MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama.
Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua.
Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah.
Meja berbentuk oval di sebuah ruangan megah tengah dikelilingi oleh dua orang wanita dan tiga orang pria. Di atas meja berbalut kaca itu tersaji hidangan makan yang akan membuat orang yang tak berkesempatan mencicipnya menelan saliva. Sosok yang tampak seperti kepala keluarga melambaikan tangan pada tiga orang pelayan, mengisyaratkan bahwa mereka sudah dibolehkan pergi.
Keheningan yang merambat di udara terasa menyesakkan. Namun, tak ada dari mereka yang memperlihatkan ketidaknyamanan. Mereka semua telah terbiasa. Di dalam rumah besar ini seolah telah tercantum peraturan tak tertulis yang meminta para anggota keluarganya untuk tak menunjukkan perasaan tersebut.
Kei sendiri terlalu enggan untuk berbasa basi. Diminta hadir pada acara makan malam keluarga berarti menyiratkan masalah. Dia takkan angkat bicara kecuali memang ditanya. Suara sang ibu, Mei Hasegawa, terdengar samar di telinganya. Dia sedang mengajak bicara sang menantu tercinta yang tak kunjung mendapatkan momongan bahkan setelah tiga tahun pernikahan.
"Izumi masih belum diperbolehkan mengandung setelah operasi itu, Ibu," jawab sang putra sulung, Juan Hasegawa. Nada suaranya terdengar amat monoton dan tak beremosi.
Perempuan berparas manis dengan rambut hitam panjang yang duduk di sebelah Juan menoleh pada sang ibu mertua. Senyuman bersalah tersemat di bibirnya.
"Aku akan berusaha untuk mempercepat penyembuhannya," kata Izumi.
Kalimat tadi adalah pernyataan retoris. Meskipun tanpa kerelaan, sudah seharusnya Izumi melakukan itu. Mei membalas senyum Izumi. Dia memberitahunya untuk tak perlu buru-buru.
"Kesehatanmu jauh lebih utama, Sayang," ungkapnya. "Aku dan ayah kalian sama sekali tidak mempermasalahkannya. Tapi, banyak orang-orang yang penasaran. Skandal akan selalu menodai nama sebuah keluarga. Kita tidak boleh merusak reputasi keluarga ini. Benar begitu, Yah?"
Pria paruh baya yang duduk di samping Mei pun mengangguk.
"Jaga istrimu baik-baik, Juan. Apakah kalian sudah mengunjungi Nakada-sensei?"
Juan mengiakan. "Beliau menanyakan kesehatanmu. Sebaiknya kau juga mengunjunginya."
Daiki kembali mengangguk. Ekspresinya tampak tak berubah, tapi kedua putranya tahu bahwa ayah mereka kelihatan puas atas informasi yang didapatnya.
"Sudah saatnya kami berbicara lebih serius agar Rodo tak selalu merasa di atas angin," ujar Daiki. "Kesehatan kakek kalian mulai memburuk. Dia bersikeras untuk menuliskan surat warisan." Dia menatap kedua putranya. "Aset Hasena Group sebagian besar akan jatuh di tangan Rodo sebagai putra sulung. Dia juga sepertinya akan mendapatkan seluruh warisan keluarga ini karena kakek kalian menghendaki penerus dari anak buyutnya, bukan cucu-cucunya. Dengan Juan dan Izumi yang belum dikaruniai keturunan, kita tak bisa berbuat banyak."
Kuyahan Kei terhenti seketika. Dia sudah mendengar berita kesehatan kakeknya, Tajima Hasegawa, tapi dia tak tahu tentang kriteria pewaris yang dimaksudkan. Pertanyaan Kei atas tujuan dari makan malam ini pun segera terjawab. Dia menatap piring dengan kosong ketika kembali mendengar ucapan ayahnya.
"Apa yang akan kalian lakukan jika Rodo mendapatkan semuanya?"
Pertanyaan tersebut bukan hanya ditujukan untuk Kei. Namun, tatapan sang ayah yang terpatri pada Kei menyiratkan bahwa pertanyaan itu diutarakan khusus untuknya.
Kei merasakan kemuakkan yang mulai memuncak. Dengan suara rendah dan terkesan tidak peduli, dia berujar, "Mungkin kita perlu membunuhnya? Seperti yang kaulakukan pada Kepala Polisi Shuji Harada—"
"Kei," tegur Mei. Dia tidak membentak ataupun meninggikan suara, tapi sudah cukup dikenali Kei sebagai bentuk peringatan.
Kei menatap kedua orangtuanya. Dia mengulas senyuman palsu.
"Aku bercanda," ujarnya pendek, benar-benar tidak peduli pada peringatan sang ibu. Dia memilih untuk menegaskan sesuatu sebelum dipojokkan oleh orang tuanya. "Jika kalian ingin aku menikah, semuanya akan sia-sia saja. Kesehatan kakek sudah memburuk. Aku juga tak bisa mendapatkan seorang keturunan dalam waktu instan." Dengan sengaja, dia memberi jeda sesaat sebelum berkata, "Jangka waktu untuk mengandung adalah sembilan bulan. Bukankah begitu, Ayah?"
Merah di telinga Daiki menunjukkan kemarahan. Dia menyelesaikan makan dengan cepat dan langsung beranjak dengan alasan kepentingan kerja. Sebelum pergi, dia sempat mengerling pada istrinya, memintanya mengurus sisa makan malam yang gagal ini.
Kei menahan dengkusan. Dia menurut saja ketika sang ibu memintanya tinggal sementara Juan dan Izumi meninggalkan ruangan. Mereka telah menghabiskan hidangan yang disajikan. Acara makan malam ini telah selesai. Namun, kelihatannya Kei harus mempertahankan kesabarannya lebih lama lagi.
Dia menyender di punggung kursi selagi mendengar ucapan Mei.
"Keluarga Huang akan langsung bersedia membagi sahamnya dengan sukarela jika kau menikahi putri tunggal mereka," kata Mei terang-terangan. "Apa yang membuatmu terus menunda pertunangan itu? Dia perempuan baik-baik, sopan, beretika, dan yang jelas takkan mempermalukanmu. Apa lagi yang kurang darinya?"
Kei menarik napas pelan, mencoba menata emosi. Ketika yakin untuk tidak terpancing kemarahan, dia berujar, "Kecerdasan."
Mei Hasegawa menatap putra bungsunya lurus-lurus.
"Dia adalah lulusan Oxford University—"
"Dengan mengandalkan bantuan seorang penerima beasiswa yang sekarang menjadi profesor di sana," timpal Kei. Dia mengerling pada ibunya. "Dia beruntung karena berasal dari keluarga berada. Mungkin aku akan lebih menghargainya kalau dia berhenti memohon padamu untuk membuatku menikahinya."
Mei tak terpancing dengan ucapan Kei. Dia masih kelihatan tenang, terlalu tenang sampai ketenangan itu terasa menyeramkan.
"Apakah kau masih berhubungan dengan artis murahan itu?"
"Siapa yang kaumaksud?" ujar Kei dengan kaku.
Mei melipat kedua tangannya di depan dada. "Perempuan yang dulu sering menggoda kakakmu." Dia mengamati Kei lamat-lamat. "Apakah sekarang dia menargetkanmu? Foto kalian yang baru keluar dari hotel telah beredar di kalangan kita. Apa lagi skandal yang harus ibu bersihkan?"
"Kami hanya berteman."
"Tentu saja kalian berteman. Dulu kakakmu juga mengatakan hal yang sama."
Seruak emosi telah menggumpal dalam dada. Kei berusaha mengosongkan pikiran selagi mengingatkan bahwa dia takkan mendapatkan keuntungan apa pun dengan meluapkan rasa marahnya. Yang perlu dia lakukan adalah menyudahi pembicaraan ini.
"Selama ini, aku telah mengikuti segala kenginanmu, termasuk membiarkanmu menentukan jalan karierku. Kau telah membuat Juan melakukan hal yang sama dengan ikut campur kehidupan pribadinya. Seperti yang kau tahu, aku akan tetap menuruti kemauanmu dan ayah jika kalian tak mencampuri kehidupan pribadiku. Aku bukan Juan yang bersedia mengorbankan keinginannya agar dapat membalas budi.” Tak mengindahkan ekspresi masam lawan bicaranya, Kei melanjutkan, “Aku ada janji malam ini, selamat malam, Ibu."
Menyambar jas hitamnya, Kei melenggang pergi dari ruang makan. Dia menarik pintu geser yang terbuat dari kayu spesial dan mengenakan alas kaki sebelum bergegas keluar. Halaman luas yang dihiasi kolam ikan segera terpampang di hadapannya. Kei memasuki mobil yang terparkir di halaman luas itu dan menutup pintunya dengan cukup keras. Embusan napas panjang keluar dari bibir. Dia hendak menghidupkan mobil ketika mendapatkan sebuah pesan singkat dari Juan.
"Kau masih waras?"
Kei mendengkus. Dia mengetikkan balasan.
"Kakak berengsek.
Katakan di depanku kalau kau berani.
Sebaiknya kau segera menggunakan otak brilianmu untuk mengatasi bencana ini."
Sebuah balasan segera didapatkan Kei.
"Nikahi Jia."
Kening mengerut. Kei mengetikkan kata 'Fuck
u.Sialan, kau memasang penyadap lagi?'"Nope," tulis Juan.
Kei berdecak dan kembali mengetik.
"Bullshit
Aku menemukannya
Mau menitip salam pada Yukie?"
Lima menit berlalu, Kei tak mendapatkan balasan. Dia menahan tawa, membayangkan ekspresi datar Juan yang tak bisa membalas ucapannya karena satu nama itu. Kei meletakkan ponsel di atas dashboard. Dia menghidupkan mobil dan hendak berjalan ketika kembali mendapatkan beberapa pesan masuk.
"Aku akan pergi ke London selama tiga hari.
Gantikan aku untuk menghadiri rapat dengan para co-production.
Kita akan mendapatkan proyek besar dari anak buah Shigaki."
Sejak kapan Akito Shigaki mau menurunkan gengsinya untuk bekerja sama dengan mereka?
Kei ingin bertanya, tapi yakin bahwa Juan takkan membalas akibat candaan tadi. Pada akhirnya, dia hanya mengetikkan kata 'ya'. Dalam perjalanan, dia mencoba menelan rasa penasarannya karena besok dia akan tetap mendapat jawaban. []
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere