Hanya karena Nila terlahir dari hubungan di luar nikah dan tidak pernah tahu siapa ayahnya, ia diminta mengakhiri hubungan dengan sang kekasih. Permintaan itu menghancurkannya. Nila menyerah pada cinta, memilih untuk tidak lagi membuka hatinya demi menghindari luka yang sama. Namun, hidup tidak pernah sesederhana itu. Ketika hati terusik oleh kesempatan yang tak terduga, Nila harus menghadapi pertanyaan yang selalu ia hindari, benarkah ia bisa menjalani hidup tanpa cinta? Karena nila setitik, rusak sùsu sebelanga. Namun, bagaimana jika nila itu adalah cinta?
View More“Langsung saja,” ucap Deswita tanpa basa-basi. Suaranya tenang, dengan senyum kecil yang mengembang di sudut bibir. Namun, ada ketegasan dingin di balik sorot matanya saat menatap gadis yang duduk berseberangan dengannya saat ini. “Tolong tinggalkan Arif.”
Nila membeku di tempat duduknya. Berusaha memberi senyum dan tetap tegar, kendati ucapan ibu dari kekasihnya terasa seperti badai yang menyergap, di tengah keheningan sebuah kafe yang pagi ini tampak lengang.
“Tapi kenapa, Tante? Apa saya, selama ini—”
“Vanila.” Deswita memotong, masih dengan senyumnya. “Saya baru tahu tentang latar belakang keluargamu. Karena itu, saya yakin kamu bisa mengerti dengan permintaan saya barusan.”
“Tapi—”
“Ini semua demi kebaikan dan masa depan Arif.” Deswita kembali memotong ucapan gadis itu. “Coba bayangkan kalau kalian menikah dan nggak ada nama ayahmu tertulis di undangan? Ditambah, waktu ijab kabul nanti semua undangan pasti akan tahu kalau istri Arif dan satu-satunya menantu keluarga Adiningrat ternyata ... anak hasil ...”
Deswita berdehem dan sengaja tidak meneruskan ucapannya. Ia justru meraih gelas lemon tea-nya lalu menyesapnya perlahan. Namun, matanya tetap terpaku pada Nila, seolah menunggu gadis itu menyerah tanpa perlu berkata banyak.
“Tante, saya nggak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa dan orang tua yang bagaimana.” Nila tertunduk. Berusaha mengontrol tremor yang sudah merayap di ujung jemari. Ia menggenggam erat tali tas di pangkuan, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tegar.
“Itu benar,” kata Deswita tetap tenang, tetapi penuh tekanan. Ia meletakkan gelasnya lebih dulu, baru melanjutkan ucapannya. “Kita memang nggak bisa memilih di mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup. Dan saya harap, kamu bisa memilih jalan yang nggak akan membawa masalah untuk hidup Arif ke depannya.”
Nila mengangkat pandangannya, menatap Deswita dengan mata yang mulai mengabur. “Apa salah saya, Tante?”
Deswita tersenyum kecil. “Nggak ada yang salah denganmu. Tapi, kebanyakan orang di luar sana hanya melihat dari siapa kita, dari mana kita berasal, dan apakah kita sesuai dengan standar mereka. Itu yang harus kamu mengerti.”
“Dan kenapa kita harus menuruti standar mereka?” Nila berusaha untuk tidak meninggikan intonasi bicaranya. Matanya berulang kali berkedip, agar tidak ada air mata yang tumpah membasahi pipi.
“Karena seperti itulah hidup,” jawab Deswita dengan mengangkat singkat kedua bahu. “Ada nama baik, reputasi, dan prinsip yang tetap harus dijaga dan dipertahankan demi kebaikan bersama. Khususnya demi kebaikan Arif ke depannya. Kamu pasti mengerti dengan omongan saya, kan?”
Nila menghela panjang. Mencoba meredam rasa sakit yang terus merongrong hati. Jemarinya mengepal di pangkuan, tetapi pandangannya tetap ia arahkan ke meja. Kembali mencerna semua perbincangan yang belum bisa ia terima.
“Mas Arif ... bagaimana dengan ... apa Tante juga sudah minta dia jauhin saya?” tanya Nila setelah kembali menghela.
“Kamu nggak perlu khawatir dengan Arif,” jawab Deswita. “Dia itu anak yang berbakti dan selalu menurut apa kata bundanya.”
“Oh ...” Nila mengangguk pelan, tetapi penuh keraguan. Ia sangsi, Arif benar-benar melepasnya begitu saja. Sebagian hatinya ingin percaya, tetapi sebagian lain tahu, cinta saja sering kali tidak cukup melawan tembok yang terlalu tinggi seperti ini.
“Sudah, jangan dipikirkan terlalu jauh,” Deswita menambahkan, suaranya terdengar ringan, tetapi tajam. “Saya yakin kamu cukup dewasa untuk memahami posisi ini. Semakin cepat kamu melepaskan, semakin baik untuk kalian berdua. Putus cinta itu biasa. Yang namanya luka, cepat atau lambat juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.”
“Bagaimana ... kalau saya nggak mau melepaskan mas Arif?” tanya Nila ragu. Berharap semua ini hanyalah ujian semata, untuk membuktikan rasa cintanya pada Arif.
“Kamu yakin?” Satu sudut bibir Deswita tertarik kecil dengan ekspresi remeh. “Apa kamu pikir, Arif akan memilihmu daripada keluarganya?”
Nila terdiam. Kata-kata Deswita bagai pukulan yang telak, tetapi ia berusaha keras menahan ekspresinya agar tidak runtuh di depan wanita itu.
“Nila ada satu hal yang harus kamu pelajari di sini,” lanjut Deswita sembari bersandar dengan perlahan. “Carilah pasangan yang selevel denganmu supaya kalian bisa saling mendukung, bukan saling membebani.”
“Saya nggak pernah membebani mas Arif selama ini.” Nila membela diri. “Saya—"
“Bagaimana dengan nanti?” buru Deswita menyela. “Bagaimana kalau statusmu itu nantinya menjadi beban dan bulan-bulanan di tengah keluarga besar Adiningrat? Di lingkungan kerja Arif? Apa kamu nggak pernah memikirkan perasaan Arif ke depannya?”
Nila menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang bergemuruh di dadanya. “Tapi, mas Arif mencintai saya, Tante. Dan saya juga mencintai dia.”
Deswita tersenyum tipis. “Cinta?” Ia menghela kecil. “Vanila, cinta itu bukan jawaban untuk segalanya. Setelah menikah, cinta bisa terkikis oleh banyak hal, dan saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah realita. Realita yang kamu sendiri belum tentu siap menghadapinya.”
“Tante—”
“Suatu saat kamu juga akan menjadi seorang ibu.” Deswita meraih tas yang sejak tadi berada di meja. Ia berdiri dengan elegan lalu berkata, “Dan saat itu tiba, kamu akan mengerti kenapa saya mengambil keputusan ini,” lanjutnya masih dengan suara lembut tetapi tegas. “Tugas seorang ibu bukan hanya mencintai, tapi juga memastikan anaknya nggak akan hancur oleh pilihan yang salah. Jadi, putuskan semua hubungan dengan Arif mulai detik ini.”
“Bagaimana kalau saya nggak mau?”
Lagi-lagi Deswita tersenyum tipis. “Maka saya sendiri yang akan menemui ibumu,” ucapnya tanpa ragu. “Dan ... pikirkan baik-baik perasaan ibumu kalau saya mengungkit masa lalunya yang kelam itu. Jadi, sebelum semuanya menjadi lebih rumit, saya harap kamu tahu apa yang harus dilakukan. Mengerti?”
Nila mengangguk pelan, tanpa bisa membantah. Semua hal yang menyangkut ibunya, akan selalu membuat perasaan Nila tidak menentu. “Mengerti ... Tante.”
“Oke! Kalau begitu saya pergi dulu,” pamit Deswita dengan senyum puas. “Senang bekerja sama denganmu Vanila Wicaksana. Dan ... jangan sampai saya harus datang ke rumah ibumu. Permisi.”
Nila menatap nanar pada punggung Deswita yang pergi menjauh. Langkahnya memang tidak lagi terdengar, tetapi kepergian itu meninggalkan beban yang tidak mampu Nila lepaskan.
Nila menarik napas panjang, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari tas. Ia menatap layar sejenak, lalu menekan nama yang selalu menemani hari-harinya selama dua tahun ini.
“Halo, Mas,” ucapnya dengan suara yang terdengar serak. Tidak ada kehangatan atau intonasi manja seperti biasanya. “Kamu di mana? Aku... perlu bicara. Sekarang.”
~~~~~~~~~~~
Hula, Mba beb ...
Setelah bertegang ria dengan Anggun, sekarang kita beralih ke yang agak ringan dulu biar nggak stress 🫣🫣🤭🤭
Hepi riding ~~~~~
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments