*Happy Reading*
"Kamu ... menjual perhiasan?" beo Reksa terkejut. "Kenapa?" tanyanya kemudian penasaran.Shanum tersenyum mencemooh di tempatnya. "Kamu kira, memang dari mana aku bisa menambal semua bolong biaya keluarga ini, kalau bukan dari hasil jual perhiasan.""Tapi ... kenapa bisa begitu? Bukannya biaya rumah ini masih dibantu Papa dan Kak Rendi. Kita udah sepakat untuk hal itu. Papa untuk biaya dapur. Listrik dan air dari Kak Rendy." Reksa masih tak bisa percaya begitu saja.Shanum menaikan bahu acuh seraya meraih bukunya sendiri. "Untuk hal itu. Kamu tanya kan saja pada orang-orang yang bersangkutan," ucap Shanum ambigu.Reksa terdiam lagi. Menatap Shanum lekat seolah mencari tanda kebohongan dari wanita itu. Namun, dari gestur dan rona wajahnya. Jelas tidak ada resah dan kepanikan yang biasanya bisa dilihat dari seseorang yang tengah berbohong.Itu berarti. Shanum jujur. Istrinya tidak sedang berbohong atau apalah itu. Akan tetapi, kenapa bisa begini? Siapa yang harus Reksa salahkah dari masalah kebocoran biaya rumah tangga ini?"Lalu, ini bagaimana jadinya?" Reksa kembali bertanya dengan nada bingung."Apanya?" tanya balik Shanum."Mobil baru permintaan Mama."Gigi Shanum mengatup kesal diam-diam. Jelas-jelas Reksa sudah lihat sendiri saldo rekeningnya kosong, kenapa pula masih bertanya begitu? Dia bodoh atau bagaimana?"Ya terserah kamu. Kalau kamu memang punya uang, silahkan beli. Aku gak keberatan, kok." Shanum menanggapi acuh."Tapi uangku kan di sini semua, Num. Selama ini aku hanya ambil sedikit untuk jatah bensin dan jajan kalau tak sempat makan. Di dompet aku sekarang cuma ada 500rb bagaimana aku bisa beli mobil?""Nah, udah tahu begitu. Kenapa masih nanya? Kamu berharap apa dariku yang cuma editor di penerbitan kecil ini?" tukas Shanum gemas sekali.Reksa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia pun bingung harus bagaimana sekarang. Kalau beli, uang dari mana. Gak beli, ya mamanya bisa merajuk panjang. Lalu, bagaimana sekarang?"Uhm ... kamu nggak ada gitu perhiasan yang masih tersisa. Biasanya perhiasan yang orang tua kamu beli kan mahal-mahal, Num. Bisalah kamu jual beberapa lagi buat beli mobil."Shanum menatap horor sang suami. Sungguh geram bukan main hatinya saat ini mendengar permintaan Reksa yang ... astaga! Beneran dia sudah tak punya otak dan rasa malu kayaknya. Bukan mengganti perhiasan yang sudah terpaksa Shanum jual, malah ....Di kasih hati minta jantung ternyata si Reksa ini, ya?"Silahkan kamu cari sendiri, Mas. Jika memang masih ada. Silahkan jual seperti yang kamu inginkan," ucap Shanum akhirnya dengan jengah.Luar biasanya. Mendengar hal itu bukannya malu, Reksa malah seolah baru saja mendapat ijin. Pria itu pun gegas mengacak-ngacak lemari demi mencari perhiasan yang biasa Shanum simpan di sana.Shanum mendesah getir di tempatnya. Semakin menyesali kebodohannya memilih dan mempertahankan Reksa."Num, kok gak ada?" tanya Reksa, saat tak jua menemukan apa yang dicarinya."Kalau gak ketemu ya berarti udah gak ada," jawab Shanum acuh."Kok bisa? Bukannya perhiasan kamu yang dari bunda itu banyak, ya? Aku sempat melihatnya, loh." Reksa makin menyebalkan."Dan kamu kira. Berapa lama aku menambal kebocoran keuangan keluarga kamu?" tukas Shanum semakin jengah. "Satu tahun lebih bukan waktu yang singkat, Mas. Apalagi Mama dan keluarga kamu menuntut aku selalu menyiapkan makanan yang enak setiap hari. Kamu kira, bahan-bahannya gak mahal?" imbuh Shanum lagi."Apa maksud kamu?" Reksa menoleh tak terima. "Kok, kamu jadi nyalahin Mama sama keluarga aku, sih? Seolah-olah kami sudah jadi parasit di hidup kamu?"Faktanya, tanpa sadar memang itulah yang terjadi. Keluarga Reksa bukan hanya sudah menggerogoti harta yang ia bawa sebelum menikah, juga tenaga Shanum selama ini. Dengan alasan 'Bakti' mereka semua, kecuali Papa Mertua, memaksa Shanum melayani kebutuhan rumah ini.Shanum bahkan sampai harus kehilangan sang jabang bayi karena terlalu lelah. Mengingat hal itu, hatinya kembali bergolak. Antara marah, kecewa dan sedih membaur jadi satu."Aku gak bilang begitu, loh." Shanum masih berusaha menjawab sesantai mungkin."Tapi kalimat kamu mengartikan demikian!" tukas Reksa geram."Ya makanya aku balikin kartu itu sama kamu dan minta kamu aja yang mengatur keuangan kedepannya. Karena aku gak mau sampai ada salah faham lagi antara kita," jawab Shanum tenang sekali.Reksa terdiam. Rona wajahnya memerah karena juga sama tengah memendam emosi pada Shanum. Dia sungguh tak terima keluarganya di tuduh sebagai parasit. Terutama sang Mama. Tidak! Mamanya bukan seorang parasit!"Okeh!" seru Reksa akhirnya. "Aku setuju hal itu. Lihat saja! Akan kubuktikan jika ucapan kamu barusan salah. Dan sebenarnya memang kamunya saja yang boros!" Finalnya kemudian dengan menggebu-gebu.Setelah itu, Reksa pun berderap pergi begitu saja. Meninggalkan Shanum yang memilih meraih bukunya kembali dan melanjutkan acara membaca yang sempat terinterupsi oleh Reksa.Terserah pria itu sajalah. Toh, kebenaran akan muncul juga lambat laun.***"Sa, gimana? Jadinya kapan kita beli mobil?" tanya Sang Mama di sela obrolan makan malam itu.Reksa terlihat gelagapan. Lalu menggaruk hidungnya tanpa sadar. Ia melirik Shanum, seolah meminta bantuan untuk menjelaskan kondisi keuangan saat ini.Namun, apa Shanum akan membantu? Tentu saja tidak. Jangankan ingin membantu, perduli saja ia sudah tak ingin. Lagi pula, bukannya pria itu sendiri yang tadi berkoar ingin memberi pembuktian pada Shanum."Uhm ... kayaknya bulan ini gak bisa deh, Mah. Soalnya ... uhm ... uang Reksa tidak cukup," jawab pria bergelar suami Shanum pelan dan hati-hati sekali."Loh kok gitu? Bukannya gaji kamu besar ya, Sa?" tanya Mama Rima tak terima. "Ah ... jangan-jangan kamu tidak mengijinkan ya, Shanum?" tuduhnya kemudian pada sang menantu seenaknya.Shanum yang di bawa-bawa pun mengangkat wajahnya malas. Sepertinya, apa pun masalah di keluarga ini. Selalu saja dia yang jadi biang keroknya. Padahal ...."Shanum bahkan sudah gak pegang Atm Mas Reksa lagi, Ma," jawabnya acuh."Loh, kok begitu? Kenapa? Pasti kamu ketahuan boros selama ini, ya? Atau malah korupsi. Makanya Reksa ambil kembali Atmnya. Haahh ... sudah Mama duga, sih!" Nyonya Rima yang terhormat semakin seenaknya menuduh. "Kan, apa Mama bilang, Sa. Kamu jangan terlalu percaya sama istri kamu ini. Dia itu gak bisa ngatur keuangan! Daripada dia, mending sini, biar Mama aja yang atur. Di tangan Mama semuanya pasti beres!"Shanum tak perduli lagi pada apa pun tuduhan mertuanya. Percuma juga ia membela diri. Di mata sang mertua, Shanum kan tidak pernah benar."Iya, Ma. Mulai besok Mama aja yang atur gaji Reksa." Sang putra menimpali dengan senang hati. Membuat Sang Mama tersenyum lebar sekali."Nah, kalau gitu. Kita gak jadi beli mobil baru dong bulan ini?" Sang Kakak ipar, atau istrinya Kak Rendy mengembalikan obrolan."Nggak. Bulan besok aja." Reksa menjawab."Kenapa gak kredit aja dulu? Dp-nya kan bisa pinjem uang Shanum. Meski gajinya kecil, tapi kan selama ini dia numpang hidup sama