Share

Hak Yang Terampas

Author: Sri_Eahyuni
last update Last Updated: 2024-05-08 13:58:36

"Dokter mah selalu begitu, kalau enggak pandai ngomong ya enggak bakalan dapat duit lah mereka, buktinya tuh nyuruh kamu melunasi pembayaran. Memangnya kamu punya duit," balas bu Fatma dengan ketus. Ia sama sekali tak merasa bersalah sedikit pun, di dalam hatinya ia merasa pendapatnya lah yang paling benar.

Amira tak membalas karena memang tak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakit, uang hasil nuyul pun tak mungkin cukup untuk menebusnya dan ia hanya berharap Irfan akan peka dengan tanggung jawabnya.

Amira memilih diam dan membereskan barang-barang Celin, ia tak membawa banyak barang bahkan dirinya hanya membeli satu setel baju ganti saja selama di rumah sakit.

"Enggak punya duit kan, lagi-lagi mengandalkan putraku! Kamu memang tak akan bisa apa-apa tanpa putraku. Makanya lain kali tuh jangan membangkang kalau di bilangin, nambah-nambahin beban saja kamu itu. Selama menjadi menantuku apa pernah kamu membahagiakan aku sebagai Ibu mertuamu, hah!. Yang ada justru merepotkan putraku dan menjadi beban hidupnya." Bu Fatma tak henti mencrocos.

Terdengar bisik-bisik negatif para penunggu pasien membuat Mira risih dan malu, tetapi Mira akan membuktikan kepada dirinya sendiri dan Bu Fatma kalau ia tidak akan pernah mau ditindas terus menerus. Dirinya berhak atas hidup Irfan dan berhak mendapat nafkah dari Irfan.

"Ibu tahu kan kalau aku istrinya bang Irfan, aku tanggung jawabnya bang Irfan ada masalah dan kejadian apapun itu tanggung jawab bang Irfan. Bukan menjadi bebannya, yang menjadi beban itu harusnya Ibu karena selalu meminta hakku secara paksa dari bang Irfan," sahut Amira dengan menahan dada yang bergemuruh. Ia sekuat tenaga menahan air mata agar tak tumpak dan berusaha payah menahan emosi agar tak meledak.

"Hak apa yang kamu maksud, aku Ibunya dan surga seorang suami itu ada pada ibunya sedangkan surga seorang istri ada pada suaminya. Jadi kamu sudah sepatutnya menurut apa yang Irfan suruh dan minta. Mau Irfan bagaimanapun kamu tak berhak melarangnya," ucap bu Fatma membuat Mira menggelengkan kepala.

_Surga suami memang ada pada Ibunya, dan surga istri ada pada suaminya. __Tetapi kunci surga suami ada pada istrinya, apabila selama hidupnya suami tidak pernah memuliakan istri , tidak membahagiakan istrinya apalagi tak pernah menafkahinya, maka ia tak berhak mencium bau surga._

"Selama ini aku sudah menurut dan menghargai bang Irfan sebagai suamiku. Tetapi apa dia pernah menghargaiku sebagai istri bahkan memberi nafkah saja tak layak...."

"Sudah diam kalian!! Jangan ada yang berdebat ini rumah sakit, aku akan melunasi adminitrasi biar kita bisa segera pulang. Aku tak bisa berlama-lama di sini karena tak tahan dengan bau obat. Ingat jangan ada yang berdebat lagi." Irfan memotong ucapan sang istri. Ia merasa prustasi melihat Amira yang biasanya hanya diam saat di caci kini sudah berani membantah ucapan Ibunya.

Irfan segera keluar dari ruangan Celin, sedangkan Putri hanya diam menyaksikan perdebatan Ibunya dan Amira. Ia tak percaya melihat adik iparnya bisa membantah sang Ibu tanpa gentar.

"Istrimu tuh yang mulai duluan," ucap bu Fatma dengan lirih tetapi masih sangat jelas terdengar di telinga Mira.

"Ibu kalau ke sini hanya membuat keributan ngapain tadi ke sini, mending enggak usah datang sekalian. Celin enggak butuh Ibu jenguk," balas Mira dengan lugas. Bu Fatma menoleh, raut wajahnya memerah menahan kesal.

"Ooh kamu sudah enggak butuh Ibu? Oke, berarti kamu juga enggak butuh Irfan. Menantu dan istri kayak kamu itu pantasnya di hepaskan ke laut saja enggak pantas di pelihara," ucap bu Fatma. Ia menatap menantunya dengan tajam seakan-akan ucapannya itu sebuah ancaman serius untuk Mira.

Amira tak mau memperpanjang perdebatan itu karena berdebat dengaan bu Fatma memang tak akan ada habisnya, ia akan selalu mencari pembelaan terus dan merasa dirinya yang paling benar. Sungguh mertua yang sangat egois.

Bila tak mengingat dirinya sedang mengandung tak sedang mengandung, rasanya Mira ingin menyerah menjadi istri seorang Irfan Setiawan yang begitu angkuh dan sombong seperti Ibunya.

Selang beberapa menit Irfan telah kembali dan membawa kantong plastik yang sudah bisa ditebak berisi obat untuk Celin, Mira memperhatikan wajah Irfan yang terlihat begitu kesal dan cemberut.

Lelaki berumur dua puluh tujuh tahun dan memiliki warna kulit sawo matang itu menatap sang istri dengan kesal dan masam.

"Lain kali enggak usah sok-sokan rawat inap segala ngabisin duit saja, masa cuma di rawat tiga hari sudah menghabiskan uang lima juta saja." Irfan melempar kresek itu ke arah sang istri.

"Kan sudah Ibu bilang, kalau istrimu itu lebay kerjaannya hanya ngabisin duit suami saja. Masih mending kalau cantik bisa di pamerin la ini sama babu aja masih cantik babu, apanya yang mau di banggain." Bu Fatma memang selalu mengompori putranya untuk membenci istrinya, sungguh Mira sangat muak.

Lagi dan lagi Mira hanya diam membisu dan segera menggendong Celin mengajaknya untuk pulang. Sebelum pulang ia menyempatkan diri untuk berpamitan dan meminta maaf kepada pasien dan keluarga pasien yang satu kamar dengannya atas keributan yang dibuat keluarga suaminya.

Orang-orang memaafkan, dan memberi support Mira untuk sabar dan harus berani melawan selama dirinya ada di jalan yang benar.

Amira keluar dari ruangan dengan mengendong Celin dan menenteng tas sendirian tanpa ada satupun yang berbasa-basi menawarkan bantuan untuknya.

Sesampai di parkiran ternyata Irfan membawa mobil hasil dari meminjam tetangga, bu Fatma duduk di samping Irfan sedangkan Amira duduk di jok kedua bersama Celin dan Putri.

"Fan, kalau kita punya mobil sendiri pasti enak ya, bisa jalan-jalan terus setiap hari enggak perlu kepanasan dan kehujanan. Gimana kalau kamu ambil kredit aja, Fan. Ibu kan juga pengin ngerasain punya mobil sendiri pengin healing juga, pasti teman-teman Ibu semakin segan sama ibu," ujar bu Fatma merayu putranya.

"Iya sudah bulan depan saja kita beli mobil nanti habis gajian Irfan bakal DP mobilnya," balas Irfan langsung setuju. Mira yang mendengar hanya memutar bola mata dengan malas sedangkan Putri dan bu Fatma menanggapi dengan tawa kegirangan.

Irfan benar- benar keterlaluan, di saat istrinya minta susu hamil yang harganya tak sampai seratus ribu saja keberatan, bahkan membayar biaya rumah sakit putrinya dilandasi dengan omelan. Tetapi saat ibunya minta mobil langsung di kabulkan.

******

Satu bulan telah berlalu Irfan benar-benar mengabulkan permintaan Ibunya membeli mobil dengan kredit. Bahkan mereka merencanakan jalan-jalan tanpa mengajak anak istrinya.

"Abang mau pergi ke mana?? Aku sama Celin boleh ikut nggak??" tanya Mira berbasa basi.

Hari minggu kerja Irfan libur, termasuk kedua adiknya yang masih sekolah. Pagi-pagi sekali mereka sudah rapi dan bersiap hendak berpergian.

Irfan tak segera menjawab ia memutar bolanya dengan malas, seakan-akan menjawab pertanyaan istrinya itu mengeluarkan duit yang tak sedikit.

"Kita mau pergi berlibur, apa kamu bilang tadi? Kamu mau ikut? Jangan mimpi deh, Dek. Kamu ngaca dulu deh pantas enggak kamu ikut dengan kami??" jawab Irfan. Ia segera bergegas melangkah keluar setelah dirinya selesai memakai sepatu.

Amira benar-benar sakit hati dengan kalimat yang keluar dari bibir Irfan, andai ia malu memiliki Mira sebagai istrinya kenapa enggak di lepaskan saja. Mira masih merasa takut saat berpisah dengan Irfan, lantas bagaimana dengan anak-anaknya pasti mereka akan kehilangan sosok ayah.

Amira mengintip dari kaca jendela, terlihat Putri beserta suami dan anaknya, Ibu mertuanya, dan kedua adik iparnya yang begitu bahagia saat akan masuk ke dalam mobil baru itu.

Siang harinya Mira kembali membuka hp, ia klik status dan terlihatlah status Putri dan Ibu mertuanya yang paling atas.

"Mobil baru suasana baru." Caption Bu Fatma berfoto di samping mobil.

Hati Mira merasa miris, saat sang suami liburan dan berfoya-foya dengan keluarganya tanpa mengajak dirinya. Hatinya yang luka terasa ditaburi satu ton garam, terasa perih saat melihat status Putri dengan wanita cantik yang di kenalkan sebagai calon adik iparnya. Tak terasa air mata Mira lolos dari tempatnya.

"Haruskah aku bertahan lagi?" batin Mira menjerit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Entina tiodora Sinaga
ga ada yg komen, kasihan kasihan kasihan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Part Ending

    "Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Ikatan Baru

    Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Amira Mendapat Cemoohan

    Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Cahaya Di Tengah Perjuangan

    Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Keputusan Di Senja Hari

    Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d

  • Setelah Tiga Tahun Berpisah    Dalam Dekapan Kebersamaan

    Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status