"Karena keperawanan yang hilang bukan untuk ditangisi seperti sebuah duka yang tiada henti. Sesuatu yang dipastikan akan hilang jika pemiliknya melewati siklus kehidupan." Ucapan kedua Fia ada benarnya, tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak akan kembali.
“Oke, saya yakin pindah ke Malang. Tapi, dokumen saya bagaimana?” Pertanyaan Zhia sebenarnya bukan masalah besar bagi Fia, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini berulang kali. Dengan berbagai macam karakter wanita.
“Tidak masalah, Nola sudah memberitahuku. Yang utama, kau sudah bulatkan keputusanmu. Tidak ada paksaan disini, aku sudah memberimu pilihan, bukan?” Fia menyeruput coffee latte nya hingga tandas.
“Baik, Bu. Saya tidak berubah pikiran, kok.” Zhia menjawab keraguan yang tersirat dari ucapan Fia.
“Oke, lebih cepat lebih baik. Jika kau siap, berangkatlah ke Malang siang ini juga. Nola akan menyiapkan tiketmu, bagaimana?”
“Mau, mau sekali. Bu, terima kasih,” kata Zhia berkaca-kaca.
“Sudah, perkara identitasmu kita pikirkan bersama. Malam ini, kita ketemu lagi di Malang.” Fia beranjak dari duduknya, memberi kode kepada Nola untuk mengurus keberangkatan Zhia.
“Baik, Bu. Zhia akan berangkat ke Malang dengan pesawat di jam terdekat, mungkin landing di Surabaya,” kata Nola memberi penjelasan kepada Fia.
“Lakukan apa saja yang seharusnya kau lakukan. Untuk Zhia, selamat bergabung denganku, semoga kau betah.” Fia meninggalkan keduanya, Nola secepat kilat duduk di depan Zhia meyakinkan diri akan keputusan yang diambil Zhia.
“Apa, gue udah yakin. Lo mau nanggung hidup gue kalau gue kagak kerja?” Belum sempat Nola berkata-kata, Zhia sudah lebih dulu memberondongnya dengan kata-kata penuh penekanan.
“Ya udah, Lo gue antar balik ke unit gue. Kita langsung ke bandara. Gimana?”
“Ayo, gue udah sesak lama-lama di Jakarta. Setiap sudut kota ini, membuatku seperti dicekik!” Zhia menghela nafasnya perlahan, beban berat di pundaknya semakin pelik karena semua tidak seindah rencananya. Secepatnya, Nola dan Zhia kembali ke unit. Beruntung, Zhia belum sempat membongkar pakaiannya di koper. Jadi, tidak banyak hal yang perlu ia lakukan.
“Gue cuma antar Lo sampai ke bandara, gakpapa?” Nola memberitahu Zhia jika tugasnya dari Fia sedang banyak. Apalagi menjelang akhir bulan, ia sering tidak tidur.
“Gakpapa, lagian Lo juga harus kerja. Makasih ya,” jawab Zhia sambil merapikan koper dan tas travelnya.
“Kita nunggu di lounge, sekalian makan siang disana. Pesawat Lo ke Surabaya, jam empat sore ini. Pas banget waktunya, udah rejeki Lo disini. Jarang-jarang dikasih bagus, hotel juga. Malam ini, Lo langsung kerja. Kalau bisa, istirahat aja di pesawat, biar gak jetlag.”
“Iya, udahan neh. Capcus kita,” kata Zhia menggeret kopernya keluar kamar.
“Oke, selamat berjuang di tempat baru Zhia.” Nola membantu Zhia memasukkan kopernya ke dalam bagasi, lalu keduanya masuk ke dalam mobil. Perjalanan menuju bandara begitu mendebarkan, Zhia akan memulai kehidupan barunya di kota lain. Jauh dari keluarga dan orang-orang yang ia sayangi.
Keduanya sudah duduk di salah satu lounge area bandara Soekarno Hatta. Menikmati makan siangnya untuk terakhir kali di Jakarta, Zhia memandangi sekeliling tempat tersebut. “Gue bakalan kangen Jakarta, sayangnya gue gak bisa tinggal disini lagi. Setidaknya untuk saat ini, lebih baik gue menjauh.”
Panggilan untuk para penumpang tujuan Surabaya sudah menggema, Zhia berpamitan kepada Nola, teman baiknya itu ada di saat terberatnya. “Gue jalan dulu, pesan gue ingat baik-baik. Mau Mas Ega atau Ayahku sekalian, jangan beritahu aku dimana, please.” Zhia memeluk Nola berurai air mata. Akhirnya tumpah juga pertahanan Zhia. Nola menepuk-nepuk pelan punggungnya, memberi kekuatan agar Zhia tetap optimis menjalani hidupnya.
“Oke, hati-hati yah.” Nola melepas kepergian Zhia dengan perasaan yang tidak menentu. Bagaimana tidak, Ega sejak tadi banyak mengirim pesan singkat kepadanya, mempertanyakan keberadaan Zhia kepadanya. Setelah yakin Zhia tidak ada dalam pandangannya, ia mencari tempat duduk untuk membalas rentetan pesan singkat Ega kepadanya.
“Gue gak tahu dia dimana. Lagian pengantin baru kok udah rungsing kayak gini, ada apa?” Nola sudah berjanji kepada Zhia, ia pernah di posisi Zhia. Tidak diinginkan, tidak dianggap oleh orang yang seharusnya memberikan banyak cinta dan kasih sayang.
“Lo jangan bohongin gue, maps ponsel Zhia ada di tempat Lo dan ke arah bandara. Katakan Nola!” Dengan amarah yang membuncah, ia menyusul ke bandara.
“Gue gak tau, udah ya. Gue sibuk, banyak kerjaan!” Nola tidak kalah galak menjawab pesan singkat Ega yang bernada marah itu. “Memangnya dia siapa, main kasih perintah orang. Kasih makan gue juga kagak!”
Satu hal yang disadari Nola, ponsel Zhia ternyata disadap oleh Ega. Buru-buru ia menghubungi Zhia untuk memberitahu. “Ada apa, Nola. Gue baru aja duduk,” jawab Zhia dengan tenang.
“Gawat! Laki Lo pasang gps di ponsel Lo, baiknya ganti ponsel Lo setelah sampai Surabaya, gue bakal minta bantuan Bu Fia untuk kasih Lo ponsel baru. Sekarang Lo matiin aja, yang jemput Lo udah standby di Juanda.”
“Oh, oke. Gue ganti nomor juga ya. Makasih, La.”
Zhia tidak peduli, walaupun seribu kali Ega meminta maaf kepadanya. Toh, ia sudah ditalak di depan keluarganya. “Memangnya kamu siapa, cintaku padamu sudah habis bersamaan dengan talak yang kau ucapkan, Mas.” Balasan pesan singkat Zhia kepada mantan suaminya.
“Zhia, Mas jemput, ya? Kita bicara baik-baik, sayang. Ayo pulanglah!” Pesan singkat tersebut diabaikan oleh Zhia, ia mematikan ponselnya karena pesawat segera take-off.
“Bye, Jakarta. Bye Mas Ega, Ibu dan Ayah. Semoga kalian bahagia selalu.” Zhia memakai kacamata hitamnya setelah mengusap matanya yang basah.
Jalan apa yang akan dilalui Zhia, ia berharap Tuhan berbaik hati untuk tidak mempertemukannya dengan Ega dan keluarganya, dimanapun ia berada. Sesampainya di Juanda, ia keluar dari pintu kedatangan dalam negeri dan melihat seorang pria dan wanita memegang foto dan namanya. Ia yakin, keduanya adalah suruhan Fia.
“Selamat datang Nona,” sapa keduanya kepada Zhia.
“Terima kasih,” jawab Zhia malu-malu. Ia dibantu keduanya membawa koper dan tas travelnya, lalu menuju parkiran untuk menuju hotel.
“Kami antar ke hotell dulu, jam sembilan nanti ada yang jemput. Silahkan pakai kostum yang disiapkan Mami Fia,” kata wanita di sebelah Zhia.
“Kostum? Dimana aku dapat kostumnya?”
“Sudah disiapkan semuanya di hotel, kamu tinggal pakai. Ini identitas barumu, gunakan selama kau bekerja. Ingat, namamu Aya, mengerti?”
Zhia menerima KTP barunya, sebagai bekal identitasnya selama bekerja dengan Fia. “Oh, baik. Terima kasih,” jawab Zhia kepada wanita itu.
Zhia hanya diantar sampai ke lobby, setelah membantunya check-in, Zhia ditinggalkan oleh wanita itu. Zhia menatap kamar mewah yang disiapkan Fia untuknya. “Ayo Zhia, jangan setengah-setengah, apa itu cinta? Cinta gak bikin Lo kaya dan bahagia. Lihat, betapa sakitnya hati Lo hanya karena cinta buta Lo itu!”
"Kalau aku dianggap menipu, lalu yang dilakukan mereka itu apa?" Zhia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menanggalkan pakaiannya, lalu memutuskan untuk membersihkan diri, bersiap bertemu Fia di tempat kerjanya.“Zhia sudah tidak ada. Sekarang, namaku Aya. Diambil dari nama belakangku,” ucap Zhia sambil memakai handuk kimono nya, keluar dari kamar mandi. Mata Zhia tertuju pada sebuah mini dress warna hitam tanpa lengan yang tergantung di dekat lemari. “Cantik dan seksi, aku suka dress itu. Ah, Nola pasti sudah tahu seleraku.”Membutuhkan waktu satu jam untuk Zhia bersiap, dengan make-up natural ia tampil elegan dan mempesona. Bahkan orang kepercayaan Fia pun tidak berkedip mata menyaksikan pemandangan indah di depannya. Hingga tiba cafe milik Fia pun, Zhia menjadi pusat perhatian para tamu yang melihat kedatangannya.“Ruangan Mami ada di dalam, masuk aja.” Salah satu anak buah Fia mengantarkannya sampai di depan ruangan wanita itu.Zhia mengetuk pintu ruangan tersebut, suara Fi
Danu masih berdiri, terdiam membisu tidak dapat berpikir. Bisa-bisanya, ia bertemu dengan mantan menantunya itu. Ia mematung melihat dua orang gadis seusia Zhia tengah merapikan meja dan menyalakan sound system untuk karaoke."Kau! Kau benar-benar kurang ajar! Kau tidak ingat siapa aku?" Danu menatap tajam Zhia yang terus memprovokasi dirinya."Oh, tentu saja sayang ingat. Saya adalah mantan menantu Anda. Menantu yang ditalak di malam pertamanya." Zhia meraih ponselnya di saku lalu memotret Danu yang tengah duduk diapit oleh kedua temannya yang lain."Hey, untuk apa kau mengambil gambar!""Hahahaha, santai saja. Pak Danu tidak usah emosi. Teman saya hanya menemani saja, kok. Setelah ini, hanya ada kita berdua disini," kata Zhia sambil mengedipkan mata. Memberi kode kepada kedua rekannya untuk keluar dari ruangan tersebut."Eh, mereka mau kemana?" Danu panik karena Zhia menutup pintu ruangan tersebut dan menghampirinya dengan tatapan benci."Tugas mereka sudah selesai, sekarang kita mul
Nola adalah orang terakhir yang Ega cari. Karena hampir semua teman-teman Zhia kompak menjawab ketidaktahuan mereka tentang keberadaan Zhia. Wanita itu bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di ibukota. Menunggu sampai jam pulang kantor, Nola berjanji untuk menemui Ega di salah satu coffeeshop tak jauh dari kantornya."Lo ngapain sih masih nyariin Zhia. Lo udah talak dia, udahlah." Nola duduk di kursinya lalu mengomel kesal kepada Ega yang terus menerornya sejak tadi pagi."Gue, gue butuh ketemu Zhia. Setidaknya untuk membahas rumah tangga kami," jawab Ega dengan tidak tahu malunya."Hahaha, Lo beneran lawak! Temen gue Lo talak di malam pertamanya. Dia udah gak perawan sama Lo, bego! Terus sekate-kate Lo nyariin dia buat bahas urusan rumah tangga? Rumah tangga macam apalagi yang bakal Lo bahas sama temen gue?""Ayolah, La. Gue butuh tahu dimana Zhia. Dia udah matiin ponselnya, gak mungkin juga gue nyariin dengan tangan kosong. Dimana dia, La? GPS gue terakhir di bandara, Lo
Satu minggu sudah Zhia bekerja di karaoke tersebut. Walaupun belum menjadi bintang utama di tempat tersebut, bagi Zhia tidaklah penting."Aya, setelah menyelesaikan pekerjaanmu dengan tamu di room. Lo diminta datang ke rumah Mami. Malam ini juga," kata salah satu rekan Zhia di tempat karaoke tersebut."Oh, oke Mbak. Makasih," jawab Zhia dengan menunjukkan senyum terbaiknya.Satu jam lagi pekerjaannya selesai, ia mendapatkan tamu beberapa orang tim marketing sebuah perusahaan rokok yang menyewa jasanya untuk menemani berkaraoke. Walaupun hanya menemani bernyanyi selama empat jam, tips yang didapatkan dari para pria tersebut lumayan untuk menambah saldo rekeningnya."Terima kasih, Mas. Lain kali, panggil Aya lagi yah. Kalau perlu call untuk konfirmasi," jawab Zhia kepada salah satu dari mereka setelah ia mendapatkan transferan tips."Oke, bye cantik!"Zhia langsung menuju ruang ganti, permintaan untuk bertemu dengan Fia malam ini, sepertinya penting. Apalagi, sampai Fia yang memintanya
Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru pergi dari hadapan Tika. Setengah berlari, ia keluar dari toilet wanita di tempat tersebut. Bagi Zhia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekedar hahahihi dengan saudara atau rekanan keluarganya. Tidak, waktu adalah uang bagi Zhia. Impiannya untuk mendapatkan kebebasan finansial tidak akan terwujud jika ia tidak rajin bekerja. Selain untuk mengobati rasa sakit hatinya, Zhia berharap tidak akan bertemu dengan Tika lagi.“Astaga, jantungku!” Zhia lega, rangkaian perawatan yang harus ia jalani sudah
“Mas yang gila, harusnya di saat kondisi Zhia yang seperti ini, kita lah yang harus merangkulnya. Dia sendirian dan rapuh, Mas! Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman Zhia untuk berkeluh kesah. Sayangnya kalian malah mengusirnya! Apa Mas sudah gila?” Tika marah besar begitu mendengar langsung pengakuan Putri jika kakaknya pergi dari rumah karena sudah diusir oleh Abdullah.“Aku pastikan dia akan kembali dan memohon pada ayahnya untuk diterima lagi, kamu gak usah berlebihan. Zhia tidak akan bertahan lama di Surabaya,” kata Abdullah dengan sombongnya.“Gak paham aku dengan cara berpikirmu, Mas! Benar-benar keterlaluan! Tika kesal bukan main kepada kakak kandungnya itu. Ia mematikan sambungan telepon tersebut sepihak.Nafas Tika tersengal, tidak dapat membayangkan hancurnya hati Zhia, keponakan cantiknya itu tadi terlihat sendu dan menyimpan duka yang dalam. “Pantas saja kalau wajahnya terlihat gak bahagia, Mas Abdullah memang sinting! Udah gila harta, sampai anak sendiri tidak diu
Zhia sudah bersiap dengan pakaian santainya, seperti permintaan Irwan kepadanya, ia tidak perlu memakai pakaian resmi seperti semalam. Pilihannya jatuh pada rok jeans dan atasan kaos berwarna putih. Kali ini dengan flat shoes yang lebih feminim namun simple. Dengan langkah anggunnya, Zhia keluar dari kamar kost nya, menemui Irwan yang sudah menunggunya di luar pagar rumah bercat putih itu.“Halo, sudah siap?” Irwan yang pada siang itu mengenakan jeans dan kaos pun terlihat sumringah melihat penampilan manis Zhia yang berbeda dari semalam.“Hai. Kok lihatnya kayak gitu?” Pertanyaan Zhia membuat Irwan terkekeh.“Kamu seperti ada dua versi, Aya yang semalam begitu dewasa dan elegan. Sedangkan yang sekarang lebih terlihat sesuai umur kamu yang saya kira baru dua puluh tahun lebih. Belum lama lulus S1, kan?”“Eh, kok tahu?”“Sekedar informasi umum dari Fia, kita langsung jalan yah. Saya sudah lapar, makan dulu kita,” kata Irwan meminta sopir melajukan kendaraannya menuju salah satu mall ta
Zhia tidak menyangka jika pria yang baru saja mengenal dirinya menawarkan sebuah pernikahan."Tidak apa, tidak usah terburu-buru. Saya tidak minta jawaban kamu sekarang. Pelan-pelan saja, saya akan menunggu sampai kamu siap.""Saya, saya tidak enak kalau begini, Pak. Irwan."“Kamu bilang, ingin menyembuhkan luka dengan bekerja, silahkan saja. Lakukan apapun yang membuatmu bahagia, Aya. Wanita baik sepertimu, tidak pantas menangis. Kau tahu, dari pertemuan pertama kita ini, saya belajar dari kamu.” “Belajar apa, Pak? Tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidup saya yang berantakan ini,” ucap Zhia terkekeh.“Ada Aya, kamu membungkus sebuah kesedihan dengan sebuah senyum yang tulus, pasrah kepada Tuhan namun tetap optimis. Saya belum bisa berbesar hati seperti kamu. Menerima ketetapan Tuhan untuk saya,” ungkap Irwan.“Sejujurnya, kalau dibilang tidak ikhlas ya memang. Saya hanya manusia biasa, kecewa, pasti. Tapi, saya kembalikan lagi, jika saya membiarkan diri saya terkungkung dengan pe