Zhia menangis sejadinya di dalam mobil, teriakan Putri yang kecewa karena kepergiannya menambah beban di hati. Tidak berani menoleh ke belakang, Zhia meminta driver online tersebut melajukan kendaraannya lebih kencang. “Gue udah dijalan, Lo udah siapin beneran buat gue?” tangan Zhia bergetar mengirimkan pesan singkat dari salah satu teman sekolahnya itu.
“Udah, Lo datang aja ke apartemen yang udah gue share alamatnya. Itu punya gue, Lo istirahat aja. Sore gue jemput, Lo pakai pakaian dress yah,” jawab rekan Zhia itu.
“Oke. Gue udah mau sampai,” tutup Zhia. Ia memasukkan ponselnya di dalam tas, lalu membayar ongkos taksinya.
Menyeret kopernya masuk ke resepsionis, Zhia menanyakan kunci unit yang ditinggalkan rekannya. Hidupnya dimulai dari sini, Zhia yang sekarang bukanlah Zhia yang melankolis lagi. Begitulah pesan dari Nola yang barusan diterimanya. Zhia bergegas membersihkan diri, seperti permintaan Nola. Ia memakai dress yang sekiranya menarik namun tetap sopan dikenakan untuk bertemu orang yang akan menerimanya sebagai pekerja.
“Ayo, Zhia. Tidak boleh cengeng dan lanjutkan hidupmu sekalipun sendirian,” ucap Zhia pada dirinya sendiri.
Mematut tampilan tubuhnya di kaca kamar mandi, bekas malam pertamanya dengan Ega masih terlihat jelas. Pria yang hanya menjadi suaminya tidak lebih dari dua puluh empat jam itu meninggalkan luka hati yang dalam baginya. Luka yang diberikan Ega dan keluarganya sukses menghantam mentalnya. Rasa percaya dirinya sebagai seorang wanita terusik karena perlakukan mereka.
“Oke, balas penghinaan mereka dengan caramu sendiri, Zhia! Kamu cantik dan masih muda,” ucapnya di depan cermin yang sudah berembun itu. Aliran air hangat yang sengaja ia nyalakan dari shower membuatnya sedikit tenang.
Zhia sadari jika akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak, ia tahu Abdullah pasti mempersulit pergerakannya. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. "Masih ada jalan menuju Roma, gue gak boleh bego." Merias wajahnya dengan sempurna, Zhia sudah siap dijemput oleh Nola.
"Lo dah yakin dengan pilihan ini?" Sekali lagi, Nola bertanya kepada Zhia.
"Gue udah gak ada pilihan, Lo gak perlu nanya hal kayak gini lagi kedepannya. Salah atau benar, dosa atau tidak biarkan gue yang bicara sama Tuhan!" Zhia kembali memoles bibirnya untuk menghindari tatapan mata Nola.
"Tapi ini kerjaan biasa Zhia, pekerja restoran yang Lo tahu gajinya berapa. Gue cuma gak mau disalahkan, ini bukan Lo banget."
"Yang penting gue bisa makan dan berdiri di kali gue sendiri. Persetan dengan surat cerai atau nafkah dari pria yang orang katakan suami gue!"
"Oke, tapi tensinya turunin yah. Cantik kayak gitu gak boleh marah-marah," kata Nola mentoel pipi Zhia karena gemas.
"Bisaan, udah oke belum neh?" Zhia memamerkan penampilannya di depan Nola.
“Lo selalu oke, Zhia,” jawab Nola terkekeh melihat rekannya itu menatapnya tajam.
“Sebentar, Lo bilang gue cuma butuh bawa ijazah gue aja, kan? Paklaring gue gak ada, lho.” Zhia membuka tas travel merah mencari ijazahnya.
“Iye, bawa ijazah aja. Mereka juga gak minta kok, yang penting ketemu dulu,” jawab Nola santai.
Zhia panik, ijazah sarjananya tidak berada di tas nya. Lalu, ia membongkar kopernya, sayangnya ia tidak mendapati yang dicarinya. “Nola, jangan-jangan ijazah gue masih di rumah.” Zhia mendadak pucat, bagaimana bisa ia melewatkan dokumen pentingnya itu.
“Yakin gak ada? Lo coba telepon Putri deh, mumpung masih jam segini, kali aja bisa disusulkan pake ojol.” Saran Nola ada benarnya, tanpa banyak berpikir Zhia menghubungi adiknya.
“Putri coba lihat di kamar Mbak, ya? Jangan dimatiin teleponnya,” kata Putri yang lega mendengar suara Zhia.
“Makasih, Put. Maafin Mbak ya, jadi kayak gini.” Zhia tahu, Putri ikut bersedih atas apa yang menimpanya.
“Cari apa, kamu?” Suara Abdullah mengagetkan Putri dan Zhia pun mendengarnya.
“Gak ada, Yah. Cuma mau ke kamar Mbak Zhia aja,” jawab gadis itu kelabakan.
“Kasih tahu orang yang bicara denganmu, ijazahnya udah ayah robek dan bakar! Dia dapat ijazah itu karena uang dari ayahmu dan keluarga Ega, apa gak malu!”
Deg! Ucapan Abdullah membuat Zhia tidak percaya, bisa-bisanya ayahnya bertindak sejauh itu padanya. Ia mendengar Putri berteriak kepada Abdullah sambil menangis. “Ayah jahat! Putri jadi ragu, sebenarnya ayah ini ayah kami atau bukan!” Sesenggukan Putri kecewa dengan keputusan Abdullah.
Zhia memutuskan untuk mematikan sambungan teleponnya dengan Putri, matanya berkaca-kaca menatap Nola dengan wajah kecewa dan sedih bercampur jadi satu. “Gimana ini,” kata Zhia dengan suara bergetar.
“Oke, tidak apa. Kita temui Bu Fia dulu, Lo udah cantik kayak gini. Sekarang, Zhia harus kuat, gak ada ijazah tidak masalah. Lo punya otak encer dan wajah cantik, yuk semangat.” Nola mengusap mata Zhia yang basah dengan lembut.
“Makasih, La!”
Zhia dan Nola menemui Fia, wanita cantik yang dimintai tolong Nola memberikan Zhia pekerjaan. Di salah satu hotel di daerah Dharmawangsa, keduanya menemui wanita paruh baya itu.
“Selamat siang, Bu Fia,” sapa Zhia. Nola yang mendampinginya, menundukkan kepalanya menghormati wanita itu.
“Oh, duduk. Saya sengaja minta di ruangan tertutup. Kamu Zhia?” tanya Fia kepadanya. Penampilan Zhia yang sederhana namun elegan, berhasil mencuri perhatiannya.
“Iya, Bu. Saya Zhia,” jawab Zhia dengan tenang.
“Pekerjaan apa yang kamu mau?” Pertanyaan Fia membuatnya bingung. Ia menatap Nola meminta bantuan.
“Maksud Bu Fia, Lo mau kerjaan seperti apa? Mau jalur surga atau neraka, gampangnya gitu Zhia,” jawab Nola memamerkan giginya yang putih.
“Jalur apa saja, yang jelas saya bisa makan dan hidup layak.”
“Jika seperti itu, tentu kamu mau gaji besar dan hidup enak. Silahkan pilih saja, mau tetap di Jakarta, bekerja kantoran dengan segala aturannya. Atau kamu tinggal di Malang, disana kamu bisa memulai hidup baru,” kata Fia memberikan Zhia pilihan.
“Di Malang saja, Bu. Saya tidak mau disini, keluarga dan mantan suami saya pasti mempersulit ruang gerak saya. Mereka punya uang dan kekuasaan, saya tidak akan mampu melawan mereka dengan kondisi sekarang,” jawab Zhia dengan yakinnya.
“Zhia! Di Malang, bukan sembarang pekerjaan. Lo yakin mau kesana?” Nola membisikkan sesuatu di telinganya. Zhia mendengar baik-baik apa yang dibisikkan Nola kepadanya. Berpikir sejenak, ia lalu memantapkan diri mengambil keputusan.
“Yakin ambil yang di Malang?” Fia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu membuang asapnya yang menyeruak di penjuru ruangan tersebut.
“Hhhhmm. Nola, gimana?” Sejujurnya, Zhia masih ragu. Apakah keputusannya itu sudah tepat atau tidak. Ia menautkan kedua tangannya berpikir ulang tawaran Fia padanya.
“Tubuh indahmu tidak dihargai semestinya oleh suamimu, lalu untuk apa kau sia-siakan,” bisik wanita berkacamata hitam itu menohok hatinya.
"Karena keperawanan yang hilang bukan untuk ditangisi seperti sebuah duka yang tiada henti. Sesuatu yang dipastikan akan hilang jika pemiliknya melewati siklus kehidupan." Ucapan kedua Fia ada benarnya, tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak akan kembali.“Oke, saya yakin pindah ke Malang. Tapi, dokumen saya bagaimana?” Pertanyaan Zhia sebenarnya bukan masalah besar bagi Fia, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini berulang kali. Dengan berbagai macam karakter wanita.“Tidak masalah, Nola sudah memberitahuku. Yang utama, kau sudah bulatkan keputusanmu. Tidak ada paksaan disini, aku sudah memberimu pilihan, bukan?” Fia menyeruput coffee latte nya hingga tandas.“Baik, Bu. Saya tidak berubah pikiran, kok.” Zhia menjawab keraguan yang tersirat dari ucapan Fia.“Oke, lebih cepat lebih baik. Jika kau siap, berangkatlah ke Malang siang ini juga. Nola akan menyiapkan tiketmu, bagaimana?”“Mau, mau sekali. Bu, terima kasih,” kata Zhia berkaca-kaca.“Sudah, perkara identitasmu
"Kalau aku dianggap menipu, lalu yang dilakukan mereka itu apa?" Zhia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menanggalkan pakaiannya, lalu memutuskan untuk membersihkan diri, bersiap bertemu Fia di tempat kerjanya.“Zhia sudah tidak ada. Sekarang, namaku Aya. Diambil dari nama belakangku,” ucap Zhia sambil memakai handuk kimono nya, keluar dari kamar mandi. Mata Zhia tertuju pada sebuah mini dress warna hitam tanpa lengan yang tergantung di dekat lemari. “Cantik dan seksi, aku suka dress itu. Ah, Nola pasti sudah tahu seleraku.”Membutuhkan waktu satu jam untuk Zhia bersiap, dengan make-up natural ia tampil elegan dan mempesona. Bahkan orang kepercayaan Fia pun tidak berkedip mata menyaksikan pemandangan indah di depannya. Hingga tiba cafe milik Fia pun, Zhia menjadi pusat perhatian para tamu yang melihat kedatangannya.“Ruangan Mami ada di dalam, masuk aja.” Salah satu anak buah Fia mengantarkannya sampai di depan ruangan wanita itu.Zhia mengetuk pintu ruangan tersebut, suara Fi
Danu masih berdiri, terdiam membisu tidak dapat berpikir. Bisa-bisanya, ia bertemu dengan mantan menantunya itu. Ia mematung melihat dua orang gadis seusia Zhia tengah merapikan meja dan menyalakan sound system untuk karaoke."Kau! Kau benar-benar kurang ajar! Kau tidak ingat siapa aku?" Danu menatap tajam Zhia yang terus memprovokasi dirinya."Oh, tentu saja sayang ingat. Saya adalah mantan menantu Anda. Menantu yang ditalak di malam pertamanya." Zhia meraih ponselnya di saku lalu memotret Danu yang tengah duduk diapit oleh kedua temannya yang lain."Hey, untuk apa kau mengambil gambar!""Hahahaha, santai saja. Pak Danu tidak usah emosi. Teman saya hanya menemani saja, kok. Setelah ini, hanya ada kita berdua disini," kata Zhia sambil mengedipkan mata. Memberi kode kepada kedua rekannya untuk keluar dari ruangan tersebut."Eh, mereka mau kemana?" Danu panik karena Zhia menutup pintu ruangan tersebut dan menghampirinya dengan tatapan benci."Tugas mereka sudah selesai, sekarang kita mul
Nola adalah orang terakhir yang Ega cari. Karena hampir semua teman-teman Zhia kompak menjawab ketidaktahuan mereka tentang keberadaan Zhia. Wanita itu bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di ibukota. Menunggu sampai jam pulang kantor, Nola berjanji untuk menemui Ega di salah satu coffeeshop tak jauh dari kantornya."Lo ngapain sih masih nyariin Zhia. Lo udah talak dia, udahlah." Nola duduk di kursinya lalu mengomel kesal kepada Ega yang terus menerornya sejak tadi pagi."Gue, gue butuh ketemu Zhia. Setidaknya untuk membahas rumah tangga kami," jawab Ega dengan tidak tahu malunya."Hahaha, Lo beneran lawak! Temen gue Lo talak di malam pertamanya. Dia udah gak perawan sama Lo, bego! Terus sekate-kate Lo nyariin dia buat bahas urusan rumah tangga? Rumah tangga macam apalagi yang bakal Lo bahas sama temen gue?""Ayolah, La. Gue butuh tahu dimana Zhia. Dia udah matiin ponselnya, gak mungkin juga gue nyariin dengan tangan kosong. Dimana dia, La? GPS gue terakhir di bandara, Lo
