"Naila salim dulu sama Ibu," ucap Mas Rasyid pada Naila. Ia hendak pulang untuk mengantar Naila ke tempat Ibu. Sebenarnya aku ingin Naila tetap di sini bersamaku, demi sebuah rencana yang ada di pikiranku. Tetapi Mas Rasyid bersikeras untuk membawa Naila pulang.Wajah Naila tampak berat untuk pergi setelah mendengar perdebatan aku dan Mas Rasyid barusan. Perubahan yang terlihat di wajahnya itu seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya."Besok kan Naila bisa ke sini lagi sama nenek setelah pulang sekolah. Sekarang Naila pulang dulu," rayu Aisyah. Ia merangkul bahu Naila untuk dituntun ke arahku."Benar ya, Yah, besok Naila boleh ke sini lagi? Naila tidak mau jauh-jauh dari Ibu. Naila mau nungguin Ibu," ucap Naila dengan suara berat sambil menatap Mas Rasyid dengan pandangan memohon."Boleh, Sayang. Besok kan kamu harus sekolah, kalau besok pagi berangkat dari sini Ayah bisa terlambat." Mas Rasyid menimpali.Mendengar penjelasan ayahnya, Naila tak lagi menyangkal. Ia tak berani
"Mbak, Mbak Nita," panggil seseorang yang seketika membuatku tersadar dari buruknya mimpi.Mataku mengerjap mencari Naila di sisiku. Seketika aku mengangkat badan untuk mencari keberadaan putriku itu."Dimana Naila?" ucapku panik. "Tadi dia badannya panas sekali," racauku lagi sambil mengitari sekeliling dengan dua ekor mataku.Dahi Aisyah mengernyit. Ia menatapku keheranan. Kemudian mengambil segelas air yang ada di atas nakas dan diulurkannya padaku."Minum dulu, Mbak. Mbak pasti mimpi buruk tadi," ucap Aisyah lagi. Ia mengamatiku yang sedang meneguk air dalam gelas pemberiannya dengan sabar.Usai menelan separuh air dalam gelas itu, barulah aku sadar sepenuhnya bahwa itu hanyalah mimpi. Tetapi mimpi itu terasa nyata dan seperti bukan mimpi. Lalu, apakah aku akan memaksakan diri pergi dengan kondisi seperti ini? Bagaimana jika apa yang kualami dalam mimpi tadi terjadi di dunia nyata? Kepalaku menunduk seketika. Bahuku jatuh seiring dengan helaan napas panjang dan dalam yang keluar
Aku berjalan menyusuri jalan raya yang padat menuju sebuah alamat. Dengan dada berkecamuk aku mempercepat langkah untuk bisa segera menghadap orang yang kumaksud. Bibirku sudah tidak sabar untuk mengungkapkan apa yang mengganjal di pikiran.Sambil berjalan, kepalaku kembali mengingat pembicaraanku dengan Ibu kemarin."Ibu mendukungmu. Ibu juga tidak habis pikir dengan mereka sampai meminta Naila memanggilnya dengan sebutan bunda. Apa-apaan itu!""Ibu tahu kalau itu mereka yang minta?" tanyaku kaget."Ibu tanya Naila sendiri. Dia bilang itu permintaan Aisyah atas persetujuan Rasyid. Menerima juga tidak begitu caranya. Dengan kamu memperlakukan dia secara baik saja sebenarnya itu sudah cukup. Ngga perlu meminta Naila memanggilnya dengan bunda!" kesal Ibu.Aku tertegun. Bagaimana bisa Mas Rasyid bersikap demikian dengan Naila. Dimana akal sehatnya?"Lalu bagaimana dengan respon Naila saat Ibu bertanya hal itu? Apa dia juga menerima?""Ngomong apa kamu! Ya nangis!" jawab Ibu kesal. "Rasan
"Apa yang kamu pikirkan, Dek! Mas kan sudah bilang untuk tidak membawa masalah ini kepihak sekolah! Ini bisa merusak semuanya! Mengapa tidak kau pikirkan ucapnku tempo hari?!" sungut Mas Rasyid dengan kilatan amarah di dalam kelopak matanya.Aku terdiam tak menjawab. Mataku hanya sibuk menikmati kilatan amarah yang tertuju padaku itu. kugigit bibirku bagian bawah, betapa luapan amarah di depanku ini demi melindungi wanita itu dari apa yang sudah kupinta pada kepala sekolah. Mas Rasyid bahkan lupa bahwa aku juga tersakiti atas apa yang mereka perbuat padaku. Astagfirullah."Aisyah kena sanksi gara-gara aduan kamu ke kepala sekolah. Dia sedih bukan kepalang. Mengapa tidak kamu pikirkan dahulu dampak dan akibatnya sebelum mengadu?""Astagaaa!!!" sungutnya keras sambil meraup wajahnya dengan kasar. Sesekali mata yang penuh kilatan amarah itu menatapku dengan tajam lalu kembali melengos.Sementara aku, tanganku mencengkeram ujung blouse yang kukenakan. Rasanya lelah untuk meladeni Mas Ras
