Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal.
Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam erat Crimson Scythe-nya, bersiap jika ada tentara yang menyerbu masuk. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lorong. Tentara yang mengejar mereka terpeleset di lantai yang kini dipenuhi cairan mengkilap. Alan memandang tablet dengan heran, memperhatikan rekaman drone yang menunjukkan kekacauan itu. Thomas menyeringai. "Jebakan minyakku bekerja. Aku tahu ini ide brilian." "Kau sungguh-sungguh membawa minyak di misi seperti ini?" Alan menggeleng, tak percaya. Thomas balas menatap dengan datar. "Minyak murah, efisien, dan memberikan hiburan. Solusi ideal untuk situasi stres." Dewi tertawa lepas, sedikit lebih rileks. "Kau tahu, aku mulai menghargai gaya kerja Thomas. Dia seperti koki yang suka bereksperimen. Kadang bikin mual, tapi hasil akhirnya lumayan." Alan tidak menanggapi candaan itu. Ia menunjuk peta di tablet. "Ada pintu keluar darurat di sebelah barat. Masih belum dijaga. Kita harus bergerak sekarang." Mereka menyusuri lorong sempit dengan cepat, suara alarm terus berdenging di atas kepala. Tentara menyebar, memaksa mereka berhenti lagi. Dewi mengeluarkan botol kecil dari tasnya—cairan transparan dengan bau menyengat. "Apa itu?" tanya Alan, setengah bingung. "Parfum," jawab Dewi ringan. "Parfum? Serius? Ini misi penyusupan!" Dewi hanya tersenyum. "Parfum bisa menyelamatkan nyawa." Sebelum Alan bisa membalas, Dewi menyemprotkan cairan itu ke dinding. Dalam hitungan detik, reaksi kimia terjadi, menciptakan asap tebal dengan bau menyengat yang menusuk hidung. Tentara yang mengejar mereka terbatuk keras, mundur sambil mengusap wajah. "Aku suka efek sampingnya," Dewi terkikik. "Kalau mau beri hadiah, jangan pernah kasih aku parfum murahan." Alan mendesah, menggiring mereka maju. "Kau bisa bercanda nanti. Sekarang kita fokus keluar." Saat mereka mencapai pintu keluar darurat, sekelompok tentara sudah menunggu, senjata diarahkan ke kepala mereka. Dewi mengangkat tangan, mendesah pelan. "Hebat. Momen klise di mana kita ditangkap," katanya. Thomas menatap dingin, melepaskan ranselnya dengan sengaja. Sebuah ledakan kecil memicu kilatan cahaya terang yang membutakan semua orang. Dalam kekacauan itu, Alan menunduk dan melumpuhkan dua tentara dengan gerakan presisi. Dewi, yang terbiasa dengan cahaya terang, menyerbu ke depan, Crimson Scythe-nya bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia menumbangkan sisa tentara dengan brutal namun efisien. "Aku mulai kagum pada kejeniusan kita," katanya sambil menyeka keringat. "Kadang aku heran kenapa aku masih hidup bersama kalian," timpal Thomas sambil mengangkat ranselnya kembali. "Suatu hari, aku akan menulis buku tentang ini. Judulnya, Bagaimana Tidak Gila Saat Bekerja dengan Orang-Orang Ini." Alan menatap peta holografis di tangannya. Rasa lelah terpancar dari wajahnya, tapi sorot matanya tetap penuh determinasi. "Ini baru awal," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Setiap kemenangan kecil hanya membuat permainan ini semakin berbahaya." Dewi menyeringai lemah, membuka satu mata. "Tantangan itu menyenangkan, Alan. Jangan terlalu serius." Alan mengabaikan komentar mereka, pikirannya sudah tertuju pada langkah selanjutnya. Meski tim ini kacau, ia tahu satu hal pasti—ini satu-satunya keluarga yang ia miliki.Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka
Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri
Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y
Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m
Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin
Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b