Home / Fantasi / Shadow Rebellion / Bab 4: Helios Protocol

Share

Bab 4: Helios Protocol

Author: BarokHart
last update Last Updated: 2024-12-11 11:21:33

Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar.

"Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan.

"John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target."

"Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang.

"Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat.

Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan ini cepat. Kalau terlalu lama, mereka akan mulai curiga."

Langkah mereka teratur saat menyusuri lorong bawah tanah yang dingin. Bau logam bercampur dengan udara lembap, menciptakan suasana yang menyesakkan. Thomas mengarahkan mereka melalui kamera pengintai yang telah ia retas sebelumnya, sementara Alan menjaga ketat setiap sudut, memastikan tak ada ancaman yang terlewat.

Mereka hampir mencapai ruang kontrol utama ketika suara alarm tiba-tiba terdengar. Thomas bersumpah pelan di saluran komunikasi. "Seseorang baru saja mematikan akses kamera. Kita punya waktu paling lama tiga menit sebelum mereka datang ke arahmu."

Dewi tertawa kecil, meskipun situasinya mencekam. "Tiga menit cukup untukku menyelesaikan separuh pasukan mereka."

Alan meliriknya sekilas. "Kita tidak di sini untuk bermain, Dewi. Fokus pada misi."

Dewi mengangkat bahu, lalu berbisik lirih, melantunkan empat bait lagu pendek yang sama berulang kali—kebiasaannya saat menghadapi tekanan. Alan tahu, itu caranya menenangkan diri, sesuatu yang meski aneh, selalu berhasil menjaga fokusnya.

Ketika mereka tiba di pintu ruang kontrol, Alan segera mengeluarkan perangkat kecil yang terlihat seperti pistol dengan kabel. Dengan cekatan, dia menyambungkannya ke panel. Dalam hitungan detik, pintu baja tebal itu terbuka.

Di dalam, tiga teknisi yang sibuk di depan layar komputer menoleh terkejut. Tapi sebelum mereka sempat bereaksi, Dewi sudah bergerak. Dengan kecepatan luar biasa, dia melumpuhkan mereka tanpa suara.

"Sudah kubilang, tiga menit cukup," ujarnya dengan senyum puas.

Alan tidak menanggapi. Dia segera duduk di depan salah satu terminal, menghubungkan tabletnya ke sistem. Jari-jarinya menari cepat di atas layar, mencoba mengakses data tentang Helios Protocol.

Thomas, yang terus memantau dari luar, memberikan peringatan. "Mereka sudah mendekat. Sepuluh orang, bersenjata berat. Aku bisa menahan beberapa dari jarak jauh, tapi kalian harus cepat."

"Dewi, pastikan mereka tidak masuk ke sini. Aku butuh lima menit lagi," ujar Alan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Dewi berdiri di depan pintu, menarik napas dalam sambil menggenggam erat Crimson Scythe. "Kalau begitu, ayo kita lihat seberapa kuat mereka."

Pertarungan sengit pecah di lorong sempit. Dewi menggunakan kelincahannya untuk menghindari tembakan dan menyerang balik dengan presisi mematikan. Crimson Scythe-nya bergerak cepat, memotong udara dan melumpuhkan musuh dengan efisiensi brutal.

Thomas, dari jarak jauh, memberikan dukungan dengan tembakan presisi. Setiap kali salah satu musuh mencoba mengepung Dewi, sebuah peluru dari Falcon Rifle membuat mereka jatuh seketika.

"Aku butuh waktu lebih lama!" suara Alan terdengar melalui headset, disertai suara ketikan cepat. "Sistem ini lebih rumit dari yang kuduga."

"Kita tak punya waktu," balas Thomas. "Pasukan tambahan sudah hampir tiba."

Dewi menggigit bibirnya, kembali menyenandungkan lagu empat baitnya untuk menjaga fokus. Meski dikepung, gerakannya tetap lincah, menari di antara musuh.

Alan akhirnya menyelesaikan pekerjaannya, menarik kabel dari terminal dengan cepat. "Data sudah kita dapatkan. Kita keluar sekarang."

Dewi mundur ke dalam ruangan, napasnya sedikit tersengal. "Mereka lebih keras kepala dari yang kukira. Tapi aku masih berdiri."

Alan tidak membuang waktu. Dia memimpin mereka keluar melalui jalur pelarian yang sudah direncanakan sebelumnya. Thomas terus memberikan perlindungan, meskipun salah satu musuh berhasil menembakkan peluru yang mengenai bahunya.

"Thomas, kau baik-baik saja?" tanya Alan saat mereka mencapai pintu keluar.

"Aku tidak akan mati karena ini," jawab Thomas, meskipun suaranya sedikit melemah.

Mereka berhasil mencapai titik aman di luar fasilitas, tempat kendaraan mereka sudah menunggu. Namun, ketika mereka masuk dan mulai menjauh, Alan menyadari satu hal: pertarungan ini baru permulaan.

Dia menatap tablet di tangannya, di mana peta dan data tentang Helios Protocol yang baru saja mereka curi terpampang jelas. Ada rahasia besar di dalamnya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Alan menyimpan tablet itu dengan ekspresi keras. "Kita harus bersiap. The Council tidak akan tinggal diam. Dan ini baru permulaan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow Rebellion    Bab 22: Motel yang Sunyi

    Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka

  • Shadow Rebellion    Bab 21: Langit yang Tidak Lagi Sama

    Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri

  • Shadow Rebellion    Bab 20: Bayangan Kekejaman

    Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y

  • Shadow Rebellion    Bab 19: Pasukan Perubahan

    Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m

  • Shadow Rebellion    Bab 18: Langkah yang Berseberangan

    Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin

  • Shadow Rebellion    Bab 17: Pecahan Takdir

    Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status