LOGINMargaret merasa sedih dan hampa setelah mendengar kabar yang Kalix sampaikan padanya tentang Maxim. Gadis itu tidak mampu berkata-kata lagi. Entah masalah apa yang kini harus Maxim selesaikan, sampai-sampai meninggalkan Margaret untuk waktu yang tidak diketahui siapapun dan menggagalkan rencana pernikahan mereka. Margaret merasa sedih untuk hal ini. Ia bertanya-tanya dengan hati pilu. 'Apakah sampai anak ini lahir, dan tanpa ada status seorang Papa untuknya?' Margaret menatap gaun pengantin yang dilipat rapi di dalam sebuah kotak putih dengan hiasan berenda dan dihiasi bunga-bunga mawar putih dan pita kaca di atasnya. Sepasang mata biru Margaret menatap datar barang-barang itu. "Nona..." Gadis itu kembali menutup kotak putih di hadapannya dan ia berjalan melewati Pelayan Letiti. "Simpan kotak itu, Bi. Jangan tunjukkan lagi di hadapanku," ujar Margaret. Gadis itu berjalan keluar dari dalam kamarnya. Kepala Pelayan Letiti terdiam menatap punggung Margaret. Ekspresi sedih menghi
Margaret setia menanti kepulangan Maxim selama berhari-hari. Tiap malam, ia selalu terjaga karena terus menunggu laki-laki itu pulang. Maxim yang berjanji akan pulang malam itu, nyatanya sampai lima hari lamanya juga tidak kunjung kembali. Margaret kesulitan menghubunginya, dan entah mengapa? Apa yang terjadi dengan laki-laki itu, ia pun tidak tahu. "Kau ke mana, Maxim?" lirih Margaret. "Kenapa kau tidak bisa kami hubungi. Kau juga ingkar janji padaku. Kau bilang kau akan pulang malam itu, kenyataannya ... berapa hari kau meninggalkanku di sini dan kau tidak kunjung pulang." Gadis itu berbaring di atas ranjang kamar dan diam menatap getir ke arah langit malam dari jendela kamar. Pandangannya sayu, penuh kerinduan dan kekosongan yang ia rasakan saat ini. Iris mata sebiru lautan itu, melirik ke arah sebuah kotak besar berwarna putih di atas meja rias di dalam kamar. Dua hari yang lalu, seseorang datang mengantarkan sebuah perlengkapan pernikahan berupa gaun pengantin dan tuxedo
Kedua bola mata Brian melebar saat ucapan kasar terucap dari bibir Maxim. Raut wajah Maxim yang dingin, berubah kejam dalam hitungan detik. "Kau mengkhianati keluargamu sendiri, Maxim! Kau malah menyerahkan aset berharga milik keluarga kita pada Margaret Linton!" pekik Arzura yang kini berdiri di ambang pintu rumah. Maxim menatap wanita itu sebelum ia menyentak tangannya dari dagu Brian hingga membuat Kakak angkatnya itu terpental dan mundur beberapa langkah menjauh. "Aku hanya mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik gadis itu," seru Maxim pada mereka semua. "Dengan membohongi kami?!" pekik David menyahuti. "Bisa-bisanya kau memberikan aku berkas palsu! Atau dari awal kau memang sudah tahu kalau gadis itu memang Margaret Linton dan kau ingin membantunya?!" Suara keras David yang membentak Maxim terdengar menggema di dalam ruangan itu. Maxim terpojok oleh tiga orang serakah yang menatapnya seperti keluarga serigala yang siap memangsanya. Maxim berjalan mendekati David ya
"Anda jangan bermain-main, Tuan Brian! Surat kepemilikan tanah dan pertambangan ini palsu! Bagaimana bisa kami memberikan izin pada perusahaan Anda, kalau Anda bukan pemilik resmi dan sah pertambangan dan perusahaan itu!" Suara tegas seorang laki-laki itu menggema di dalam sebuah ruangan di dalam kantor milik Brian. Di sana, Brian dan David tercengang saat seorang utusan dari pemerintah pusat kota Barchen mendatanginya dan menyerahkan surat palsu yang Brian ajukan untuk perizinan pembukaan tambang sejak beberapa bulan lalu. "Anda jangan bermain-main dengan perizinan pemerintah! Kota Barchen memang tidak sebesar kota Fratz, tapi jangan menganggap tindakan kami ceroboh dalam menangani masalah seperti ini!" pekik laki-laki bertubuh tinggi besar itu berdiri di hadapan Brian dan David. "Tu-tunggu dulu, Tuan Barvi ... berkas ini asli! Mana mungkin bisa palsu!" pekik Brian meraih berkas yang kini berada di atas meja. Laki-laki dengan balutan jas hitam itu menggelengkan kepalanya. "Kami
"Sayang, besok petang aku akan pergi ke Barchen dan pulang malam. Kau jangan menungguku dengan resah." Maxim mengatakan hal itu pada Margaret yang kini duduk di hadapannya di ruang makan. Margaret yang semula menikmati makan malamnya, sontak gadis itu berhenti mengunyah, ia menatap Maxim dengan tatapan lekat. "Bukannya kau bilang kalau kita akan segera menikah dalam waktu dekat? Tapi kau sangat sibuk sekali..." Laki-laki itu hanya membalasnya dengan senyuman. "Ada hal penting yang akan aku urus, yang jelas jangan takut pernikahan kita nanti akan gagal." Pupil mata Margaret melebar seketika, namun gadis itu hanya menjawabnya dengan anggukan polos. "Kita menikah secara diam-diam saja, Maxim. Aku ... tidak ingin banyak orang tahu kalau kita sudah menikah," ujar Margaret. “Nanti, bisa muncul berita-berita baru yang tidak kita inginkan.” "Heem. Jangan khawatir." Maxim tersenyum membalasnya. Acara makan malam mereka pun berlanjut. Margaret merasakan seperti ada yang tidak beres deng
Saat pagi tiba, Maxim dan Margaret bersiap-siap untuk kembali pulang ke Laster. Kedatangan mereka di Yards yang sekejap membuat Erika dan Bellinda tampak sedih karena rindunya yang belum sempat terobati. "Nona dan Tuan harus kembali ke sini lagi bila ada waktu luang," ujar Bibi Erika menatap Margaret yang berdiri di samping Maxim. "Iya, Bi. Aku pasti akan ke sini lagi," jawab gadis itu."Hati-hati di jalan, Nak," sahut Bellinda. "Jangan lupa istirahat yang cukup." Margaret mengangguk. Ia segera mendekati sang Nenek dan memeluknya dengan erat. "Aku akan merindukan Nenek," bisik Margaret. "Nenek harus baik-baik saja sampai aku kembali." Wanita tua itu tersenyum hangat dan menangkup hangat kedua pipi Margaret dengan lembut. "Iya, Nak. Pulanglah, dan jaga dirimu baik-baik, Margaret..." Pelukan mereka terlepas. Maxim merangkul Margaret dan laki-laki tampan itu memperhatikan dua wanita tua di hadapannya. "Kalau begitu, kami pamit pulang," ucap Maxim. "Hati-hati di jalan, Tuan Maxim







