Lelaki berseragam putih itu membenarkan jasnya yang sudah rapi guna melihat expresi wanita di depannya yang tengah menunggu kalimat yang terlontar dari bibirnya. Ada rasa tak tega, namun wanita di hadapannya berhak tahu tentang kondisi putrinya.
"Sebenarnya, Celin mengalami penyumbatan usus dan itu harus dilakukan operasi," tutur Dokter Reyhan.Mendengar kata operasi seketika tubuh Mira menegang, ketakutan yang ia rasakan kini dialami oleh putri kandungnya sendiri. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya Celine saat perutnya harus di sayat- sayat. Andai bisa meminta, dirinya akan meminta rasa sakit itu biar ia saja yang merasakannya."Apa tidak ada jalan lain selain operasi, Dok??" tanya Mira dengan lirih. Hatinya yang rapuh kini terasa hancur lebur saat mendapat kenyataan sang buah hati harus menjalani operasi."Bisa Bu, dengan pengobatan yang rutin dan pola hidup yang sehat bisa membantu memulihkan luka tersebut. Tetapi kapan waktu sembuh itu saya tidak bisa menentukan, karena kesembuhan hanya milik sang kuasa," jawab Dokter Reyhan menjelaskan."Jangan dioperasi ya, Dok. Saya sebagai Bundanya tidak tega, saya akan mengikuti saran dokter yang ke dua saja. Melakukan pengobatan yang rutin," balas Mira merasa lega, merasa ada jalan lain selain hal menakutkan itu, yaitu operasi."Baiklah kalau itu yang Ibu mau, biarkan Celine di rawat beberapa hari dulu. Saya akan memantau perkembangannya," ujar sang dokter itu dan ia segera pamit meninggalkan Mira.Setelah kepergian dokter Reyhan, Mira masuk ke dalam ruangan Celin. Ia melihat Celin sedang tidur begitu lelap, wajah polos nan cantik itu terlihat sangat pucat."Maafkan Bunda, Sayang. Bunda tidak bisa menjagamu dengan baik, sungguh nenekmu tidak punya hati membiarkan kamu harus merasakan sakit seperti ini," ujar Mira lantas mengecup kening Celin. Ia menyalahkan Bu Fatma sebagai dalang sakitnya Celine, karena penyumbatan usus itu terjadi akibat pijatan yang salah.Tak terasa hari sudah beranjak malam, lagi-lagi Mira melewatkan makan siangnya. Perut Mira rasanya perih, mungkin saja bayinya kelaparan akhirnya ia memutuskan keluar sebentar dan meminta suster untuk menjaga Celine.Mira membeli buah, nasi, dan kouta internet. Ia membeli itu semua hasil dari nuyul uang Irfan di dalam sepatunya. Mau bagaimana lagi ia tak punya uang sepersen pun kecuali itu. Jadi ia terpaksa memakainya karena memang tak ada uang lain lagi selain itu.Setelah mendapat apa yang ia cari, Mira segera kembali ke ruangan Celine, dan memilih makan di sana. Setelah selesai makan dirinya segera membuka handphone selama Celine masih tertidur.Amira segera membuka aplikasi whattsap dan mencari nama kontak Irfan, tetapi sebelum mencari nama itu entah kenapa jarinya reflek mengeklik kata status, saat ia mengamati ternyata ada statusnya Irfan.Mira langsung klik status itu kini terbukalah sebuah foto yang membuat dirinya syok dan tak percaya, di dalam foto itu seorang wanita cantik bergelayut manja di lengan suaminya dan mencium pipi Irfan.Apalagi caption yang ditulis, "Sayangku, semangatku"."Apa bang Irfan mendua, apa bang Irfan tega menodai pernikahan kami. Mungkin bang Irfan berfikir aku masih tak mempunyai paket data sehingga ia bisa leluasa membuat setatus tanpa takut aku mengetahuinya?" batin Mira menerka-nerka.Karena itu ia tak jadi menghubungi suaminya, ia sudah lelah dengan pernikahan yang di jalaninya. Amira membiarkan Irfan melakukan apa yang dia suka, dan tak akan melarangnya. Bila Irfan benar-benar menodai pernikahannya ia akan memilih mundur.***Hari ketiga Celin di rawat, Irfan baru datang muncul di rumah sakit bersama bu Fatma dan Putri. Wajah mereka nampak biasa saja tak sedikit pun terlihat kawatir.Saat datang bukannya bertanya baik-baik, justru cemoohan yang keluar dari mulut Bu Fatma, "Istri kamu ini ya Fan, bener- bener lebay. Anak cuma demam doang pakai dirawat di rumah sakit segala, memangnya di rumah sakit itu gratis apa?!" Oceh bu Fatma saat mereka baru saja masuk. Wanita paruh baya itu berjalan dengan angkuh di depan kedua anaknya, seolah-olah merasa dirinya bisa berkuasa."Kamu sudah nggak menganggap aku sebagai suamimu ya, Dek. Tiga hari enggak pulang dan enggak ngasih kabar, kalau aku enggak nyari kamu di puskesmas aku enggak bakal tahu kalau kamu ada di sini," kata Irfan ikut menyalahkan Mira. Ruangan yang di huni tiga ranjang pasien itu mendadak senyap dan hanya terdengar lengkingan makian Irfan beserta keluarganya yang menyudutkan Mira. Orang-orang yang menunggu pasien menatap tak suka ke arah Irfan dan Bu Fatma."Memangnya kamu punya duit buat bayar rumah sakit, Celine. Gaya-gayaan aja pakai berobat di rumah sakit segala. Makanya jadi istri tuh jangan suka mengadah doang sama suami biar kalau mau gaya-gayaan enggak minta sama suami," ucap Putri. Seperti biasa Wanita yang sama-sama angkuh itu merasa berkuasa dan bisa menindas Mira yang hanya bisa diam membisu tanpa pembelaan. Ia berkata dengan ketus seolah menunjukkan rasa kebenciannya dengan terang-terangan."Aku rasa, Mbak Putri, sedang menyindir dirinya sendiri, kamu enggak ngaca kalau suamimu pengangguran. Makan saja masih minta sama bang Irfan bisa- bisanya ngatain aku begitu, enggak malu?" balas Mira setelah dirinya hanya diam saja. Celin memeluk tubuh sang Bunda dengan erat. Mira bisa menilai bahwa Celin sedang takut dan trauma dengan Neneknya."Unda, atut...!" rengek Celin. Wajahnya tersirat ketakutan yang luar biasanya, bahkan wajahnya tak berani menatap sang Ayah."Enggak usah takut, Nenek cuma mau lihat kamu masih demam apa enggak," ujar bu Fatma. Ia tetap mendekat dan nekat menyentuh kening Celin membuat gadis kecil berusia tiga tahun itu memeluk sang Ibu semakin erat bahkan tubuhnya terasa gemetar di pelukan sang Ibu."Jangan sentuh anakku, 'Bu. Dia takut sama Ibu gara-gara kejadian itu," ungkap Mira. Ia dengan menepis tangan bu Fatma yang masih meraba-raba kening Celin.Wanita paruh baya dengan gaya rambut di sanggul dan tas seharga ratusan ribu melekat di tangganya itu menatap sinis ke arah sang menantu."Alah orang enggak sakit kok, badannya juga enggak demam. Kamunya aja yang lebay, Mir. Lagian Ibu kan sudah bilang kalau dipijat pasti sembuh kamu masih saja maksain dirawat di rumah sakit. Memangnya kamu punya duit buat bayar rumah sakit paling- paling juga minta putraku kan, makanya sakit tuh jangan dikit- dikit obat! kalau dipijat saja bisa sembuh ngapain harus susah- susah nelan obat dan bayar obat mahal-mahal." Bu Fatma begitu menggebu menceramahi sang menantu membuat kepala Mira terasa sangat pusing."Ibu tahu nggak? Kesalahan yang Ibu buat itu sangat fatal. Andai Ibu tidak memaksa Celin dipijat dia enggak akan sampai dirawat. Karena pijatan yang terlalu keras itu membuat usus Celine terluka, 'Bu. Bahkan sampai mau di operasi, coba Ibu bayangkan kalau sampai Celin di operasi apa Ibu nggak kasihan anak sekecil ini perutnya sudah di sayat-sayat dengan pisau bedah hanya karena masalah sepele yang Neneknya perbuat," balas Mira tak kalah emosi.Menantu dan mertua tak ada yang mau mengalah, Bu Fatma sempat terkejut saat menantu yang biasanya menurut dan hanya diam saat ia marahi kini berani menatapnya dengan tegas dan membalas ucapannya dengan panjang lebar. Bu Fatma segera mentralkan keterkejutannya dan mengadu pada Irfan."Lihatlah Irfan, istrimu bahkan sudah berani membantah Ibu dan justru menyalahkan Ibu yang sudah bersusah payah membantu mencarikan obat putrimu!" ucap bu Fatma menatap Mira begitu tajam. Seolah mereka sudah siap untuk berperang.Ceklek...Terdengar pintu di buka dari luar dan terlihatlah dokter yang menangani Celin dan dua perawat itu masuk."Permisi, waktunya memeriksa si cantik dulu," ujar dokter lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahunan dan berkacama mata itu membuyarkan perdebatan dan ketegangan di ruangan tersebut."Silakan, Dok." Amira mempersilakan tenaga medis itu memeriksa keadaan putrinya.Dokter Reyhan memeriksa keadaan Celin, satu perawat memeriksa selang infus dan satu perawat lainnya bertugas mencatat perkembangan kesehatan pada Celin."Keadaan Celin sudah membaik dan sudah boleh pulang, tetapi harus melakukan kontrol ya," ujar dokter itu setelah beberapa menit memeriksa keadaan Celin.Dokter Reyhan juga menjelaskan tentang penyakit Celin serta akibat adanya sakit itu membuat bu Fatma terdiam dan tak membalas sepatah kata pun."Baik Dok, terima kasih." Amira membalas sembari tersenyum ramah."Ya sudah kalau begitu kami permisi dulu, jangan lupa melunasi administrasinya dan menebus obatnya di apotik rumah sakit ya, 'Bu," ucap salah satu perawat sebelum meninggalkan ruangan Celin. Mira hanya membalas dengan anggukan dan senyuman.Bu Fatma dan kedua anaknya hanya terdiam menatap kepergian pekerja para medis membuat Mira merasa kalau suami dan keluarganya sudah terbuka pikirannya."Kalian dengar sendiri kan penjelasan dokter tadi, bukan aku yang lebay tapi karena kesalahan Ibu yang sangat fatal," ujar Mira. Ia memandang satu persatu manusia yang tak punya hati. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Ibu mertua dan kakak iparnya dengan comberan agar tak berkata seenaknya sedangkan bola mata Irfan terlihat jelas sedang berputar seperti malas menanggapi ucapan istrinya."Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me