Sebenarnya enggan sekali untuk Shanum kembali ke rumah keluarga Reksa, setelah akhirnya diperbolehkan keluar dari Rumah sakit. Namun, akan kemana lagi ia jika bukan ke rumah itu. Di kota ini Shanum tidak punya siapa pun selain suami dan keluarganya. Kebodohan Shanum lainnya yang baru ia sesali akhir-akhir ini.
Ya, ia memang sebodoh itu. Nekad hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara. Hanya demi bisa hidup dengan sang pujaan hati. Tak pernah sekalipun ia memikirkan hal buruk pada rumah tangganya, yang akan membuatnya membutuhkan sandaran lain selain sang suami.Tidak, Shanum tidak berniat kekanakan dan ingin kabur-kaburan jika ada masalah dalam rumah tangganya. Hanya saja, memang kadang kita butuh orang lain untuk sekedar berbagi dan mencari solusi untuk segala pelik yang tak bisa kita pikirkan sendiri. Memang curhat dan membagi aib keluarga sendiri itu tidak boleh. Namun, kalau memang tak sanggup memikirkannya sendiri. Tidak ada salahnya bertanya pada yang lebih paham, kan? Selain demi tidak salah langkah, hal itu juga baik untuk menjaga otak tetap waras.Bukannya, banyak ibu rumah tangga di luar sana yang akhirnya depresi karena memendam semua masalahnya sendirian? Stress yang akhirnya berujung pembunuhan. Entah itu membunuh dirinya sendiri atau anaknya dengan alasan agar tak mengalami hal yang mereka rasakan. Gila, kan? Ya, memang gila. Dan jelas Shanum tak mau sampai menjadi gila seperti itu menghadapi masalahnya sendiri. Karenanya, jika saja ia punya tempat pulang lain selain rumah Reksa. Shanum sangat ingin menyendiri dulu sejenak."Ada yang kamu butuhkan lagi, Sayang?" tanya Reksa perhatian, setelah membantu Shanum berbaring di tempat tidur mereka. Shanum hanya menjawab dengan gelengan kepala saja."Beneran?" Reksa memastikan lagi. Hatinya jujur tak nyaman sekali melihat keacuhan Shanum beberapa hari ini. Istrinya kembali menjawab dengan gerakan kepala."Ya udah, kamu istirahat aja kalau gitu. Biar cepet sembuh. Kalau butuh apa-apa. Kamu panggil Diva atau si Mbak aja, ya? Aku ... harus balik kantor soalnya." Reksa tetap berusaha menjalin komunikasi dengan sang istri.Namun, Shanum tetap setiap menjawab dengan gerakan kepala saja. Membuat Reksa menghela napas panjang diam-diam. Keengganan jelas terlihat pada diri Shanum untuknya. Seolah sudah malah sekali berbicara dengan sang suami."Aku pergi, ya? Telepon aku kalau ada apa-apa." Reksa membelai rambut Shanum dengan sayang, kemudian melabuhkan kecupan sayang di kening Shanum. Meski tidak menolak, wanita-nya tetap tak bergeming menerima keintiman yang Reksa berikan.Alih-alih tersipu malu seperti biasanya. Shanum hanya melirik Reksa sejenak, sebelum kemudian mencari posisi nyamannya. Setelah itu, wanita cantik yang baru saja kehilangan sang jabang bayi tersebut malah kini mulai memejamkan mata. Membuat Reksa kembali mendesah berat diam-diam. Ia tak pernah menyangka, ternyata diacuhkan Shanum akan sesakit ini.Apa begini juga yang istrinya rasakan selama ini?