“Pilar benar lima belas tahun bukan sih? jangan-jangan kamu lupa umurnya?” Rachel bertanya seraya memberikan segelas air minum pada Gayatri yang baru selesai bercerita mengenai percakapan luar biasanya dengan Pilar. “Kamu memang ada gila-gilanya. Mana mungkin aku lupa kapan anak aku lahir, mulesnya saja dua hari dua malam,” sembur Gayatri tanpa ampun. Rachel meringis geli akan amukan amarah dari sahabatnya, ia kembali mendesah panjang seraya menjatuhkan badan di samping Gayatri yang memeluk bantal sepanjang bercerita. “Soalnya agak seram ya cara berpikir Pilar melampaui orang dewasa, kok bisa dia mencerca kamu sampai segitunya. Tahu sih dia membela papanya, tapi dari cara dia tanya sama kamu itu ... kaya who is she? She is not 15. Apa mungkin bapaknya yang mengajari bicara seperti itu?” Rachel memberikan praduganya mengenai cara berpikir Pilar yang menurutnya tidak akan terjadi pada gadis seusianya. “Mungkin
Gayatri masih membeku sekujur badannya akan sebuah keajaiban yang terjadi belum lama setelah ia terbangun dari ketidaksadarannya. Tangis pelan dari Pilar bahkan tidak bisa membuatnya sadar dengan wajah syoknya. Rachel langsung menarik tangan berbalut infus Gayatri untuk membalas pelukan Pilar, pada awalnya terasa amat kaku sampai beberapa detik kemudian senyuman Gayatri terlukis indah dengan mata basah. “Maafkan aku, Ma,” lirih Pilar dengan suara pelan. “Kamu tidak salah Sayang, kamu tidak salah. Aku yang salah,” jawab Gayatri parau. Mama dan putrinya tersebut saling berpelukan erat dengan diiringi sedu sedan tangisan keduanya, Gayatri yang menghujani Pilar dengan ucapan terima kasih dan kecupan dalam bertubi-tubi pada kepala dalam pelukan. Pilar yang memeluk hingga meremas baju rawat Gayatri pada bagian punggung tidak lagi mengeluarkan suaranya. Menenggelamkan wajah pada ceruk leher Gayatri. Rachel sendiri m
“Pulang ya, besok kamu sekolah.” Eliot membelai kepala Pilar. “Mama sama siapa yang jaga?” Pilar bertanya dengan telapak tangannya yang masih digenggam Gayatri. “Aku sama tante Rachel. Nanti ke sini lagi, sedang ambil baju ganti. Kamu pulang saja sudah sore,” tutur Gayatri lembut. Pilar mengangguk kecil, usai kejadian mengagetkan lataran Pilar mengigau dengan sangat kencang cenderung menjerit histeris. Eliot langsung berlari ke ranjang Pilar untuk membangunkannya, begitu matanya terbuka, pandangan itu membeliak menyusuri setiap sudut ruangan. Bila biasanya ketika Pilar mengigau dan terbangun akan memeluk sang papa yang berusaha menyadarkannya, lain cerita sekarang. Eliot masih membelai lembut wajah Pilar yang matanya masih melirik kanan kiri tidak beraturan. Ketika netra keabuan itu melihat paras cemas Gayatri, sontak ia langsung mendorong dada Eliot dan turun dari ranjang untuk kemudian berlari menyongsong
Gayatri dan Rachel tengah mendengarkan penjelasan Diretur dalam agensi tempat mereka bekerja. Sudah melakukan penyelidikan sampai pemutaran cctv dari dapur restoran hingga diambil kurir. Tidak ada kejanggalan, masalahnya sekarang ada di kurir tersebut yang ternyata tidak terdeteksi oleh naungan ojek online. Menjadikan buntu, agensi memutuskan melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib. “Kamu jangan cemas, kita akan usut sampai tuntas ya. Itu sudah termasuk rencana pembunuhan, kamu cukup istirahat sampai benar-benar pulih. Untuk pekerjaan kamu yang sekarang, kalau kamu cuti dulu maka akan saya ajukan penggantian model. Saya rasa bapak Eliot mengerti dengan keadaan ini,” papar atasan Gayatri dan Rachel. “Ada kemungkinan orang agensi enggak sih, Pak?” tanya Rachel menyeletuk setelah dari tadi hanya mendengarkan. “Maksud kamu, kamu mencurigai ada orang agensi yang berniat meracuni Gayatri?” tanya sang atasan.
“Mama,” panggil Pilar begitu memasuki kamar rawat Gayatri. Di belakang Pilar ada Eliot yang mengenakan kemeja dengan lengan digulung dan celana khaki. Terlihat jauh lebih santai dengan rambut tanpa gel seperti hari biasa kerja. “Kenapa ke sini?” tanya Gayatri. “Mau jemput pulang tentu saja, hai Tante Rachel.” Pilar memeluk Gayatri yang sedang merapikan sisa barangnya ke dalam tas dan tangannya melambai pada Gayatri yang sedang melipat selimut. “Hai Sayang, bagaimana rasanya berjabat tangan dengan bapak Presiden kita? kamu sungguh hebat, Tante iri.” Rachel mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Pilar yang langsung menggenggam tangannya. Perseteruan antara Rachel dan putri Gayatri sudah berakhir kala Pilar mendatangi Rachel dan meminta maaf karena pernah berkata kasar dan tidak sopan dengan berteriak-teriak. Rachel sebagai orang dewasa yang tahu pasti alasan si gadis remaja dengan senyuman
“Makan dulu ya, aku sudah buatkan makanan,” pinta Gayatri pada Pilar yang sudah bangun dan mencuci mukanya. “Mama memasak?” Pilar melongo kaget mendengarnya.Gayatri mengangguk dengan tersenyum. “Aku bisa memasak, tapi hampir sepuluh tahun terakhir enggak dipakai. Ajak papa kamu makan juga sebelum kalian pulang.” Pilar mengangguk keluar beriringan dengan Gayatri yang mengenakan terusan semata kaki pakaian santainya ketika di rumah ditambah kakinya yang menyentuh langsung lantai pualam. Gayatri terbiasa tidak memakai alas kaki selama di rumah. Eliot sendiri menyetujui karena Pilar yang meminta ditemani makan di rumah yang baru pertama kali mereka masuki. Terlihat di meja makan terhidang makanan sederhana, Gayatri belum sanggup memasak lebih banyak karena kakinya entah mengapa cepat lelah berdiri selama memasak. “Hanya ini yang aku bisa buatkan, doyan?” tanya Gayatri pada Pilar. “Aku doyan apa
“Minum dulu.” Gayatri memberikan segelas air minum pada Pilar setelah menariknya masuk ke dalam rumah. Pilar menuruti, minum dengan wajah memerah meskipun air matanya sudah kering. Rachel sendiri masih berada si sana syok bukan karena mendengar aduan Pilar tentang papanya. Tapi syok bagaimana seorang remaja bisa menangis tersedu-sedu mengadu pada mamanya bahwa ia tidak ingin papanya menikah namun ia takut mengutarakan pada papanya sendiri. “Tarik nafas dulu pelan-pelan ... kalau sudah lega bar cerita lagi.” Gayatri membelai paras pucat Pilar. Gayatri menerima pesan singkat dari Eliot saat mengambil air minum, Eliot menitipkan Pilar sebentar padanya karena ia harus mengantar Risa ke bandara dan Pilar enggan ikut dengan mengatakan ia cepek seharian di luar bersama mereka. “Yang bilang papa kamu?” tanya Gayatri setelah melihat Pilar jauh lebih tenang. “Enggak ... tapi tante Risa,” jawab Pilar.
“Aku mau menginap tempat mama,” papar Pilar. “Boleh, setelah kita bicara.” Eliot menjawab tegas. Gayatri mengangguk memandang Pilar yang duduk di jok belakang mobil Eliot. Gayatri diantar kembali pulang ke rumah sementara Eliot membawa pulang Pilar dan siap memberikan interogasi pada anaknya. Gayatri di kamarnya menghela nafas panjang, untuk pertama kalinya sang putri menunjukkan pemberontakan di usia remaja dan masalahnya tidak mudah. Gayatri tidak dapat tidur selama menunggu kabar dari Pilar, apakah akan menginap atau tidak jadi dan bagaimana hasil pembicaraan dengan papanya. Pukul sebelas malam baru ponselnya berdering, panggilan video call dari Pilar. Begitu diangkat ternyata Pilar sedang berbaring miring memeluk bantal guling di depan layar ponselnya dengan rambut tergerai di bantal. “Yah enggak jadi tidur sama-sama kita?” Gayatri mengatakannya dengan senyuman lebar, membaringkan badan juga di atas ra