Share

SN ~ 7

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-02-07 18:56:03

“Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.

“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.

“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”

“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.

“Ada yang lain?”

“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”

To the point, La.”

Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”

Ocehan Nila tersebut akhirnya membuat Djiwa beralih dari layar komputernya. Bersandar pada punggung kursi, lalu bersedekap.

“Mungkin, dia tertarik sama kamu.”

“Pak, please.” Nila menarik kursi di sampingnya lalu duduk di sana tanpa permisi. “Bercanda Bapak nggak lucu.”

“Dia duda, La,” sahut Djiwa dengan nada serius. “Istrinya sudah meninggal lama. Jadi, apa salahnya kalau dia tertarik sama kamu?”

“Bapak!” Nila merengut kesal. “Pak Gavin itu seumuran dengan mama saya.”

“Terus di mana masalahnya?”

“Nggak make sense!” Nila berucap dengan geligi yang mengatup erat.

“Orang yang jatuh cinta, memang sering kehilangan akal.”

Nila bergidik lalu menggeleng keras, karena sempat membayangkan jika Gavin benar-benar menyukainya. “Ck! Tapi ... makasih karena sudah nolongin saya tadi.”

“Kapan saya nolongin kamu?” Djiwa kembali menegakkan tubuh dan menatap layar komputernya.

“Tadi, waktu nyuruh saya ngambil tablet.” Nila mencebik saat pria itu tidak melihatnya lagi. “Bapak ngerti kalau saya nggak nyaman dengan pak Gavin, jadi—”

“Panggil Elin dan Sigit ke sini,” sela Djiwa tanpa menoleh dan merasa tidak perlu memberi penjelasan apa pun pada Nila. “Dan silakan pulang atau kamu saya kasih kerjaan sampai malam.”

“Saya pulang.” Nila berjalan mundur sambil tersenyum, meskipun Djiwa tidak melihatnya. “Dan sekali lagi, terima kasih.”

~~~~~~~~~~~~

“Wah...” Kirana terpukau, matanya menyapu dekorasi mewah yang menghiasi setiap sudut gedung pernikahan saat ia masuk bersama Nila. “Harusnya kamu datang sama Arif. Buat referensi kalau kalian—”

“Aku sudah putus sama dia.” Nila menyela karena tidak ingin membicarakan semua itu.

“Vanila?” Kirana membawa putrinya ke sisi ruangan yang tidak terlalu padat. “kapan? Kenapa baru cerita ke Mama?” Tiba-tiba saja, ingatannya kembali pada pembicaraan mereka di malam itu. Malam di mana Nila bertanya tentang siapa papanya. “Apa ini ada hubungannya dengan ... papamu?”

Nila menggeleng sembari memejam. Helaan napasnya terbuang berat, tetapi ia enggan menceritakan apa pun pada Kirana. “Pacaran, terus putus itu sudah biasa. Nggak ada hubungannya dengan obrolan kita malam itu.”

“Mama tahu kamu bohong.”

“Ma, please.” Nila menggandeng Kirana lalu kembali berjalan menuju pelaminan. “Aku nggak mau bahas itu. Mending kita salaman sama Nena, makan, terus pulang.”

“Oke.” Kirana juga tidak mau menuntut banyak. Sama seperti Nila yang tidak pernah memaksakan kehendaknya, Kirana memilih untuk mengikuti arus tanpa banyak protes. “Tapi kamu tahu, kan, kalau Mama selalu ada buat kamu.”

“Aku tahu.” Nila tersenyum lembut saat menatap Kirana, sambil mengeratkan gandengannya. “Dan makasih banyak karena selalu ada buat aku.”

“Ck, maskara Mama yang murah ini bisa luntur.” gumam Kirana sambil buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya. Ada haru yang mendadak muncul, sehingga tangannya sedikit gemetar saat menepuk-nepuk area matanya. Namun, ia tetap berusaha mengedip cepat, agar tidak ada air mata yang lolos dari sana.

Ucapan Nila memang sederhana, tetapi hal itu sanggup menyentuh hati Kirana lebih dalam daripada yang ia duga. Seolah ada sesuatu yang hangat menjalar di dada, mengingatkan Kirana bahwa meskipun hidup mereka penuh liku, cinta mereka akan selalu menjadi tempat untuk pulang.

“Sudah kubilang, beli maskara yang waterproof.” Berbeda dengan Kirana, Nila justru tertawa dengan perkataan sang mama.

“Ngapain beli mahal-mahal, kalau setahun sekali belum tentu dipake.”

“Terserah, Mamalah.” Nila enggan berdebat. Lebih baik segera mengajak Kirana bersalaman dengan mempelai di pelaminan, lalu segera turun dan menyantap makanan yang disajikan. Setelah itu, Nila hanya ingin pulang dan menikmati malam minggu yang tenang di rumah.

“Pak Djiwa?” Nila menegur pria yang terdiam di hadapan buffet. Seolah sedang berpikir, menu makanan apa yang akan diambilnya malam hari ini.

Djiwa menoleh dan tertegun untuk beberapa saat ketika melihat penampilan Nila yang berbeda. Gadis itu memakai dress midi dengan potongan A-line yang anggun. Bagian atasnya dihiasi lengan ruffle transparan, sementara motif batik modern di bagian bawah memberikan kesan klasik yang menawan. Ditambah, Pita hitam yang melingkar di pinggangnya membuat penampilan gadis itu semakin sempurna.

“Sendirian, Pak?” tanya Nila memangkas jarak dan melihat ke sekelilingnya. “Atau, bawa gandengan.”

“Saya bukan truk gandeng,” balasnya cuek.

Bibir Nila mengerucut. Menahan kesal di dalam dada, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau gi—”

“Belum ambil minum juga, La?” Kirana mendekat sembari menatap pria yang berada di hadapan Nila. Sebenarnya, Kirana sedang menunggu Nila di meja dan enggan pergi ke mana-mana. Namun, saat melihat putrinya bicara dengan seorang pria, rasa penasarannya mendadak menyeruak.

“Oh ...” Nila buru-buru menggeleng dan meraih lengan Kirana. “Nggak jadi, kita pulang aja.”

“Dan ...” Kirana mengarahkan telapak tangan pada Djiwa. Penasaran dengan sosok pria tampan dan matang yang sedang bicara dengan putrinya.

“Ahh!” Dengan terpaksa, Nila memperkenalkan Kirana pada Djiwa. “Mama, ini Pak Djiwa, bosku di kantor.”

“Bos?” Kirana mendadak rikuh. Andai tahu pria itu adalah atasan Nila, ia pasti akan tetap duduk di tempatnya. “Maaf. Saya ...” Dengan terpaksa Kirana mengulurkan tangan lebih dulu pada Djiwa. “Saya mamanya Nila.”

“Saya Djiwa,” balasnya segera menyambut uluran tangan wanita itu dengan sopan.

“Semoga Nila nggak merepotkan kalau di kantor,” ucap Kirana berbasa-basi.

“Nggak sama sekali, Bu ...”

“Kirana,” sambar Nila mulai merasa tidak nyaman. Karena itu, ia ingin segera berpamitan dari hadapan Djiwa. “Saya pergi dulu, Pak, permi—”

“Djiwa!”

Nila menoleh ke arah asal suara bersamaan dengan Djiwa. Menatap pria paruh baya yang menghampiri Djiwa dan langsung menepuk keras punggungnya.

“Papa nggak tahu kalau kamu ada di sini juga.”

“Papa?” celetuk Nila tiba-tiba.

Djiwa menarik napas panjang. “Papa ini Nila, sekredku di kantor dan ini mamanya. Ibu Kirana.”

“Saya Irsyad,” ucapnya memperkenalkan diri. Menyalami ibu dan putrinya yang juga memperkenalkan diri secara bergantian. “

“Papa sendirian atau—”

“Sama bosmu,” potong Irsyad memberi anggukan sopan pada Kirana.

“Pak Gavin?” tanya Djiwa memastikan.

“Ya.” Irsyad menunjuk pria paruh baya yang berjalan ke arahnya. “Itu dia. Kami masih ada undangan ja—”

“Maaf, saya permisi,” putus Kirana terburu. “Saya harus ke toilet,” ucapnya memberi anggukan sopan dan segera berbalik pergi tanpa bicara dengan Putrinya.

Nila jadi serba salah. Ia hendak pergi menyusul mamanya, tetapi merasa tidak enak jika harus pergi tanpa menunggu Gavin.

“Vanila? Sendirian?” tanya Gavin setelah berhenti di samping Irsyad.

Nila tersenyum canggung. Kembali, ia melihat Djiwa dengan tatapan penuh harap. Memohon agar kembali diselamatkan seperti hari itu.

“Dia sama ibunya,” jawab Djiwa mengambil alih. “Ini baru mau pulang. Hati-hati di jalan.”

“Bapak juga.” Nila mengangguk sopan dengan perasaan lega. “Saya permisi.”

“Bu Kirana cuma ke toilet,” ralat Irsyad mengerutkan dahi ketika menatap putranya. “Bukan mau pulang.”

“Sebentar.” Gavin menyela sembari menatap Djiwa dan Irsyad bergantian. “Siapa bu Kirana?”

“Ibunya Nila,” jawab Irsyad. “Dia—”

Gavin memejam dengan helaan panjang. Pergi tanpa permisi, mencari sosok Nila yang mendadak hilang dari pandangan sembari menggumam, “Kirana ... Wicaksana.”

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (11)
goodnovel comment avatar
Siti Rahmah
wah wah ada sesuatu kah ini pak Gavin siapanya Bu karina
goodnovel comment avatar
Yanti Aching
Gavin papa vanila????
goodnovel comment avatar
ciproet
waduuuhhh.....teka teki nih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setitik Nila   Bonchap~5

    Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan

  • Setitik Nila   Bonchap~4

    Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny

  • Setitik Nila   Bonchap~3

    “Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di

  • Setitik Nila   Bonchap~2

    Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi

  • Setitik Nila   Bonchap~1

    “Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d

  • Setitik Nila   SN ~ 70

    “Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk

  • Setitik Nila   SN ~ 69

    Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur

  • Setitik Nila   SN ~ 68

    “Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad

  • Setitik Nila   SN ~ 67

    “Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status