Share

Depresi

Author: Si Nicegirl
last update Last Updated: 2025-03-28 12:19:50

Halwa sudah membayangkan kalau pertemuannya dengan kedua orang tuanya akan mengharu biru. Tapi ternyata lebih dari itu.

Kini Halwa terduduk di lantai, dengan kepalanya yang ia rebahkan di atas pangkuan mamanya, dengan papanya yang duduk di sebelahnya, yang tangan tuanya kini sedang mengusap lembut kepala Halwa.

Segala kepahitan dan penderitaan hidupnya selama tiga bulan ini, Halwa curahkan semuanya kepada kedua orang tuanya itu, sambil sesengukan ia menceritakan semuanya, tidak ada satupun yang ia sembunyikan.

"Aku sudah hancur sekarang, Ma, Pa. Pria itu sudah menghancurkan masa depanku," isak Halwa, airmatanya masih terus membasahi celana pajang mamanya.

Orang tua mana yang tidak akan bersedih mendengar nasib malang yang menimpa putrinya, tidak terkecuali dengan mama dan papanya Halwa.

Halwa dapat merasakan tetesan air mata mamanya yang jatuh ke kepala Halwa, tapi Halwa tetap bergeming, ia tetap merebahkan kepalanya di atas pangkuan mamanya. Sejak kecil setiap kali Halwa bersedih, ia selalu seperti itu. Dan papanya, meski tetap menampakkan wajah tegar, tapi Halwa dapat merasakan kesedihan di dalam hati papanya itu.

"Kenapa bisa seperti ini, Aira? Kamu anak yang berbakti, anak baik, kenapa Tuhan mengujimu seperti ini?" isak mamanya.

Telapak tangan papanya yang sedari tadi mengusap kepala Halwa, kini beralih menepuk-nepuk pundak mama, ia berusaha menenangkan istrinya itu.

"Ma, Pa. Sebaiknya kita pindah dari sini. Pria itu pasti bisa melacak tempat tinggal dan kampung halaman Mama dan Papa. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi.," pinta Halwa ditengah isakannya.

"Kita mau ke mana, Nak?" tanya papa.

"Kalian bisa tinggal di salah satu rumahku, di Albarracin, Spanyol," ujar Victor, yang sedari tadi diam melihat curahan hati Halwa kepada kedua orangtuanya itu.

"Kamu sudah banyak membantu kami, Nak Victor. Kami tidak mau merepotkanmu lagi."

"Saya tidak merasa direpotkan, Om. Pedesaan itu masih asri, sangat bagus untuk Aira menenangkan diri di sana. Selain itu, Aira juga bisa bekerja sebagai dokter, sambil melanjutkan spesialisnya kalau Aira mau," jelas Victor.

"Saran Nak Victor bagus, Pa. Kalau kita tinggal di negara luar, Aira tidak akan menghadapi sangsi sosial dengan hamil di luar nikah. Masyarakat kita tidak semuanya mengerti, Pa. Meski Aira adalah korban pemerkosaan, cemoohan dan cibiran pasti akan tetap dilayangkan pada putri kita," saran mama.

"Bagaimana denganmu, Aira? Apa kamu bersedia tinggal di sana?" tanya papanya dengan lembut.

"Di manapun selain di negara ini dan Turki, aku mau Pa," jawab Halwa.

Tatapan Papa kembali beralih ke Victor, "Bagaimana dengan Visa dan izin tinggalnya selama di sana?"

"Anda tenang saja, Om. Biar saya yang mengurus semuanya, sekarang saya permisi dulu," ujar Victor.

"Sudah malam, Nak Victor... Sebaiknya kamu bermalam saja di sini... Ada banyak kamar kosong di rumah ini, kamu kami akan merapikan salah satunya untukmu."

"Benar, Nak. Bermalam lah di sini, setidaknya biarkan kami beramah-tamah pada pria yang sudah menyelamatkan putri kami dengan memberinya kamar untuk bermalam," timpal mama.

Victor menganggukkan kepalanya, "Baiklah, untuk malam ini saya akan bermalam di sini. Tapi besok pagi-pagi sekali saya harus pergi, untuk mengurus dokumen kalian."

Dan untungnya Victor bermalam di rumah Halwa, karena saat semuanya sudah tertidur, Victor mendengar teriakan Halwa, seperti biasa wanita itu selalu mimpi buruk.

Victor bergegas keluar kamar, bersamaan dengan kedua orang tua Halwa yang baru keluar dari kamarnya, wajah mereka terlihat panik, bersama-sama mereka nyaris lari ke kamar Halwa, dan langsung membukanya.

"Arrgghhh! Aku tidak mau! Aku tidak mau anak ini!" teriak Halwa histeris sambil memukul-mukul perutnya.

"Ya Tuhan Aira, jangan lakukan itu, Nak!" pekik papa sambil lari dan menahan kedua tangan Halwa, dan Halwa memberontak dengan sekuat tenaga untuk melepaskan kedua tangannya itu.

Papa menepuk-nepuk pipi Halwa, berusaha membangunkan Halwa dari mimpi buruknya, "Aira ... Aira sadarlah! Bangun Nak!"

"Aira," isak mamanya sambil duduk di samping Halwa.

"Aku tidak mau anak ini! Dia anak monster itu! Aku tidak mau!" jerit Halwa lagi.

"Apa dia selalu seperti ini?" tanya papa pada Victor.

"Ya, hampir setiap malam Aira selalu seperti itu, hanya di dalam tidurnya saja dia tidak menginginkan anaknya," jawab Victor.

"Lalu bagaimana cara menenangkannya? Aira masih saja berusaha menyakiti dirinya sendiri," tanya mama sambil terus terisak sedih.

"Menenangkannya dengan pelukan ... "

"Pelukan? Kamu memeluk Aira? Bukankah dia jadi trauma berdekatan dengan pria?"

"Aku tidak tahu, Om. Tapi Aira menjadi lebih tenang saat aku memeluknya. Dan dia tidak akan mengingatnya saat bangun nanti, Aira tidak ingat kalau ia sudah berkali-kali ingin menggugurkan kandungannya dengan cara memukul perutnya dengan keras," jelas Victor.

Selama Halwa tinggal di Penthousenya, setiap malam Victor selalu tidur di sofa kamar Halwa, untuk mencegah Halwa menyakiti dirinya seperti sekarang ini, yang akan wanita itu sesali di pagi harinya.

Papa mencoba memeluk Halwa, tapi Halwa memberontak keras, dan bertambah histeris.

"Lepaskan aku! Aku tidak bersalah! Lepaskan aku!"

"Aira, ini Papa, Nak."

Halwa terus berteriak dan berontak keras, ia mencoba melepaskan diri dari papanya, membuat mamanya semakin menangis sesengukan melihat penderitaan putrinya itu.

"Boleh saya mencoba menenangkannya, Om?" tanya Victor.

"Ya, cepatlah! Saya tidak tega melihatnya seperti ini!"

Dengan cepat mereka bertukar tgempat, dan Halwa kembali memukuli perutnya ketika tangannya terbebas tapi Victor kembali menahan tangan Halwa, lalu menarik dan memeluknya dengan erat.

"Sstt, Aira tenanglah, ini aku Victor," suara lembut Victor berusaha menenangkan Halwa, sama lembutnya dengan kedua telapak tangannya yang mengusap punggung Halwa dengan hati-hati.

"Aku tidak bersalah, bukan aku pelakunya," isak Halwa.

"Iya, aku tahu bukan kamu pelakunya. Dan aku janji akan menemukan pelaku sebenarnya secepatnya. Tapi anak itu tidak bersalah, kamu jangan menyakitinya lagi yaa," bujuk Victor.

"Ini anak monster itu!" teriak Halwa.

"Pria itu memang monster, tapi anak ini adalah malaikatmu, pelindungmu. Jadi jangan pernah menyakitinya."

"Aku tidak bersalah," gumam Halwa sebelum akhirnya melemas dan kembali tertidur setelah terlepas dari mimpi buruknya.

Dengan pelan Victor merebahkan lagi Halwa, dan menarik selimut hingga ke bawah dagunya.

"Apa depresinya bertambah parah? Perlukah kita membawanya ke psikiater?" tanya mamanya masih terus terisak.

"Ya, kita harus membawanya untuk psikoterapi, karena Aira sering mengingat kejadian traumatis itu hingga menyakiti dirinya sendiri. Saya takut itu disebabkan karena Post Traumatic Stress Disorder. Dan gangguan ini harus segera di atasi," jawab Victor.

"Hampir setiap malam Aira seperti ini, kita tidak dapat membiarkannya lebih lama lagi, supaya tidak mengganggu kejiwaannya. Dan terlebih lagi, membahayakan dirinya sendiri.," lanjut Victor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Bonchap

    Pesta pernikahan itu di adakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Covaz, yang kini berada langsung di bawah pengawasan Victorino yang mengelolanya dengan sangat baik. Tidak seperti pernikahan mereka sebelumnya, kali ini pesta pernikahan mereka di adakan secara besar-besaran, dengan semua media baik cetak, online maupun elektronik diundang untuk meliput pernikahan putra kedua dari salah satu bangsawan tertua di negara itu. Sekaligus memperkenalkan putra kedua yang selama ini disembunyikan identitasnya demi keamanannya itu kepada khalayak ramai. Juga mengumumkan kalau Victor kini akan ikut andil dalam bisnis keluarganya bersama dengan kakaknya, Victorino Duque de Neville. Pesta itu dihadiri berbagai macam kalangan, dari mulai pengusaha besar, artis dan model papan atas, hingga para pejabat tinggi yang tidak mau membuang kesempatan langka mereka untuk bertemu langsung dengan penerus ke

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Ending

    "Apa kamu senang, Sayang?' tanya Victor pada Lilian yang masih terus mengagumi dekorasi rofftop malam itu. "Aku jadi ingin membuat rooftop seperti ini, Vic. Kita bisa berbincang-bincang sambil menatap langit malam penuh bintang!" Lilian terlihat sumringah, dan sudah pasti Victor akan mengabulkan keinginan wanikta pujaan hatinya itu. Ia merapatkan dirinya pada Lilian saat berbisik, "Kita bisa main juga di rooftop itu, ya kan? Di tempat gterbuka seperti itu pasti rasanya akan jauh lebih nikmat lagi, karena adrenalin yang terpacu akan lebih besar." Lilian menjauhkan dirinya untuk menatap galak Victor, atau awalnya ia ingin menegur suaminya itu. Tapi alih-alih menegur Lilian malah terkikik geli karenanya, "Vic, kamu kenapa jadi seperti ini sih?" tanyanya. "Kamu tidak suka? Kamu lebih suka aku yang dulu? Aku yang mengacuhkan dan mengabaikanmu?"

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Halwa Cemburu

    Kalau pemandangan pagi hari yang disuguhkan dari rooftop hotel mereka adalah beraneka warna balon udara yang menghiasi langit, malam harinya rooftop itu menyuguhkan landscape Cappadocia yang diterangi dengan bermacam cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk, hotel dan fasilitas umum lainnya. Mungkin jika di tempat lainnya cahaya lampu akan terlihat biasa, tapi tidak di Cappadocia yang terlihat seperti sebuah batu yang menyala karena cahaya lampu yang terpantul pada dinding-dinding yang terbuat dari batu itu. Dan entah karena setiap malam desain rooftop selalu berubah atau hanya khusus untuk malam ini saja, karena rooftop itu kini di desain dengan begitu indahnya layaknya desain sebuah pesta pernikahan, dengan banyaknya buket bunga dan taburan kelopak mawar merah di lantainya. "Apa kita salah masuk, Vic? Mungkinkah seseorang akan mengadakan pesta di sini?" tanya Lilian yang masih terus bergandengan tangan den

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Aku Maunya Kamu

    Meski balon udara yang mereka naiki berhenti lumayan jauh dari titik perhentian yang sang pilot rencanakan karena arah angin berubah, mereka tetap besyukur karena balon yang mereka naiki itu mendarat dengan aman. Karena menurut yang pernah Victor dengar ada balon udara yang salah landing di perkebunan seseorang hingga harus menabrak beberapa pohon, entah karena sang pilot yang kurang cakap dalam mengendalikannya, atau arah angin yang membawa balon udara itu ke arah pohon. Meski keranjang balon udara itu terlihat kokoh dan tidak akan menyebabkan masalah serius jika menabrak pohon, tapi Victor tetap waspada, dan yang pasti, Victor tidak pernah sekalipun melepas Lilian sampai balon udara yang mereka naiki itu berhasil mendarat dengan sempurna, meski beberapa kali istrinya itu berontak ingin melepaskan diri dari pelukannya. "Kamu terlalu protektif!" sungut Lilian smabil memberengut kesal. "Itu karena aku sangat mengkhawatirkanm

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Cappadocia

    Meski lokasinya lumayan jauh dari Istanbul, tapi landscape yang dipenuhi dengan perbukitan uniik di sepanjang mata memandang, membuat Halwa dan Lilian tak henti-hentinya berdecak kagum. Awalnya suami-suami mereka ingin mereka naik balon udara yang berbeda, tapi Halwa dan Lilian menolaknya. Mereka ingin menikmati keeksotisan Cappadocia itu bersama-sama, membuat Edzhar dan Victor memberengut kesal karenanya. Bagaimanapun juga, jika mereka naik di balon yang sama, tidak akan ada privasi untuk mereka. Sementara Edzhar dan Victor berniat mencium istri mereka saat balon udara itu telah mencapai ketinggian. "Aku tahu yang apa yang menyebabkan kerutan dalam di keningmu itu," bisik Victor sambil melihat Lilian dan Halwa yang masih asik menikmati pucuk-pucuk pilar batu raksasa yang terlihat mempesona. JIka dilihat dari ketinggian ini, bentuknya menyerupai kerucut, persis sekali dengan rum

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Kehilangan Kendali Diri

    "Selain pintar menghindar, sekarang kamu sudah mulai pintar mengalihkan pembicaraan juga yaa ... " kekeh Edzhar saat melepaskan c1uman mereka. Halwa membuka satu-persatu kancing kemeja Edzhar, "Aku belajar banyak darimu, Ed," akunya sambil menjatuhkan kemeja suaminya itu ke lantai. "Aku masih merindukanmu ... Dan aku hanya mau kita berdua saja sekarang di kamar ini, well mungkin dengan calon anak kita juga, karena kita belum bisa membujuknhya untuk bermain di luar," lanjutnya. Halwa memekik pelan saat tiba-tiba Edzhar membopongnya, "Aku mau mulai permainan itu sekarang!" serunya. "Iya, tapi turunkan aku dulu, aku bisa jalan sendiri, Ed." "Kamu harus menghemat tenagamu untuk berjaga-jaga kalau rasa mual itu kembali lagi. Jadi biar aku isi lagi tenagamu itu dulu!" elak Edzhar. "Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status