"Kenapa, Nak? Mengapa menangis? Siapa yang menyakitimu?" tanyaku panik. Aku membalas pelukannya lalu mengusap punggung gadis kecilku dengan lembut. Kurasakan jantungnya berdebar kencang sekali hingga menyalur ke dadaku. Ini membuatku makin merasa bersalah. Melihat bahu Naila yang bergerak tak beraturan membuatku urung meminta penjelasan. Terpaksa kubiarkan ia menyelesaikan tangisnya dulu hingga napasnya kembali seperti biasa."Katakan pada Ibu, apa yang membuat Naila sedih? Siapa yang menyakiti Naila?" tanyaku saat Naila sudah tenang. Napasnya kembali normal."Sudah cukup Ibu berbuat baik pada Ayah. Naila ngga mau punya ayah lagi! Naila marah sama ayah! Naila benci ayah!""Hei, Sayang. Tenang dulu. Ada apa dengan ayah? Ayah baik kok. Ayah sayang sama Naila." Aku berusaha membujuk Naila."Tidak Ibu! Ayah jahat!" teriak Naila dalam tangisnya."Ayah baik, Nak. Ayah sayang sama Naila!""Ayah jahat sama Naila." Naila kembali terisak. Hatinya seperti terdapat sebuah gumpalan amarah tentan
Seorang petugas menjelaskan aturan untuk menjadi reseller dari produk yang mereka hasilkan. Ada berbagai keuntungan yang didapatkan jika bergabung menjadi bagian dari tim mereka. diantaranya mendapatkan bonus yang menarik juga akan dihadiahi logam mulia jika bisa mencapai target tertentu. "Bagaimana, Bu?" tanya si mbak itu. Setelah menjelaskan banyak hal tentunya si mbak karyawan mengharapkan kesediaanku bergabung bersama mereka tapi aku harus kembali berpikir untuk ini semua."Saya tidak bisa memberikan keputusan sekarang. Saya juga minta waktu untuk berpikir dengan matang sebelum benar-benar bergabung besama tim ini.""Baiklah, Bu. Tidak apa-apa. Semua memang harus berdasarkan pertimbangan yang matang. Tapi kalau untuk sekedar bergabung bersama tim di grup silahkan saja. Silahkan isi nomor ponselnya di sini nanti akan dimasukkan grup."Aku menggeleng. "Baik, Mbak saya isi. Tapi untuk dimasukkan ke grup nanti saja jika saya sudah memutuskan untuk benar-benar bergabung saya akan meng
"Bagaimana dengan Naila jika saya menerima tawaran itu, Bu? Ah Anita asal menjawab, lupa ngga berpikir jauh sebelum mengiyakan." Aku mendesah. Antara butuh tapi juga ada Naila di sisi yang menjadi pertimbangan."Ngapain kok kamu pusing. Naila sudah besar, sudah kelas enam. Bisa apa-apa sendiri. Kamu tinggal masak terus kasih jatah jajan baru bisa ditinggal kerja. Kalau ada apa-apa biar ke sini, nemenin ibu.""Beneran boleh, Bu?" sahutku senang."Ya boleh, to. Gimanapun Naila juga cucuku. Bagaimana pun kelakuan Rasyid padamu, Ibu harap tidak memutus hubungan ibu denganmu atau ibu dengan Naila."Aku menatap wajah Ibu dengan mata menghangat. Lagi-lagi terbersit rasa bersalah dalam diriku. Sungguh ini pelajaran buatku, sebelum berbicara banyak jangan menjudge orang lain dengan sangkaan yang belum tentu benar adanya.Usai berbicara banyak dengan ibu, aku kembali pulang ke rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran yang terasa menyita waktu dan hatiku. Alhamdulillah, satu persatu masalah mul
Khadijah menatapku dengan pandangan penuh tanya. Bibirnya mengatup rapat menunggu aku menjawab pertanyaannya."Pak Hamid?" dahiku mengernyit. "Pak Hamid siapa?" Aku tak paham siapa yang dia maksud. Tidak ada orang bernama Hamid di sekitarku."Pak Hamid Karzai." Khadijah menjawab dengan tegas. Ada nada kesal dari suaranya itu.Kepalaku kembali berpikir, lalu sinyal-sinyal dalam kepalaku saling menyahut. "Pak Hamid Karzai yang jadi kepala sekolah?"Khadijah mengangguk. "Iya. Mengapa dia seantusias itu meminta kami untuk menerima kamu di sini, sementara kamu tidak pandai mengoperasikan mesin besar ini." Tangan Khadijah menunjuk mesin di depan kami."Ini konveksi besar, yang butuh tenaga ahli untuk bisa mengoperasikannya. Minimal kerja di sini duah lihai pegang mesin jahit. Lah kamu?" Aku mengalihkan pandangan dari wajah Khadijah, kemudian mataku melihat ujung jarum yang menancap di bagian depan mesin jahit ini. Mengapa tanya demikian, aku juga tak tahu jawabannya.Kepalaku kembali mengi