Satu minggu sudah Zhia bekerja di karaoke tersebut. Walaupun belum menjadi bintang utama di tempat tersebut, bagi Zhia tidaklah penting."Aya, setelah menyelesaikan pekerjaanmu dengan tamu di room. Lo diminta datang ke rumah Mami. Malam ini juga," kata salah satu rekan Zhia di tempat karaoke tersebut."Oh, oke Mbak. Makasih," jawab Zhia dengan menunjukkan senyum terbaiknya.Satu jam lagi pekerjaannya selesai, ia mendapatkan tamu beberapa orang tim marketing sebuah perusahaan rokok yang menyewa jasanya untuk menemani berkaraoke. Walaupun hanya menemani bernyanyi selama empat jam, tips yang didapatkan dari para pria tersebut lumayan untuk menambah saldo rekeningnya."Terima kasih, Mas. Lain kali, panggil Aya lagi yah. Kalau perlu call untuk konfirmasi," jawab Zhia kepada salah satu dari mereka setelah ia mendapatkan transferan tips."Oke, bye cantik!"Zhia langsung menuju ruang ganti, permintaan untuk bertemu dengan Fia malam ini, sepertinya penting. Apalagi, sampai Fia yang memintanya
Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru pergi dari hadapan Tika. Setengah berlari, ia keluar dari toilet wanita di tempat tersebut. Bagi Zhia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekedar hahahihi dengan saudara atau rekanan keluarganya. Tidak, waktu adalah uang bagi Zhia. Impiannya untuk mendapatkan kebebasan finansial tidak akan terwujud jika ia tidak rajin bekerja. Selain untuk mengobati rasa sakit hatinya, Zhia berharap tidak akan bertemu dengan Tika lagi.“Astaga, jantungku!” Zhia lega, rangkaian perawatan yang harus ia jalani sudah
“Mas yang gila, harusnya di saat kondisi Zhia yang seperti ini, kita lah yang harus merangkulnya. Dia sendirian dan rapuh, Mas! Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman Zhia untuk berkeluh kesah. Sayangnya kalian malah mengusirnya! Apa Mas sudah gila?” Tika marah besar begitu mendengar langsung pengakuan Putri jika kakaknya pergi dari rumah karena sudah diusir oleh Abdullah.“Aku pastikan dia akan kembali dan memohon pada ayahnya untuk diterima lagi, kamu gak usah berlebihan. Zhia tidak akan bertahan lama di Surabaya,” kata Abdullah dengan sombongnya.“Gak paham aku dengan cara berpikirmu, Mas! Benar-benar keterlaluan! Tika kesal bukan main kepada kakak kandungnya itu. Ia mematikan sambungan telepon tersebut sepihak.Nafas Tika tersengal, tidak dapat membayangkan hancurnya hati Zhia, keponakan cantiknya itu tadi terlihat sendu dan menyimpan duka yang dalam. “Pantas saja kalau wajahnya terlihat gak bahagia, Mas Abdullah memang sinting! Udah gila harta, sampai anak sendiri tidak diu
Zhia sudah bersiap dengan pakaian santainya, seperti permintaan Irwan kepadanya, ia tidak perlu memakai pakaian resmi seperti semalam. Pilihannya jatuh pada rok jeans dan atasan kaos berwarna putih. Kali ini dengan flat shoes yang lebih feminim namun simple. Dengan langkah anggunnya, Zhia keluar dari kamar kost nya, menemui Irwan yang sudah menunggunya di luar pagar rumah bercat putih itu.“Halo, sudah siap?” Irwan yang pada siang itu mengenakan jeans dan kaos pun terlihat sumringah melihat penampilan manis Zhia yang berbeda dari semalam.“Hai. Kok lihatnya kayak gitu?” Pertanyaan Zhia membuat Irwan terkekeh.“Kamu seperti ada dua versi, Aya yang semalam begitu dewasa dan elegan. Sedangkan yang sekarang lebih terlihat sesuai umur kamu yang saya kira baru dua puluh tahun lebih. Belum lama lulus S1, kan?”“Eh, kok tahu?”“Sekedar informasi umum dari Fia, kita langsung jalan yah. Saya sudah lapar, makan dulu kita,” kata Irwan meminta sopir melajukan kendaraannya menuju salah satu mall ta