Eliot menuju restoran tempat Pilar mengalami alerginya, Eliot meminta diputarkan cctv. Pihak restoran sudah meminta maaf padanya dan mengatakan mereka sungguh tidak tahu jika putrinya mempunyai alergi almond karena tidak bilang. Eliot tidak mempermasalahkan itu karena memang Pilar yang teledor kali ini. “Saya yang melihat sendiri kalau mulut putri bapak di masuki jari ibu Gayatri sampai beberapa kali Pak, memang muntah banyak sekali baru dibawa ke rumah sakit,” terang seorang waiter yang membantu mengangkat Pilar ke taksi serta menemani Eliot menyaksikan cctv. “Iya Mas terima kasih ya sudah membantu anak saya, dia sudah jauh lebih baik sekarang sedang pemulihan. Sudah bayar belum ya makanan anak saya, maaf sudah dua hari saya baru ke sini karena saya menemani anak saya dulu,” papar Eliot. “Iya sama-sama Pak, kami semua juga sangat panik lihat putri Bapak kesusahan nafas. Semuanya sudah dibayar ibu Gayatri. Ibu Gayatri juga
“Boleh tentu saja. mau bicara di sini? Kamu sudah sehat?” Gayatri memberikan senyuman hangat.Pilar mengangguk. “Sudah sehat, di tempat lain saja. Aku pakai mobil ini, bertemu di tempat restoran depan saja.” “Baiklah. Silakan jalan dulu, aku akan mengikuti,” jawab Gayatri. Gayatri berdebar-debar saat duduk berhadapan dengan Pilar yang masih mengenakan seragam sekolah namun berbalut sweater putih. Ia takut apa yang akan Pilar katakan adalah memintanya kembali jangan memperlihatkan wajahnya. “Baru pulang sekolah? cari apa di Mall?” Gayatri memilih mendahului memecah hening kala melihat Pilar tidak juga bicara. “Iya belanja sebentar karena bahan makan mulai habis, aku langsung saja. Aku mau bilang terima kasih sudah menolong pas di Bali, aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Sama tante Rachel juga tolong sampaikan terima kasih. Aku mau mengatakan itu saja,” tutur Pilar dengan berani memandang wajah Gayatri
“Aku sudah melihat kejadian yang sebenarnya di restoran itu,” tutur Eliot akhirnya memutuskan ia akan berbicara di dalam mobil di tepi jalan. Eliot bukan tidak bisa menemui Gayatri selepas terbang kembali ke Jakarta, ia hanya sangat disibukkan pekerjaan. Dan ada secuil rasa malu karena menuduh Gayatri berbuat jahat pada Pilar. Karena kebenciannya pada Gayatri seolah sudah mendarah daging. “Saat Pilar alergi?” tegas Gayatri. “Iya, untuk semua tuduhan aku, aku minta maaf. Harusnya sepanik apa pun aku tidak langsung menuduh kamu seperti itu. Aku sangat ketakutan saat mendengar Pilar mengalami alergi itu,” jelas Eliot. “Kamu pikir aku tidak panik? Aku tidak ketakutan? Sekujur badan aku menggigil ketakutan saat membuatnya muntah ... tapi memang pada dasarnya kamu sudah menilai aku jelek jadi apa pun yang aku lakukan sudah pasti salah di mata kamu. Aku memang punya banyak sekali dosa pada kalian. Tapi tidak ada ni
“Ok thanks, Babe.” Ucapan tersebut dikatakan oleh seorang fotografer yang memotret Gayatri hari itu di sebuah galeri besar di salah satu sudut kota metropolitan. “Sama-sama Briel, aku ganti dulu ya. Nanti aku mau lihat, sepertinya hari ini aku sangat cantik,” kekeh Gayatri berkelakar pada sang fotografer wanita yang langsung melepas tawa dengan mengatakan ia memang sudah cantik bahkan tanpa pengeditan sekalipun. “Kamu menang lotre?” bisik Rachel saat membuntuti Gayatri ke ruang ganti guna membantu melepas baju dengan harga menggila milik sebuah butik besar yang menunjuk Gayatri sebagai model, agar tidak ada yang rusak tidak sengaja walau sedikit saja jika Gayatri melepas sendirian. “Lotre? Aku enggak main begitu, kalau mau main ke kasino langsung di Tokyo sana,” kekeh Gayatri tidak habis pikir dengan pertanyaan managernya. Rachel membantu melepas kancing-kancing mini di sepanjang tulang punggung Gayatri deng
“Senyum-senyum terus dapat chat cinta dari siapa?” tanya seorang fotografer pada Gayatri saat tengah istirahat mengganti setting background pemotretan mereka. “Tahu saja aku dapat chat cinta, dari rahasia,” jawab Gayatri dengan kekeh kecil. “Wow bau-bau sebar undangan ini,” ledek sang fotografer. Gayatri tertawa geli tanpa memberikan jawaban pasti, ia tidak akan mengumbar kehidupan pribadinya dengan siapapun terkecuali Rachel. Sudah satu minggu semenjak pertemuannya dengan Pilar, ia menerima chat sekali dalam sehari dan selalu pukul tiga tepat. Sepertinya itu jam pulang sekolah putrinya. “Gayatri, katanya sepulang pemotretan kita diminta ke kantor dulu. Satu jam lagi selesai kan ya?” Rachel menghampiri dengan mengangsurkan ponsel sang model. “Ada apa? aku ingin berendam padahal,” desah Gayatri. Rachel mengedikan bahunya karena hanya itu pesan yang ia terima dari agensi. Gayat
“Tidak bisa yang lain saja Chel?” tanya Gayatri. “Kamu yakin mau menolak? kita enggak akan bersinggungan dengan Eliot. Kalau kemarin kan kemari karena asistennya sakit. Dia terlalu sibuk untuk menunggui model foto. Tapi kalau memang kamu tidak bisa fokus, aku akan membuat drama sebagai alasannya.” Rachel menyeringai lebar di akhir kalimat. Gayatri diam sejenak, ia bukan lagi mengejar harta jadi misalpun ia melepas kerja sama tersebut, bukan masalah baginya. Namun ia adalah seorang profesional, harusnya ia bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada masa lalu di antara ia dan Eliot. “Ok baik, aku akan terima. Kontraknya sudah ada di tangan kamu?” tanya Gayatri. Rachel tersenyum, ia yakin Gayatri bukan orang yang mencampur adukan pekerjaan dengan masalah pribadi. Ia sangat tahu bagaimana semangat Gayatri untuk mencapai posisi saat ini. setelah kesepakatan terjadi, rencana pelaksanaan akan segera terjadi. Gayatri memb
“Aku dipanggil ke ruangan Direktur utama? Ada apa?” Gayatri kaget ketika dihampiri seorang laki-laki berpakaian rapi mengenakan jas hitam dengan pantofel hitam mengilat, mengenalkan diri sebagai asisten sang Direktur. “Benar Ibu Gayatri sama ibu Rachel, saya yang akan membantu mengurus kehilangan Ibu tadi pagi. Tapi sebelumnya Pak Eliot ingin mengetahui kejadian rincinya karena terjadi di lingkungan kantor beliau,” terang sang asisten. “Oh masalah itu, baiklah.” Gayatri mengangguk menyetujui, ia dan Rachel mengikuti langkah asisten Eliot menuju ruangan di mana ia dipanggil. Rachel menelusuri matanya pada ruangan besar dengan kaca-kaca besar, tidak banyak barang di sana. Hanya ada satu set sofa kulit coklat tua untuk menerima tahu dan satu set meja kerja hitam polos lengkap dengan kursi besar berputarnya. Ketika mereka dipersilakan masuk, Eliot tengah menerima panggilan telepon dan dengan isyaratnya meminta para tamunya dud
“Hallo ... hallo,” panggil Pilar. “Hai Pilar ... ini aku tante Rachel.” Rachel akhirnya yang bersuara setelah menyentuh icon pengeras suara karena Gayatri masih belum bereaksi saking kagetnya. “Oh tante Rachel, ada apa tante?” Pilar bertanya pelan. “Ini mama kamu mau tanya, apa kamu ada waktu luang untuk bertemu?” Pertanyaan Rachel membuat Gayatri semakin melebarkan mata dengan mencubit lengan sahabatnya yang sangat usil itu. “Tanya apa?” tanya Pilar. Gayatri mematikan icon pengeras suara dan menempelkan ponsel ke telinga sebelum Rachel bicara macam-macam. “Hallo Pilar maaf tadi tante Rachel bercanda. Kamu sudah pulang les?” Gayatri memutar percakapan dengan halus. “Kok tahu aku sedang les?” Pilar bertanya balik. Gayatri menunduk menyesal karena pertanyaannya justru memancing curiga bagi Pilar. Sedangkan di sampingnya, Rachel justru terkekeh mel