Gara-gara temanku mengirimkan Video Dewasa, pembantuku yang menjadi pel4mpiasan. Padahal minggu depan aku akan menikah.
"Halo, Bro." "Iya, kenapa?" "Lagi di mana? di rumah?" "Iya, gue di rumah. Payah banget nyokap gue, masa gue bener-bener dipingit." Terdengar suara Heru tertawa. "Gak papa, Vid, nurut aja apa kata nyokap lu. Di rumah juga pasti rame orang'kan, lo gak bakalan kesepian." "Tahu nih, lagi pada keluar. Rumah sepi. Si Mbak doang adanya. Kenapa, tumben lu nelpon? Sabtu nanti lu jangan lupa jadi bridesman gue." "Iya, siap. Makanya ini, gue ada kirimin video ke HP lu, coba buka dan lu pelajari ha ha ha... lu kan mau jadi manten. Oke!" Baru mau menyanggah, panggilan dari Heru sudah terputus. Aku langsung menekan pesan video yang dikirim oleh Heru lima menit yang lalu. Video apa, sih? Aku mendelik saat gambar pertama adalah wanita berpakaian begitu terbuka sedang berada di dapur. Lalu... dan seterusnya... jakunku naik turun melihat adegan demi adegan. Keringat sebesar biji ketumbar bermunculan di kening dan juga punggung. Bajuku basah, padahal AC di kamar menyala. Detak jantungku juga sangat cepat. Aku benar-benar gelisah dan menyesal karena sudah melihat yang seharusnya jangan aku lihat. Tok! Tok! "Mas David, saya Sri. Mau anterin makan." Aku terlonjak kaget. "Masuk." Fokusku masih pada ponsel. Suara pintu memang terdengar terbuka, tetapi aku sama sekali tidak menoleh ke arah Sri. "Mas David, makannya saya taruh meja, jusnya juga. Apa ada yang lain?" aku bisa gila jika semua yang menyesakkan ini tidak dituntaskan. Sri berdiri di depanku sambil memegang nampan. Seperti biasa, ia selalu menggunakan baju kebesaran dan selalu berpakaian sopan di rumahku. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Sejenak aku menekan tombol jeda pada video. "Mbak Sri bisa bantu bereskan lemari saya? Pakaian saya tolong disusun agar nanti pakaian istri saya bisa muat di lemari." "Oh, baik, Mas." Sri menaruh nampannya di atas meja kerjaku. Lalu ia mulai mengerjakan apa yang aku perintahkan. Aku kembali menekan tombol play dan aku lupa jika suara dari video itu tidak aku silent. Sri seperti ingin menoleh ke arahku, tapi ia ragu. Sri bukan gadis lagi. Dia sudah punya suami, apa... aku berjalan ke arah pintu kamar, lalu menguncinya. Sri menoleh ke arahku dengan tatapan bingung. "Mas, k-kenapa p-pintunya dikunci?" *** "Mbak Sri, i-ini sudah terjadi. Maafkan saya ya. Oh, iya, ini ada sedikit untuk Mbak Sri kirim ke kampung." Aku mengambil sembarangan uang dari dalam tasku. Mungkin ada sekitar tiga ju-ta di sana. Aku tidak ingat persis. Uangnya aku ambil semua dan aku berikan pada ART mamaku itu. Mbak Sri masih diam sambil merapikan bajunya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi dan melakukan apa karena menjadi salah tingkah sendiri akibat kelakuanku. Kedua kaki pun ikut gemetar. Ini pengalaman pertamaku sebagai pria. Ia bergerak turun dari ranjangku. Tidak lupa nampan yang tadi di atas meja kerjaku. Uang yang aku sodorkan padanya, sama sekali tidak ia lirik. Mbak Sri keluar begitu saja dari kamarku dengan jalan sedikit kepayahan. Apa yang terjadi dengan Mbak Sri? Kenapa jalannya susah? Perasaan yang di video tadi gak papa perempuannya. Apa yang sudah aku lakukan? Aku sampai menepuk pipi ini cukup keras untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. Sakit sekali, ternyata aku tidak mimpi. Keperjaka4n yang aku pertahankan dan ingin aku berikan pada istriku kelak, kini harus rela aku berikan pada ART yang sudah bersuami pula dan itu semua karena hasutan s3tan. *** Hari pernikahan yang dinantikan pun semakin dekat. Sesekali aku mencuri pandang jika Mbak Sri mondar-mandir disuruh ini dan itu oleh mamaku. Wanita itu biasa saja. Sepertinya sama sekali tidak mengingat apa yang sudah kami lakukan waktu itu. Lebih tepatnya aku yang memaksa. Sri sempat marah, tetapi karena aku paksa dan aku ancam, Sri akhirnya menurut. "Ke mana, Sri?" "Lagi masuk angin kayaknya. Dari pagi muntah-muntah." "Kecapean kayaknya yang semalam habis acara pengajian. Tapi udah Mama suruh minum obat." "Ya udah, Ma, gak usah diganggu dulu. Sri orang yang paling capek di rumah ini karena dia sendiri yang kerjakan." Aku mendengar percakapan antara mama, papa, dan juga tante Erin; adik dari mama yang sejak semalam menginap di rumahku. Pantas saja hari ini aku tidak melihat mbak Sri, rupanya lagi sakit. Calon Istri Sayang, aku gak bisa tidur nih. Kamu lagi apa? Aku membaca pesan dari Mayang; wanita yang besok akan menjadi istriku. Seorang wanita cerdas yang berprofesi sebagai dokter anak. Sama, Yank, aku juga gak bisa tidur. Rasanya pengen langsung besok pagi aja he he he... tapi kamu jangan capek-capek ya, usahakan tidur aja walau harus dipaksa. Aku terus berkirim pesan pada Mayang hingga akhirnya aku tertidur. Pagi hari, semua sibuk dengan acara pernikahan. Tim MUA yang merias ku sudah datang sejak jam empat subuh. Jam tujuh pagi, semua sudah rapi dan langsung berangkat. Pengantinku cantik sekali. Mayang menggunakan kebaya putih dengan siger khas Sunda yang dipakai sangat pas di kepalanya. Ekor baju kebaya itu nampak manis dan indah terlihat di mata saat Mayang berjalan mendekat ke arahku. Ijab qabul baru saja aku lafadzkan, setelah itu barulah Mayang menghampiriku dengan didampingi oleh dua bridesmaid yang aku tahu, keduanya adalah teman dokternya Mayang. Aku senang sekali karena berhasil mempersunting Mayang setelah sejak SMA kami berpacaran. "Kamu cantik sekali, Sayang." "Makasih, Sayang." Aku mengecup punggung tangan istriku. Kami menerima ucapan selamat dan doa dari tamu silih berganti. Acara akad dilaksanakan di Masjid At-tin Taman Mini. Dilanjut dengan acara resepsi yang berada masih di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Kami pun akan langsung pergi berbulan madu ke Bali di malam hari setelah urusan pernikahan selesai. Mayang mendapatkan sponsor pernikahan dari salah satu petinggi rumah sakit tempat Mayang bertugas. "Kalau capek, kita cancel tiket aja. Biar besok perginya," kataku saat melihat Mayang kelelahan. Istriku itu, masih menerima konsultasi pasien, padahal sudah cuti dari rumah sakit. "Jangan, Sayang, biar capeknya sekalian tuntas, Yank. Kita langsung aja." Aku mengangguk. Kami makan di ruang ganti karena pakaian harus segera dibawa lagi oleh tim salon menyewakan pakaian pernikahan kami. "Lagian kalau cape, sekarang udah ada suami yang mijitin aku," kata Mayang sambil mengusap pipiku dengan lembut. "Siap, Sayang. Jangankan mijit, yang lain juga aku siap." Kami berdua tertawa cekikikan. "Jadi kalian langsung ke bandara?" tanya mama mertua yang tiba-tiba menghampiri kami. "Iya, Ma, biar sekalian capeknya," jawab Mayang. "Syukurlah kalau begitu. Besok baru istirahat ya, David. Itu juga kalau bisa," sahut papa mertua yang ikutan nimbrung. "Pa, nanti minta tolong Robi anter Mbak Sri ke dokter aja. Makin parah katanya sakitnya." Aku langsung merasa tidak enak hati mendengar Mbak Sri sakit. "Sakit apa pembantunya, Mbak?" tanya mama mertua pada mamaku. "Muntah-muntah." "Hamil kali. Sri ada suaminya'kan?" Perutku langsung terasa mulas. Syukurlah kalau mbak Sri hamil, berarti anak suaminya. "Hamil gimana, wong suaminya udah lama meninggal. Sri itu janda, Mbak Nin. Malah denger-denger, suaminya meninggal persis setelah ijab qabul. Jadi Sri itu masing ting ting!" "Apa, mbak Sri janda ting-ting? Aku merasa pandanganku menggelap. BersambungSomay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata