“Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”
“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”
Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”
“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kilo.”
“Bajuku rada sesak,” ujar Nena meyakinkan sambil menunduk dan mencubit-cubit perutnya. “Tiap hari aku ngemil, terus makan malam. Orang rumah pada tidur, aku malah duduk di dapur.”
Nila terkekeh pelan dengan gelengan. “Diet, Na, biar kebayanya muat.”
“Nggak—”
“Saya minta daftar rolling anak magang untuk bulan depan.” Djiwa keluar dari ruangannya dan berhenti di sisi meja sekretaris. “E-mail dalam setengah jam,” ucapnya lalu mengulurkan tangan pada Nena. “Karena saya mau pergi dan ada di luar sampai malam, jadi, saya mau mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini.”
Nena buru-buru berdiri dan menyambut uluran tangan Djiwa dengan penuh rasa hormat. “Saya juga mau berterima kasih atas semuanya, Pak. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama,” balas Djiwa setelah uraian tangan mereka terlepas. “Jangan lupa undangannya.”
Nena tersenyum lebar. “Siap, Pak!”
Nila hanya diam sebagai pendengar. Menatap punggung tegap Djiwa yang pergi menjauh dan menghilang saat pria itu berbelok menuju koridor lift.
“Pak Djiwa mau ke mana, La?” Nena menepuk keras bahu Nila ketika duduk kembali di samping gadis itu.
“Ha? Apa?” Nila segera menoleh. Menatap tanya dengan mengerutkan dahi.
“Pak Djiwa mau ke mana?” ulangnya sekali lagi.
“Mana aku tahu.”
“Ya, harus tahu, Nilaaa.” Nena melotot pada rekan kerjanya. “Selama masih jam kantor, kamu harus tahu dia pergi ke mana dan apa agendanya supaya kalau ditanya petinggi yang lain kamu nggak plonga plongo.”
“Astaga!” Nila menepuk keras dahinya sambil berdiri dan bersiap menyusul Djiwa. “Matì aku!”
~~~~~~~~~~~
“Nila! Ikut saya ke ruangan pak Gavin,” titah Djiwa saat keluar dari ruang kerjanya.
“Kenapa saya harus—”
“Don’t ask!”
Nila segera melipat bibir. Men-sleep monitornya lalu bergegas beranjak menyusul pria itu. Ia berlari kecil, hingga akhirnya bisa menyamakan langkahnya dengan Djiwa.
“Undangannya Nena baru datang, Pak,” ujar Nila memberi tahu.
Dua minggu lebih menjadi sekretaris redaksi, Nila belum juga bisa memahami pribadi atasannya. Djiwa hanya bicara perihal pekerjaan dan jarang menunjukkan ekspresi, bahkan saat ada hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Di balik sikap tenangnya itu, Nila merasa ada tembok tinggi yang sulit ia tembus. Tidak seperti Hamid, yang selalu bersikap terbuka dan santai pada karyawannya.
“Taruh saja di meja saya,” balas Djiwa berhenti di depan lift dan menekan tombol di samping pintunya.
Djiwa melirik pada Nila yang sedang mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Melihat wanita itu menolak panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
“Silent hapemu,” titah Djiwa sembari melangkah memasuki lift. “Pak Gavin nggak suka pertemuannya di sela dengan suara hape.”
“Saya lebih suka pak Budiman yang jadi dirut daripada pak Gavin.”
“Serius, La?” Djiwa kembali menekan tombol di samping pintu setelah Nila berada di dalam lift. “Kamu ngajak saya bergosip?”
Nila segera menggeleng kuat. Sedikit gelagapan karena ia tidak punya maksud seperti itu. “Maaf, Pak. Saya cuma mengeluarkan pendapat. Bukan ngajak gosip.”
“Dimaafkan.” Djiwa berjalan lebih dulu ketika pintu lift sudah terbuka. Mereka hanya naik satu lantai, jadi, tidak terlalu lama berada di dalam lift. “Temui Olivia dan tanya tugasmu sama dia.”
“Baik, Pak.”
Nila berhenti di sisi meja sekretaris perusahaan, sementara Djiwa segera memasuki ruang direktur utama.
“Mbak—”
“Ayo ke ruang rapat,” ajak Olivia sembari beranjak dari kursinya. “Pak Budiman sama pak Darwin mau ke sini jam 11.”
“Kenapa mendadak?” tanya Nila menyamakan langkah dengan Olivia. “Apa ada masalah?”
“Nggak, mereka cuma ‘berkunjung’ sebelum balik ke Bali.” Olivia membuka pintu ruang rapat dan mempersilakan Nila masuk lebih dulu. “Gimana kerja sama mas duda? Enak?”
“Hadeeh, Mbak!” Nila memutar bola matanya sembari melewati Olivia. “Kayak kamu nggak kerja sama duda aja.”
Olivia tertawa sembari menutup pintu ruang rapat. Sambil berjalan menuju proyektor yang berada di tengah ruang, ia menyanggah. “Dudanya bedalah, La.”
“Di mana bedanya?” tanya Nila menghampiri sebuah meja yang sudah berisi sebuah laptop.
“Aku punya suami dan dua buntut.” Olivia menoleh sebentar pada Nila lalu mengerling jahil. “Kamu jomlo dan mas Djiwa duda.”
“Ahh ... berita aku putus sama mas Arif sudah tersebar sampai lantai atas.” Nila menyimpulkan demikian dan enggan membahas perihal Djiwa lebih lanjut.
“Jangan salah, bahkan dinding di Warta punya telinga dan bisa bicara,” sahut Olivia berbalik menghampiri Nila setelah memastikan proyektornya sudah menyala dan siap digunakan.
“Aku ta—” Nila segera berdiri ketika pintu ruang rapat terbuka dan Djiwa berdiri di sana menahan pintunya. Pria itu mempersilakan Gavin masuk, disusul dengan Hamid di belakangnya.
“Hubungi yang lain, Liv,” pinta Djiwa memasuki ruang rapat tanpa menutup pintu. “Minta segera ke ruang rapat.”
“Oke, Mas.” Olivia pamit keluar ruangan sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazernya.
“Siang, Pak,” sapa Nila menghampiri Gavin lalu mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. Ia jelas mengenal Gavin, tetapi pria paruh baya itu belum tentu mengenalnya. “Saya Nila, Vanila Wicaksana, sekred barunya pak Djiwa.”
Gavin menatap Nila dari kepala hingga kaki. Pandangannya sarat dengan penilaian. Ia diam sejenak, lalu menerima uluran tangan gadis itu dengan gerakan lambat, tidak menyiratkan emosi apa pun. Namun, ada sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Boleh saya tahu, kenapa orang tuamu memberimu nama Vanila?” tanya Gavin setelah menjabat tangan gadis itu.
“Aa ...” Nila menatap Djiwa dan Hamid bergantian, karena mendapat pertanyaan yang tidak biasa. “Itu ... saya nggak pernah tanya masalah itu, Pak. Maaf.”
Gavin mengangguk dan tersenyum kecil. “Dan berapa usiamu?”
“Dua ... enam.” Entah mengapa, Nila mulai merasa tidak nyaman atas pertanyaan Gavin dan tatapan resahnya reflek tertuju pada Djiwa. “Saya—”
“Di mana tabletmu?” tegur Djiwa memotong ucapan Nila.
“Aaa, itu, ada di bawah, Pak.”
“Ambil,” titah Djiwa. “Sekarang juga.”
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk