Fia baru saja kembali dari perjalanan dinasnya. Kembali ke Surabaya, ia mendengar keributan yang disebabkan karena penolakan Zhia kepada salah satu anak pejabat. Apalagi, pria itu merupakan member VIP di Dvia. Siang ini, ia kembali berkomunikasi dengan Irwan untuk koordinasi mengenai Gravity. Setelah pembahasan mengenai pekerjaan, Irwan kembali menanyakan kabar Zhia kepada wanita itu."Sebenarnya itu sudah hak Zhia. Dia mau menolak atau menerima, sayang dia membuat murka Bapaknya. Aku bingung," ucap Fia kepada Irwan."Lalu, kau mau Zhia harus seperti apa?" Pertanyaan Irwan kepada Fia, membuat wanita itu semakin gundah."Sejujurnya, aku pun tidak tahu harus bersikap seperti apa. Anak itu sudah sesuai prosedur. Tidak ada yang salah," ungkap Fia setelah menceritakan kronologi kejadiannya."Kalau begitu, kau tidak bisa menyalahkan dia, Fia. Ingat, aku tetap menyuplai Dvia sebesar sekarang karena adanya Zhia disana. Jadi, kuharap kau bisa lebih bijak jika menyangkut member Dvia yang entah
Abdullah kembali aktif di Gravity, perusahaan yang ia dirikan bersama dengan keluarganya itu kembali sehat berkat Zhia. Pria itu sedang memeriksa laporan keuangan selama ia tinggal berobat ke Singapore. “Banyak sekali pengeluaran yang tidak jelas, dan jumlahnya sangat besar! Ini ulah siapa, coba?” Abdullah uring-uringan di depan laptopnya. Begitu mendapatkan laporan keuangan terbaru, ia langsung mengeceknya.Salah satu saksi betapa gigihnya Zhia mempertahankan Gravity adalah sekretaris Abdullah. Pria itu masuk setelah mengetuk pintu ruangannya. “Ah, bagus kau datang, tolong kasih aku penjelasan sedetail mungkin tentang semua ini,” ucap Abdullah kepada pria berkacamata itu.“Begini, Pak. Yang utama, Bapak harus bangga dengan Zhia. Anak perempuan Bapak itu benar-benar cerdas dan tidak ada takut-takutnya untuk mempertahankan perusahaan ini. Dia yang meminta pertanggungjawaban Pak Ega dan Ayahnya untuk mengembalikan seluruh dana yang terpakai oleh mereka tanpa sepengetahuan Anda. Satu lag
Abdullah menolak mentah-mentah undangan dinner dari keluarga Ega. Undangan tersebut ia dapatkan dari sang istri yang menyambutnya pulang.“Gak usah dekat-dekat mereka, Bu. Masih bagus Zhia mau memperjuangkan perusahaan. Mereka tidak melakukan apapun dengan kondisi genting seperti itu, sangat mengecewakan!” Abdullah yang baru saja masuk ke dalam kamar sedang melepaskan kemeja yang ia kenakan.“Ya sudah, nanti saja kita bahas lagi. Ayah mandi dulu, ketemu kami di bawah makan malam sama Putri yah. Kita harus kasih dia perhatian juga,” ucap Mirna sambil menyerahkan handuk kering untuk suaminya.“Oke, aku mandi dulu.” Setelah Abdullah menutup pintu kamar mandinya, Mirna kembali ke dapur untuk merapikan menu makan malamnya. Melihat anak gadisnya yang duduk di ruang tengah, Mirna teringat Zhia. Bagaimana keadaan anak pertamanya itu.“Put, sini sayang. Makanan udah siap kok,” ucap wanita itu meminta anaknya duduk di meja makan.“Eh, Ibu. Ayah masih mandi ya?” Gadis berkacamata itu beranjak d
"Katakan Zhia, siapa yang sudah mendapatkan mahkotamu sebelum aku?" Pertanyaan Ega membuat Zhia sedih. Tidak hanya melukai harga dirinya sebagai seorang wanita, tapi juga melukai harga dirinya sebagai istri."Mas yang pertama, apa yang salah?" Zhia mengusap pipinya yang basah berulang kali. Tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk sekedar memberi tisu untuknya."Omong kosong! Jangan mencoba menipu kami, Zhia!" Ibu mertua Zhia menghardiknya, Yanti tidak percaya dengan ucapan menantunya. Wanita yang dinikahi anaknya beberapa jam yang lalu."Zhia gak bohong, Bu. Mas Ega yang pertama buat Zhia." Menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Zhia lalu menundukkan kepalanya. Suaranya bergetar menahan tangis yang menyesakkan dada.Malu, kecewa dan perasaan campur aduk tidak dapat ia jelaskan dengan kata-kata. Tidak pernah terpikirkan oleh Zhia jika hal seperti ini menjadi masalah besar di keluarga suaminya."Semua maling juga gak ada yang bilang dirinya maling, Zhia. Jadi, lebih baik kamu
Ingatan kata-kata Ega masih terngiang di kepalanya. Mulai dari akad nikah hingga ikrar talak yang diucapkan pria itu bagai komedi kehidupan yang membuatnya tidak ada waktu untuk sekedar bersiap."Wake up, Zhia! Tidak ada lagi yang tersisa, cari kebahagiaanmu sendiri." Ucapan penyemangat untuk dirinya sendiri berulang kali Zhia ucapkan untuk mengembalikan mentalnya.Selesai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, ia bersiap untuk sarapan bersama dengan keluarganya. Dan, waktu memang tidak bisa ditunda lagi, ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan Ega di malam pertamanya. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi sepasang pengantin baru."Sekarang jelaskan pada ayah, apa yang terjadi dengan kalian?" Abdullah bertanya kepada Zhia."Hhmm, Yah. Zhia dianggap sudah tidak perawan. Mereka merasa dibohongi sama Zhia." Dengan tenang ia menjawab pertanyaan tersebut."Omong kosong! Alasan apa itu?" Abdullah merasa alasan yang disampaikan Zhia mengada-ngada."Kenyataannya sepe
Zhia menangis sejadinya di dalam mobil, teriakan Putri yang kecewa karena kepergiannya menambah beban di hati. Tidak berani menoleh ke belakang, Zhia meminta driver online tersebut melajukan kendaraannya lebih kencang. “Gue udah dijalan, Lo udah siapin beneran buat gue?” tangan Zhia bergetar mengirimkan pesan singkat dari salah satu teman sekolahnya itu.“Udah, Lo datang aja ke apartemen yang udah gue share alamatnya. Itu punya gue, Lo istirahat aja. Sore gue jemput, Lo pakai pakaian dress yah,” jawab rekan Zhia itu.“Oke. Gue udah mau sampai,” tutup Zhia. Ia memasukkan ponselnya di dalam tas, lalu membayar ongkos taksinya.Menyeret kopernya masuk ke resepsionis, Zhia menanyakan kunci unit yang ditinggalkan rekannya. Hidupnya dimulai dari sini, Zhia yang sekarang bukanlah Zhia yang melankolis lagi. Begitulah pesan dari Nola yang barusan diterimanya. Zhia bergegas membersihkan diri, seperti permintaan Nola. Ia memakai dress yang sekiranya menarik namun tetap sopan dikenakan untuk berte
"Karena keperawanan yang hilang bukan untuk ditangisi seperti sebuah duka yang tiada henti. Sesuatu yang dipastikan akan hilang jika pemiliknya melewati siklus kehidupan." Ucapan kedua Fia ada benarnya, tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak akan kembali.“Oke, saya yakin pindah ke Malang. Tapi, dokumen saya bagaimana?” Pertanyaan Zhia sebenarnya bukan masalah besar bagi Fia, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini berulang kali. Dengan berbagai macam karakter wanita.“Tidak masalah, Nola sudah memberitahuku. Yang utama, kau sudah bulatkan keputusanmu. Tidak ada paksaan disini, aku sudah memberimu pilihan, bukan?” Fia menyeruput coffee latte nya hingga tandas.“Baik, Bu. Saya tidak berubah pikiran, kok.” Zhia menjawab keraguan yang tersirat dari ucapan Fia.“Oke, lebih cepat lebih baik. Jika kau siap, berangkatlah ke Malang siang ini juga. Nola akan menyiapkan tiketmu, bagaimana?”“Mau, mau sekali. Bu, terima kasih,” kata Zhia berkaca-kaca.“Sudah, perkara identitasmu
"Kalau aku dianggap menipu, lalu yang dilakukan mereka itu apa?" Zhia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menanggalkan pakaiannya, lalu memutuskan untuk membersihkan diri, bersiap bertemu Fia di tempat kerjanya.“Zhia sudah tidak ada. Sekarang, namaku Aya. Diambil dari nama belakangku,” ucap Zhia sambil memakai handuk kimono nya, keluar dari kamar mandi. Mata Zhia tertuju pada sebuah mini dress warna hitam tanpa lengan yang tergantung di dekat lemari. “Cantik dan seksi, aku suka dress itu. Ah, Nola pasti sudah tahu seleraku.”Membutuhkan waktu satu jam untuk Zhia bersiap, dengan make-up natural ia tampil elegan dan mempesona. Bahkan orang kepercayaan Fia pun tidak berkedip mata menyaksikan pemandangan indah di depannya. Hingga tiba cafe milik Fia pun, Zhia menjadi pusat perhatian para tamu yang melihat kedatangannya.“Ruangan Mami ada di dalam, masuk aja.” Salah satu anak buah Fia mengantarkannya sampai di depan ruangan wanita itu.Zhia mengetuk pintu ruangan tersebut, suara Fi