Share

[1] Kembali

Penulis: midgardst
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-17 12:11:49

"PAMAN NISHIDA! KAU datang!"

Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh.

"Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya.

"Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara dengan bahasa Jepang sepanjang hari. Dia sangat baik. Kurasa dia menyukaiku."

Ethan menatapnya dengan tidak percaya. Dia mengerling pada seorang perempuan pirang yang menyusul menghampiri mereka.

"Bagaimana caramu membesarkannya?" tanya Ethan dengan heran sekaligus terpukau. "Dia akan jadi player sejati."

Airi tertawa rendah. Dia merangkul putranya, Kazuki, dengan sebelah tangan. Tingginya telah mencapai leher, tinggal menunggu waktu saja sampai Kazuki mengunggulinya.

"Entah. Dia tumbuh terlalu cepat," balas Airi. Menjejerkan wajah mereka, dia berkata, "Kami sering disebut sebagai kakak-adik."

"Tiga atau empat tahun lagi dia akan dikira sebagai pacarmu."

Kazuki menimpali. "Aku tidak masalah untuk jadi pacar Ibu."

Detik berikutnya, Kazuki telah menyipitkan mata akibat jambakan di belakang kepalanya.

"Siapa yang mengajarimu tentang pacar-pacar?" ungkap Airi dengan nada sok mengancam.

"Paman Nishida baru saja mengatakannya," kilah Kazuki.

Airi membebaskan Kazuki dari jambakan ringan-nya. Isyarat familier di mata safir ibunya membuat dia berkata, "Tidak mempermainkan anak cewek. Iya, aku mengerti."

Di hadapan mereka, Ethan mendengkuskan tawa. Dia kembali menatap Airi. Ketika pandangan mereka bertubrukan, Airi segera melangkah maju dan melemparkan rangkulan erat pada Ethan. Dia sedikit berjinjit ketika merangkulkan kedua lengan di leher sosok itu.

"Aku tahu kau rindu," ejek Ethan.

Airi menendang tulang keringnya sebelum menguraikan rangkulan.

"Harusnya kau lebih sering mengunjungiku," keluh Airi. Dia menunjuk Ethan dengan jarinya. "Sebagai bayaran, ambilkan koper kami di sana. Aku dan Kazuki akan menunggu di pintu keluar."

Kazuki bersekongkol dengan ibunya. Dia mengangguk dan segera menyambar lengan Airi.

"Ide bagus, Bu," katanya dengan ringan, sama sekali tak merasa bersalah. "Selamat bekerja, Paman. Beberapa koleksi buku dan manga favoritku ada yang langsung kubawa. Beratnya tidak seberapa, kok. Tenang saja."

Ethan ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian bandara. Embusan napas keluar dari bibirnya. Dia mendengkuskan tawa, menahan rasa lega setelah melihat keadaan Airi dan Kazuki. Mereka berdua telah melalui banyak hal. Airi telah melalui banyak hal. Senyuman dan pelukan tadi benar-benar meringankan beban di pundak Ethan.

Ketika bergegas ke tempat pengambilan barang, dia merasa tidak keberatan. Asal dua orang itu dapat tersenyum lebar, perkara semacam ini takkan jadi masalah buatnya.

oOo

Pada penghujung tahun lalu, kontrak kerja Airi di Manhattan telah mencapai batas akhir. Di sana dia bekerja di sebuah perusahaan hiburan, tepatnya industri perfilman. Posisi yang didapat Airi di awal usia tiga puluhnya ini cukup menjanjikan. Dia dipercaya untuk menjadi manajer bagian produksi film suatu perusahaan ternama. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan itu bisa dibilang cukup besar. Dia mampu membeli apartemen hingga mobil sendiri, padahal lingkungan tempat tinggalnya dulu bisa dibilang cukup eksklusif.

Selama perjalanan menuju apartemen baru, Airi menceritakan tawaran kerja baru yang telah didapatnya. Salah satu kolega kerjanya di Manhattan telah merekomendasikan sebuah perusahaan film ternama di Jepang. Aplikasi kerja Airi langsung diterima dan tak tanggung-tanggung, dia langsung ditempatkan di posisi tinggi.

"Eksekutif Produser," kata Airi pada Ethan. "Posisi yang mungkin cukup setara dengan CEO di perusahaan film. Pengalaman kerjaku baru sekitar sepuluh tahun, tapi mereka langsung menawarkan posisi ini. Gila. Sangat gila."

Selagi menyetir, Ethan membalas, "Perusahaan apa yang menerimamu?"

"The Kage Summit Cinema," jawabnya. Dia meluruskan kedua kaki. "Kami melakukan wawancara daring. Terus tiba-tiba aku langsung dilemparkan ke salah satu cabang perusahaan yang bernama Hiraishin Picture. 'Kau akan menjadi CEO perusahaan ini,' katanya. 'Tolong selamatkan mereka.'"

Ethan tertawa. Nada suara Airi ketika meniru logat orang lain terdengar amat menggelikan.

"Kage Summit memang salah satu perusahaan hiburan terbesar di Jepang. Tapi, divisi perfilman mereka sedang sedikit terancam."

Airi menoleh. "Kenapa?"

"Karena persaingan," jawab Ethan dengan pendek.

Airi menanyakan saingan yang dimaksud oleh pria di sampingnya.

"Silakan cari tahu sendiri, Nyonya CEO."

Airi hanya berdecak. Mereka melanjutkan percakapan dengan berbicara tentang kegiatan sekolah Kazuki. Yang dibicarakan tidak mendengar dua orang dewasa di kursi depan karena kedua telinganya sedang disumpal earphone.

Setibanya di gedung apartemen, seorang petugas ikut membantu membawakan barang Airi. Mereka naik ke lantai lima belas, lantai di mana apartemen pesanan Airi berada. Ruang sewaan itu memiliki dua kamar utama dengan sebuah kamar mandi. Furnitur dan desainnya terbilang modern dibanding rata-rata apartemen di Tokyo. Ukuran tempat ini juga lebih luas dan besar. Langit-langit ruangannya didesain tinggi, tak seperti kebanyakan apartemen di Tokyo yang bergaya minimalis.

Melepas sepatu dan melangkah masuk, Airi menoleh ketika mendengar komentar Ethan.

"Aku tak tahu kau sudah jadi orang kaya."

Ethan mendaratkan diri di sebuah sofa panjang nan empuk. Permukaan sofa itu terasa begitu halus dan nyaman. Maniknya menatap lampu gantung yang indah di langit-langit ruangan.

Airi melepas jas panjangnya dan ikut duduk di samping Ethan.

"Bukan orang kaya," katanya. Senyuman puas merambat di bibir. "Tahun lalu, aku menanam investasi di sebuah perusahaan besar. Akhir tahun kemarin aku mendapatkan hasilnya." Tiba-tiba dia tertawa. "Dan kau tahu? Gajiku jauh lebih rendah dibanding hasil investasi itu. Upah kerja di Jepang juga sangat parah. Aku berani mengambil risiko untuk tinggal lagi di sini karena telah mendapatkan deviden. Apartemen ini juga kusewa karena aku sedikit ingin menikmati hidup."

Ethan mendengkus.

"Kau mengejekku?" Dia menghela napas panjang. "Ah, aku akan tidur di sini setiap hari. Sofa ini bahkan jauh lebih nyaman dibanding tempat tidurku."

Mengambil sebuah bantal, Airi melemparnya pada Ethan.

"Sebaiknya kau mengumpulkan keberanian kacangmu agar dapat membuka bar sendiri. Tak ada keuntungan tanpa pengorbanan, Pemalas." Airi berdiri dan merenggangkan badan. "Lagi pula, apartemen ini masih di bawah satu juta yen. Fasilitas seperti ini takkan bisa kudapatkan di New York. Tokyo memang terbaik!"

"Lihat, siapa yang baru saja mengeluhkan gaji minimum Jepang dan sekarang menjilat ludahnya sendiri."

Suasana hati Airi sedang terlalu cerah untuk meluapkan kejengkelan. Dia menarik koper ke dalam kamarnya dan memanggil Kazuki untuk makan malam. Yang dipanggil baru saja berkeliling ruangan. Ekspresi datar tergambar di wajahnya, berbanding terbalik dengan kalimat yang dia ucapkan.

"Menakjubkan." Dia melayangkan tangan, menunjuk ruangan dan perabotan yang dimaksud. "Pemanas otomatis di bak mandi, ruangan dengan lantai kayu, dan pintu-pintu geser. Menakjubkan."

Airi mengerutkan kening sebelum berbalik dan berjalan ke ruang tengah.

"Aku tak tahu apakah kau sedang sarkastis atau tidak."

Kazuki menyusulnya dengan langkah lebar.

"No. I'm serious, Mom."

"Boy, look at your face. Wajahmu tak menyuarakan hal yang sama dengan ucapanmu."

Kazuki mengerang lelah, tak lagi ingin membalas candaan Airi.

"It just how my face looks like." Dia menjejeri Airi dan dengan kasual berujar, "Mungkin kau harus mulai mencari pacar biar tidak lagi meledekku, Bu."

Ketika Airi menoleh dari layar ponsel, Kazuki telah mengayunkan kaki untuk berlari. Dia menghampiri Ethan dan bersembunyi di belakangnya, menjadikan lelaki itu sebagai tameng.

Pemandangan yang demikian menambah rasa heran Ethan.

"Kalian benar-benar ibu dan anak?" tanyanya heran.

Suasana hati Airi sedang baik. Dia membiarkan Kazuki bebas. Dengan lugasnya dia berkata, "Dia adalah teman hidupku."

Ethan tak bisa menyangkal ucapan Airi. Sebagai putranya, Kazuki memang telah hidup bersama dengan Airi selama dua belas tahun. Dia memang teman hidup Airi. Tapi ... kalimat di atas tetap terdengar ambigu.

Ekspresinya mungkin terpampang jelas di mata Airi. Ethan berjengit ketika kembali mendapatkan tendangan ringan di tulang keringnya.

"Jangan berpikir macam-macam," ancam Airi. "Aku tak butuh pria," tambahnya.

Mereka berjalan ke pintu keluar. Airi tengah menekan sandi apartemen ketika Ethan berujar, "Kau baru saja meminta bantuan seorang pria untuk menjemputmu di bandara."

Masih memunggungi lawan bicaranya, dia membalas, "Kau bukan pria di mataku."

Dengkusan tawa Kazuki semakin menambah penderitaan Ethan. Saat melihat Kazuki, dia tengah menepuk dada selagi berekspresi kesakitan, seolah jantungnya baru saja ditusuk tombak.

Seulas seringaian kemudian hadir.

Kepala Ethan terasa berdenyut-denyut.

"Aku menyesal sudah menjemput kalian."

Airi menoleh untuk memandang Kazuki, bertanya hal apa yang sekiranya menimpa Ethan.

Kazuki hanya mengedikkan bahu. Dia menyusul Ethan keluar dan merongrongnya untuk mentraktir makanan. Airi menutup pintu dan ikut berjalan. Dari belakang mereka, dia mengulum senyuman saat melihat keduanya berbincang seru, beberapa kali tertawa dan bercanda.

Selama ini, Airi khawatir jika putranya kesepian. Hari-hari Airi banyak dihabiskan di kantor. Dia takut melewatkan keperluan putranya. Dia takut jika Kazuki melampiaskan kesendiriannya pada hal lain yang tidak Airi inginkan.

Terkadang, anak itu bisa sangat diam dan tak ingin diajak bicara. Mereka hanya akan makan bersama. Dia hanya akan menjawab pertanyaan Airi dengan seperlunya. Sejauh ini, mereka belum pernah bertengkar hebat, Kazuki juga tak pernah meninggikan suara sampai membentak. Airi mengajarinya untuk tak terhayut oleh kemarahan dan emosi lain yang berlebihan. Dia mengajari Kazuki untuk mengatur emosi.

Didikan Airi memang membuahkan hasil. Kazuki tak pernah terlibat masalah di sekolah. Dia memiliki banyak teman dan juga disukai para guru meskipun bukan untuk urusan akademik. Meskipun demikian, tak jarang Airi merasa takut jika putranya memutuskan untuk menutup diri darinya. Dia tak ingin Kazuki merasa kurang karena hanya memiliki seorang ibu.

"Aku sedang memikirkan teori dari buku yang baru saja kubeli," katanya suatu saat ketika Airi sudah tidak tahan dengan sikap diam Kazuki. "Jangan khawatir, Bu. Aku tahu kau bakal mendengarku. Aku baik-baik saja."

Pagi harinya, Airi membaca buku sekolah Kazuki. Buku itu berisi tugas untuk membuat video bakat dari ayah masing-masing siswa. Ketika sore tiba, Airi mengajaknya bicara. Dia ingin Kazuki mengerti dan anak itu memang mengerti. Dia jauh lebih dewasa dan pengertian dibanding anak-anak sepuluh tahun lain.

"Ibu sudah cukup buatku. Asal minggu ini kau menjadi lawanku sebelum aku mengambil ujian kenaikan sabuk hitam."

Kekhawatiran Airi langsung menguap. Senyuman bangga tak bisa lagi ditahan.

"Kau sudah direkomendasikan untuk mengambil ujian itu?"

Kazuki mengangguk. Dia menepuk-nepuk pundak Airi akibat pelukan yang terlalu erat. Ketika pelukan terurai, dia berucap, "Sebenarnya aku sedang mencemaskan ujian itu, bukan memikirkan tugas sekolah. Untuk masalah tugas, aku sudah minta Paman Nishida untuk membuatnya. Sepertinya dia kesal karena aku menyuruh dia melakukan atraksi dengan botol-botol anggur."

Ingatan itu membuat Airi mendengkuskan tawa. Dia mempercepat langkah untuk menyusul dan menarik masing-masing lengan mereka, lanjut berjalan selagi mempertahankan gandengan.

Hari pertamanya di Tokyo terasa hangat. Airi harap, suasana ini akan terus bertahan. Dia harap, kehawatiran dan ketakutannya terhadap kota ini akan sirna. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Lukanya telah sembuh dan dia takkan lagi disudutkan oleh rasa takut terhadap masa lalu. []

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Shadow of The Past   Epilogue

    EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem

  • Shadow of The Past   [97] Hari Nanti

    SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju

  • Shadow of The Past   [96] Cuti

    KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi

  • Shadow of The Past   [95] Merelakan

    AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei

  • Shadow of The Past   [94] Vonis

    ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du

  • Shadow of The Past   [93] Persidangan

    “PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d

  • Shadow of The Past   [92] Pemulihan Diri

    SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.

  • Shadow of The Past   [91] Keponakan

    PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa

  • Shadow of The Past   [90] Obrolan

    AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status