Maxim terbangun dari tidurnya saat merasakan hangat cahaya matahari menyinari wajahnya dari celah jendela kamar. Kedua matanya terbuka, tangannya meraba ranjang dan menyadari Marieana tidak ada di sampingnya. Pria itu langsung terbangun dan bingung. "Marie, ke mana dia?" gumam Maxim. Ia segera beranjak dari atas ranjang dan bergegas membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Maxim berpikir, mungkin Marieana ada di lantai satu bersama pelayan, atau gadisnya itu pergi melihat pemandangan di sekitar vila. Beberapa menit setelah membersihkan tubuhnya, Maxim keluar dari dalam kamarnya dengan pakaiannya yang rapi. Pria itu berjalan menuruni anak tangga dan melihat pelayan di sana sendirian menata sarapan. Wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Tuan," sapanya. "Di mana Nyonya?" tanya Maxim pada wanita itu. Ia menanyakan Marieana. "Apa dia pergi melihat pemandangan di luar?" Wajah pelayan itu tampak bingung dan pucat pasi. "Sekitar satu jam yang lalu, Nyonya per
"Ahh—Paman—" Marieana tanpa sadar menancapkan ujung kuku jemari kedua tangannya di punggung kekar Maxim, memeluknya erat saat tubuh mereka menyatu. Pelukan erat itu membuat tubuh mereka semakin melekat, berbagi peluh dan gairah yang membuat keduanya seolah melayang hingga ke nirwana. Pikiran Marieana seolah kosong saat pria itu terus menyentuhnya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang tak pernah sekalipun ia dapatkan dari pria lain, termasuk suaminya sendiri. Napas hangat mereka saling beradu bersama gerakan seirama yang membuat Marieana semakin melambung dan hampir kehilangan kewarasan. Marieana menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Maxim, pria itu mendekapnya erat dan tubuh Marieana terus merespon tiap sentuhan Maxim yang memabukkan. "Kau milikku, Marie," bisik Maxim, nada rendahnya terdengar begitu posesif dan lembut. Marieana mengangguk cepat tanpa menarik wajahnya dari ceruk leher Maxim. "La-lakukanlah," jawab gadis itu terbata-bata. Suara rintihan gadis itu memb
"Aku akan ikut ke manapun Paman membawaku..." Isak tangis pilu di wajah cantik Marieana membuat hati Maxim seperti diremas. Pria itu melepaskan pelukannya pada Marieana. Tanpa berkata-kata, Maxim kembali masuk ke dalam kamarnya, pria itu menyahut kunci mobil dan dua mantel hangatnya, sebelum ia memakaikan salah satunya pada Marieana. "Ayo kita pergi," ajaknya, merangkul Marieana. Gadis itu mengangguk dan memeluk tubuh Maxim dengan satu tangannya. Mereka berdua menuruni anak tangga rumah dan bergegas pergi. Tak peduli hujan deras mengguyur bumi di tengah malam begini, Maxim tetap membawa Marieana pergi ke tempat di mana sekiranya gadis itu bisa merasa tenang. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak termenung menatap ke arah luar kaca pintu mobil. Maxim memperhatikannya sekilas. "Kau ingin pergi ke mana, Marie?" tanya pria itu sembari mengemudikan mobilnya. "Ke manapun, Paman," jawab gadis itu sebelum menatapnya. "Bawa aku ke manapun kau pergi." "Ke vila milikku," ujar M
"Apa yang terjadi pada David, hah?! Kenapa dia semalaman tidak pulang?!" Suara pekikan keras itu terlontar dari bibir Arzura pada Marieana yang kini berdiri di hadapannya di dalam ruangan keluarga. Marieana sudah menduga kalau wanita tua menyebalkan dan cerewet itu akan mengomelinya, dan hal ini membuat Marieana ingin sesekali memberontak dan menutup mulut wanita tua itu. Tapi, Marieana menahannya demi berjalannya misi yang ia bawa ke rumah ini. "Aku tidak tahu, Ma. David tidak mengatakan padaku dia akan pergi ke mana," jawab Marieana, berusaha menjelaskan sebaik mungkin. "Dan kau tidak membujuknya untuk tetap di rumah, kan?! Kau ini istri macam apa, Marieana?!" bentak Arzura, wajah wanita itu memerah dan kedua matanya melotot lebar. Marieana tahu, Arzura sedang memanfaatkan hal ini untuk mencelanya. "Kalau saja Maxim tidak memberikan restu waktu itu, aku tidak akan sudi memiliki menantu sepertimu! Kau itu miskin, jangan semena-mena pada anakku yang baik padamu!" lanjut w
Dia hampir tidak pernah tidur di rumah. Padahal aku sebagai seorang istri juga ingin ditemani setiap malam seperti istri-istri pada umumnya." Marieana menundukkan kepalanya, bercerita pada Maxim tentang hari-harinya. Itu semua memang jujur, hanya saja perasaan Marieana yang berbohong. Marieana tampak sedih, tapi kenyataannya hatinya sangat berbunga-bunga bila David pergi. Marieana menoleh dan menatap Maxim yang masih diam memperhatikannya. "Apakah aku kurang sempurna untuknya, Paman? Apa aku masih banyak kurangnya?" lirih gadis itu bertanya-tanya. "Tidak, Marie," jawab Maxim tenang. Pria itu menatap Marieana dalam-dalam. Marieana tampak tertekan. Maxim tidak menduga kalau David akan seperti itu pada istrinya. Dan Maxim menduga kalau sikap David berubah setelah tahu kalau Marieana menjadi asistennya. Di sisi lain, Maxim juga mulai curiga apa yang David lakukan di luar sana tanpa sepengetahuan Marieana. "Lebih baik sekarang kau istirahat, ini sudah malam," ujar Maxim, meng
Memasuki musim penghujan, jalanan kota Balden menuju kota Fratz diguyur hujan deras disertai kilat dan petir petang ini. Marieana dan Maxim yang baru saja kembali dari meeting, mereka berdua duduk di dalam mobil yang melaju berkecepatan sedang. Setiap cahaya kilat menyala, Marieana selalu tersentak kaget dan meringkuk mendekati Maxim. Pria tampan itu terus memperhatikannya hingga sadar kalau Marieana ketakutan. Tanpa aba-aba, ia melingkarkan satu lengannya di pundak gadis itu. "Kenapa, Marie?" tanyanya. Marieana memeluk meremas kuat mantel yang Maxim pakai dan kedua matanya terpejam erat. "Suara petir di luar sangat menakutkan, Paman," jawab gadis itu, suaranya gemetar. Maxim membuka bagian depan mantel yang ia pakai dan menyelimuti Marieana, membiarkan gadis itu memeluknya. Bahkan ia menutup telinga kiri Marieana dengan telapak tangannya, dan menyandarkan kepala gadis itu pada dada bidangnya. Maxim merasakan detak jantung Marieana yang berpacu. Gadis itu sangat ketakut