***"Sayang, aku mau bicara," ucap Reksa sore itu. Saat Shanum tengah menikmati waktunya dengan sebuah buku yang sedang ia gemari.Shanum memang suka sekali membaca. Tidak, gadis itu bahkan bisa disebut maniak. Karena kegemarannya membaca yang menurut Reksa kadang di luar nalar. Shanum bisa membaca banyak sekali buku jika ada waktu luang.Menanggapi ucapan sang suami, Shanum hanya menurunkan buku yang ada di tangannya dan menatap pria itu. Seolah memang menunggu Reksa menyampaikan maksud dan tujuannya sore itu.Sekarang Shanum memang pelit sekali meski hanya untuk menyeluarkan suara. Hilang sudah cerewet yang sempat dikeluhkan Reksa beberapa waktu lalu."Sayang, tadi Mama bilang ingin beli mobil baru untuk stand by di rumah ini. Soalnya mobil yang ada kan aku, papa dan bang Rendi yang gunakan. Repot katanya kalau ada perlu ke mana-mana. Apalagi jika urgen seperti kemarin. Akan sangat repot jika saja kejadiannya siang hari dan saat kami bertiga gak ada di rumah. Makanya, untuk jaga-jaga Mama ingin beli mobil lagi. Menurut kamu, bagaimana?" terang Reksa panjang lebar. Mencoba menyusun kata sebaik mungkin dihadapan Shanum. Berharap wanita itu mengerti dan tidak kembali mengajaknya bertengkar seperti biasa.Shanum terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya beranjak dari duduk nyamannya dan pergi ke arah nakas samping tempat tidur. Tidak lama, ia kembali lagi dengan sebuah buku ditangannya."Nih!" Shanum kemudian menyerahkan sebuah kartu Atm dan buku rekening yang ia ambil dari dalam buku, yang ia bawa sebelumnya.Reksa mengerjap bingung awalnya. Melihat ke arah wanita itu dan benda-benda yang di serahkan. Ia tak mengerti maksud Shanum dengan semuanya. Jadi, ini maksudnya setuju atau bagaimana?"Kamu setuju?" Reksa memilih menyuarakan benaknya."Terserah kamu saja," jawab Shanum seadanya. Kembali duduk di tempat semula setelah Reksa menerima barang yang ia serahkan. "Setelah ini kamu saja yang atur keuangan di keluarga ini." Shanum menambahkan sebelum meraih bukunya kembali."Loh, tapi ini ... kok kosong Atmnya?" ucap Reksa lagi dengan nada sedikit kaget, setelah akhirnya melihat angka yang tertera pada akhir cetakan di buku rekening.Diam-diam Shanum mendengkus pelan dan tersenyum penuh cibiran. Akhirnya bisa menunjukan pada sang suami, kondisi keuangan keluarga ini sebenarnya. Berharap jika pria itu tak lagi bertingkah seperti seorang sultan. Mau beli apa ya tinggal beli. Dikira uangnya tak habis-habis apa?"Num?" Reksa meminta atensi lagi. Mengejar penjelasan akan saldo akhirnya yang tertera di buku rekening yang sedang ia pegang.Bukannya memberikan penjelasan, Shanum malah membuka buku lain yang ia ambil tadi, dan menyerahkannya pada sang suami."Semua biaya bulanan sudah aku catat di sini. Kamu bisa lihat sendiri ke mana perginya uang dalam kartu itu," jawab Shanum santai.Reksa pun segera mengambil buku catatan yang Shanum serahkan. Melihat detail isinya dan mencerna semuanya dengan baik-baik. Pria itu pun semakin terkejut dengan semua fakta yang Shanum ungkap. Ternyata uang bulanan yang ia berikan kurang banyak selama ini. Dari catatan yang dilihat, jelas nominalnya berbeda dari uang yang selama ini ia berikan pada istrinya.Padahal, ia kira selama ini semuanya baik-baik saja dan ia pun sudah jadi suami yang sangat pengertian karena membiarkan Shanum menguasai seluruh gajinya. Ia tak pernah mengecek lagi apa semuanya cukup atau tidak membiayai seluruh kebutuhan keluarganya.Reksa sangat yakin jika gajinya pasti sangat cukup sekali. Bahkan banyak lebihnya. Secara gajinya kan memang besar sebagai seorang general manager. Lebih dari itu, urusan dapur masih di tanggung sang ayah. Sementara listrik dan air ditanggung abangnya, Rendi. Akan tetapi ... ini apa?"Num, kamu gak lagi korupsi, kan?" tuduh Reksa tiba-tiba. Sukses membuat mata Shanum kembali tajam menatapnya."Maksud kamu? Aku bikin catatan bohong untuk menggeruk uang kamu, gitu?" tukas Shanum sengit."Bukan gitu." Reksa segera memberi bantahan. "Tapi ini--""Kalau aku memang korupsi uang kamu. Harusnya Sekarang aku punya banyak perhiasan, kan? Bukan malah menjual satu persatu perhiasan pemberian orang tuaku!" pangkas Shanum cepat. Sukses membuat Reksa bungkam karena mengetahui fakta lainnya."Uncle Juna dan Frans sudah tahu tentang insiden mobil. Mereka mempercayakan Kakak sama aku. Makanya, aku nggak bisa ninggalin kakak di sini sendirian tanpa pengawasan."Shanum tidak jadi baper setelah mendengar alasan Safran. Yang ada malah kesal karena jawaban itu tak sesuai harapannya. Ternyata karena Daddy dan Frans. Bukan karena mereka ....Ah, sudahlah. Akhirnya, Shanum pun memilih tak banyak bicara lagi. Ikut saja apa keputusan Safran untuknya. Ia mengekor dengan patuh.Saat sampai, Shanum dan Renata Refleks meraih handel pintu belakang dengan kompak. Mereka pun terkejut dan saling melirik satu sama lain."Loh, kakak ngapain?" tanya Renata bingung. Sementara yang di tanya hanya mengerjap pelan. "Kakak kan harusnya duduk di depan sama kak Safran."Eh?Entah karena semasa gadis seringnya di antar jemput sopir, atau karena pas menikah sering di minta mengalah pada Ayu, Shanum memang jadi terbiasa duduk di belakang. Jadinya, hari ini pun ia refleks langsung menuju pintu ke dua. Sem
"Aku ada janji ketemuan sama temen di Jakarta hari ini. Tapi Papa sama Kak Geo nggak bisa anter. Udah hopeless tadinya. Kakak tau sendiri gimana Mama sama Papa aku, kan? Mereka nggak bakal biarin aku pergi jauh sendirian. Untung Kak Safran kemaren ada di rumah. Sorenya mau pulang ke sini. Jadinya aku bisa nebeng, deh."Renata sudah menjelaskan semuanya dengan ringan. Tetapi Shanum rasanya tak bisa fokus. Atensinya masih saja tersita pada tangannya yang .... ugh! Ingin sekali Shanum tarik biar nggak nempel terus sama Safran. Duh! Kenapa Shanum jadi emosian gini, ya?"Karena macet, kami jadi sampe sini malam banget. Niatnya mau nginep di apartemen Kak Safran aja. Besoknya baru ke sana. Eh, di tengah jalan mendadak Kak Safran banting stir ke hotel ini. Katanya ada urusan penting. Aku di tinggal di mobil dan ... tiba-tiba aja dibukain satu kamar. Katanya, dia nggak bisa ninggalin tempat ini semalam. Ada yang harus di jaga."Suara Renata kembali terdengar. Shanum masih kurang fokus sebena
"Kamu ...." Shanum mengerjap bingung melihat seseorang sudah berdiri dengan cengiran khasnya pagi ini, di depan pintu kamar hotel, tempatnya menginap semalam."Selamat pagi, Bu ..." sapanya riang seperti biasa.Shanum mengerjap lagi, raut bingung dan tak percaya nampak jelas di matanya. Bukan apa-apa, ini masih pagi, loh. Dan ... yang tahu dia menginap di sini hanya pria yang ikut menginap di sebelah kamarnya, Safran. Makanya Shanum kira tadi yang mengetuk pintu kamarnya adalah Safran. Eh, ternyata bukannya Safran yang dia lihat, malah gadis ini. Yuli, asistennya di kantor. Tetapi kini pertanyaannya adalah ...."Kamu kok tahu saya di sini?" Dari pada jerawatan memikirkannya, Shanum memilih menanyakan langsung."Oh ... saya tahu dari pak Safran."Hah?"Safran?" beo Shanum Orang di depannya mengangguk cepat. "Semalam Pak Safran chat saya sekitar jam 2 an. Beliau bilang, Penyakit lambung ibu kumat. Tidak bisa pulang dan terpaksa menginap di hotel tempat pesta di laksanakan. Saya di sur
"Akh!"Shanum memekik kaget ketika rasa dingin tiba-tiba saja menghantam halus dari kepala hingga sekujur tubuhnya. Ia menatap nyalang si pelaku."Apa yang kau lakukan--""Maaf, kak! Bukan aku tak menginginkanmu, tapi aku tak bisa jika keadaannya seperti ini."Seketika Shanum diam, rontaannya pun melemah seiring dengan hatinya yang langsung tertohok pada ucapan si pelaku barusan.Kenapa? Kenapa jadi begini? Bukannya dia harusnya senang dan ...."Aku tak ingin menyentuhmu diluar ikatan halal, Kak."Lagi-lagi Shanum tertohok. Tanpa sadar menggigit bibir dalamnya dengan perasaan yang entah. Ada rasa malu yang hadir menelusup, juga rasa bingung pada sikap pria di hadapannya ini. Safran, siapa lagi?Padahal Shanum sudah pasrah pada apa pun yang akan terjadi malam ini. Shanum juga melihat ada kilatan hasrat dari sorot pria ini. Akan tetapi ... kenapa? Kenapa dia tak melanjutkan pergumulan yang hampir terjadi dan malah melakukan ini. 'Pria yang benar-benar mencintaimu pasti akan menjagamu.
Hari terus berganti menjadi minggu, bulan, lalu tahun. Terhitung sudah satu tahun lebih kedekatan Nata dan Safran. Mereka semakin seperti ayah dan anak. Meski hanya bertemu di hari weekend. Tetapi itu tak menghalangi chemistry antara keduanya. Anehnya, hal itu seolah tak mengganggu Shanum sama sekali. Tetap abai dan biasa saja. Kasarnya, jandanya Reksa itu seperti tak tertarik memperbaharui status antara keduanya.Tidak perduli orang sekitar berkata apa. Tidak perduli alam memberi tanda apa, dan tidak perduli Nata selengket apa pada Safran. Shanum masih dengan kekeraskepalaannya.Memang, Shanum kini tak melarang Safran datang dan dekat dengan Nata. Anaknya diajak pergi keluar hanya berdua saja pun, tidak masalah. Kadang, mereka bahkan menikmati weekend bertiga layaknya keluarga cemara. Akan tetapi, sudah. Hanya begitu saja. Tidak ada lanjutan apa pun. Membuat hubungan Safran dan Nata makin dekat, tapi hubungan dengan ibunya jalan di tempat.Apalagi sekarang mereka sudah tidak terliba
"Ya, karena aku nggak mau dijodohkan dengan kamu Safran. Aku nggak mau nikah sama kamu!" Inginnya Shanum menjawab demikian. Sayangnya, kalimat barusan hanya bisa Shanum gaungkan dalam hati karena takut menyakiti hati Safran.Shanum menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata pedas. "Aku cuma khawatir Nata akan merepotkanmu, Safran. Kamu kan punya pekerjaan penting juga," ujarnya, berusaha terdengar rasional. Safran tersenyum, matanya berbinar penuh kesabaran. "Aku sudah bilang, tidak masalah. Lagipula..." Ia menatap bayi Nata yang sedang asyik memainkan kerah bajunya. "...Tingkah lucu Nata mampu membuatku sedikit melupakan tumpukan pekerjaan yang kadang membuat stress," imbuhnya tulus.Arjuna tersenyum paham. "Anak memang obat stress paling mujarab," ucapnya mengaminkan. Shanum merasa akan percuma saja berargumen saat ini. Maka dari itu, pada akhirnya dia pun membiarkan saja Baby Nata masih menguasai Safran. Menunggu bayi itu bosan sendiri. Hari berlalu
Suasana meja makan sempat meredup sejenak setelah Frans "sengaja" menjatuhkan sendok. Tetapi Arletta, yang paham maksud Frans, segera mengalihkan pembicaraan. "Ah, sudahlah. Yang penting masalah pembobolan apartemen sudah selesai. Sekarang kita bisa makan dengan tenang," ucapnya sambil mengambil nasi dan lauk dengan santai. Sayangnya Shanum, yang penasaran, tidak bisa menahan diri. "Tadi Mama Alle bilang ada gadis yang mirip ... siapa?" Arletta mengunyah perlahan, matanya melirik ke Frans yang memberi tatapan bermakna. "Ah, nggak penting. Mungkin Mama salah lihat." "Tapi—" "Shanum, makan dulu. Nanti nasinya dingin," sela Arjuna dengan nada halus, tampak acuh meski sebenarnya juga penasaran.Shanum menghela napas, tapi akhirnya menuruti. Namun, pikirannya masih penasaran. Siapa gadis yang mirip dengan seseorang hingga Frans sampai bereaksi seperti itu?*** Setelah makan malam, Shanum tidak bisa tidur. Pikirannya terus menerawang tentang obrolan tadi. Gadis yang menelepon Re
Arjuna hanya bisa mendesah panjang. "Kamu mau ke mana lagi, Arletta?"Mama Alle—Arletta—memasang wajah serius. "Ada sedikit urusan. Nggak lama, kok.""Urusan apa?" tanya Karina curiga. "Jangan bilang ada yang perlu kamu 'hajar' lagi.""Aduh, Mbak Rin. Jangan suudzon. Aku ini udah tobat, tahu," jawab Arletta santai, tapi tidak meyakinkan sama sekali."Lah, terus kenapa nggak pakai mobil? Kenapa harus motor?" tanya Arkana."Karena pakai motor lebih fleksibel. Aku nggak mau buang waktu kena macet," balas Arletta cepat.Safran yang masih menggendong Baby Nata hanya menggeleng. "Mama, kalau ada sesuatu yang berbahaya, bilang. Jangan malah pergi sendiri."Arletta menatap putranya dengan senyum tipis. "Saf, kamu kan tahu sendiri. Mama nggak mungkin sembarangan. Lagian, ini bukan urusan besar.""Kalau bukan urusan besar, kenapa buru-buru?" sambar Arkana.Arletta melirik Arkana sekilas, lalu menghela napas. "Oke, baiklah. Tadi ada telepon dari anak buah Reyn. Mereka dapat laporan tentang seseo
Setelah meeting selesai, suasana ruang rapat masih dipenuhi tawa kecil dari para staf. Baby Nata yang sejak tadi nyaman di pangkuan Safran kini mulai menguap lebar. Pipinya menempel di dada pria itu, tampak benar-benar merasa aman dan nyaman.Shanum, yang sejak tadi menunggu di luar, segera menghampiri Safran ketika pria itu keluar ruangan. "Aku pegang Nata, deh. Kamu pasti capek, kan?" tawarnya.Namun, begitu Shanum hendak mengambil Baby Nata, bocah itu langsung menggeliat, mengeratkan pelukannya pada Safran. "Pipi! Mau pipi! Mau pipi aja!"Semua orang yang kebetulan masih berada di sekitar mereka langsung menahan tawa. Shanum, di sisi lain, hanya bisa menghela napas dalam."Nata, ini Mama, Sayang. Sama Mama, ya?" Shanum kembali mencoba.Tapi Baby Nata justru menggeleng cepat. "Mau pipi!""Nata, kamu ini kenapa, sih?" Shanum mulai frustrasi. "Bukan berarti kamu nggak boleh suka sama Om Safran, tapi kan, ini keterlaluan! Masa kamu lebih milih dia daripada Mama sendiri?"Baby Nata tida