa, my princess ... Apa kamu baik-baik saja?" tanya Halwa dengan penuh kekhawatiran, sebelum menggendong putrinya itu yang langsung menangis di bahunya, dan Halwa memeluknya penuh kasih. Hampir satu minggu ini ia tidak melihat Vanessa, sejak putrinya itu meninggalkan Palazzo. Yang ternyata itu semua adalah rencana Edzhar dan juga Tita untuk menyelamatkan Vanessa dan Maman Susan, yang sekarang masih berada di bawah pengawasan interpol karena hubungannya dengan Marcus. Maman Susan akan menjadi saksi kunci dari kejahatan pria itu, dan kali ini hukuman mati untuknya tidak akan terhindari lagi, ka
"Bertahanlah, Ed. Aku sudah melepaskan Aira untukmu, dan Aira pun telah bersedia memberikan kesempatan kedua untukmu. Aku tidak akan menjadi penghalang bagi cinta kalian berdua lagi." Antara sadar atau tidak Edzhar mendengar kalimat Victor itu. "Ya, aku memang akan kembali padanya, melalui paru-paruku ini yang akan selalu berada di dalam tubuhnya untuk selamanya," balas Edzhar dengan lemah. Tangannya yang selemah suaranya itu terulur ke arah Victor yang langsung meraih tangannya itu sebelum duduk di sampingnya. Suara Edzhar berupa bisikan saat pria itu bertanya, "Kenapa aku masih hidup? Kenapa operasi itu belum dimulai juga? Kenapa lama sekali? Bagaimana kalau Halwa tidak kuat lagi?" "Tidak akan ada operasi untuknya dan paru-parumu akan tetap berada di tempatnya, karena ... " "Jangan bodoh kamu, Vic. Apa kamu mau bermain-main dengan nyawa Halwa?" potong
'Jadi ... Biarkan aku memberikanmu kehidupan yang baru.' Dengan panik, Halwa membalik surat yang terhenti itu, ia masih berharap masih banyak perkataan Edzhar yang tertulis di sana, tapi ternyata sudah berakhir, "Kenapa? Kenapa tidak ada lagi?!" tanyanya setengah histeris. Victor memegang kedua bahu Halwa yang bergetar karena isakannya, "Tenangkan dirimu, Ay. Ed tadi keburu pingsan, jadi dia belum menyelesaikan tulisannya," jelasnya. "Bagaimana keadaannya sekarang, Vic? Apa dia sudah membaik?" tanya Halwa di sela isakannya. "Ada infeksi di salah satu lukanya, tapi dokter sudah menanganinya. Sekarang tinggal tunggu dia siuman saja," jawab Victor dengan lembut. Ia meraih tangan Halwa sambil terus menatap lekat-lekat kedua matanya, "Sekarang kamu sudah tahu kan, betapa Ed sudah banyak berubah? Dia sangat mencintaimu, Ay. Cintanya jauh lebih besar dari cintaku padamu hingga dia rela mendonorkan par