kita. Gajinya gak ke mana-mana. Pasti udah banyak tuh di simpan. Cukuplah buat sekedar DP saja," usul sang Kakak ipar yang tak kalah parasitnya dari sang Mama Mertua."Ah benar juga itu." Reksa seperti baru mendapatkan ide brilian. "Mana, Num? Sini uang gaji kamu. Aku pakai dulu buat DP mobil. Pinjem, deh. Bulan depan aku ganti," imbuhnya jumawa. Benar-benar meremehkan gaji Shanum yang memang kecil di matanya.Shanum melirik Reksa sejenak. Tatapannya datar bukan main. Setelah itu, menggerakkan dagunya ke arah sang mertua. "Coba kamu tanya Mama, Mas. Sejak menikah ATM gaji aku dipegang Mama soalnya. Katanya, sih. Anggap aja bayar sewa selama aku tinggal di sini.""Kamu lagi ng'prank ya, Sha?" Shanum memijat keningnya yang mendadak pening. Luar biasa memang Safran itu. Padahal Shanum sudah bilang tidak harus malam ini juga. Minggu depan, atau minimal lusa gitu baru datang. Shanum kan juga butuh persiapan di sini. Akan tetapi pria itu seolah tuli. Tetap bersikukuh akan datang malam nanti bersama kedua orang tua. Alhasil beginilah jadinya, Mama Alle dan Bunda Karina tak henti meneleponnya, membuat Shanum tidak fokus bekerja. Ah, jadi nyesel tadi nantangin. "Sha?" Suara Bunda Karina terdengar memanggil kembali sebab Shanum tak kunjung memberi jawaban."Sha nggak lagi ngeprank, Bun.""Jadi bener? Kamu minta Safran datang melamar?" tuntut Bunda Karina cepat.Shanum mendesah berat. Kesal sekaligus gemas dengan Safran yang terlalu sat set. "Sha cuma bilang, kalau dia beneran serius, datang saja ke rumah bersama orang tuanya.""Ma--""Sha nggak bilang malam ini juga, Bun." Shanum lekas menyela meyakinkan bunda Karina. Ia merasa harus memberi pembe
"Uncle Juna dan Frans sudah tahu tentang insiden mobil. Mereka mempercayakan Kakak sama aku. Makanya, aku nggak bisa ninggalin kakak di sini sendirian tanpa pengawasan."Shanum tidak jadi baper setelah mendengar alasan Safran. Yang ada malah kesal karena jawaban itu tak sesuai harapannya. Ternyata karena Daddy dan Frans. Bukan karena mereka ....Ah, sudahlah. Akhirnya, Shanum pun memilih tak banyak bicara lagi. Ikut saja apa keputusan Safran untuknya. Ia mengekor dengan patuh.Saat sampai, Shanum dan Renata Refleks meraih handel pintu belakang dengan kompak. Mereka pun terkejut dan saling melirik satu sama lain."Loh, kakak ngapain?" tanya Renata bingung. Sementara yang di tanya hanya mengerjap pelan. "Kakak kan harusnya duduk di depan sama kak Safran."Eh?Entah karena semasa gadis seringnya di antar jemput sopir, atau karena pas menikah sering di minta mengalah pada Ayu, Shanum memang jadi terbiasa duduk di belakang. Jadinya, hari ini pun ia refleks langsung menuju pintu ke dua. Sem
"Aku ada janji ketemuan sama temen di Jakarta hari ini. Tapi Papa sama Kak Geo nggak bisa anter. Udah hopeless tadinya. Kakak tau sendiri gimana Mama sama Papa aku, kan? Mereka nggak bakal biarin aku pergi jauh sendirian. Untung Kak Safran kemaren ada di rumah. Sorenya mau pulang ke sini. Jadinya aku bisa nebeng, deh."Renata sudah menjelaskan semuanya dengan ringan. Tetapi Shanum rasanya tak bisa fokus. Atensinya masih saja tersita pada tangannya yang .... ugh! Ingin sekali Shanum tarik biar nggak nempel terus sama Safran. Duh! Kenapa Shanum jadi emosian gini, ya?"Karena macet, kami jadi sampe sini malam banget. Niatnya mau nginep di apartemen Kak Safran aja. Besoknya baru ke sana. Eh, di tengah jalan mendadak Kak Safran banting stir ke hotel ini. Katanya ada urusan penting. Aku di tinggal di mobil dan ... tiba-tiba aja dibukain satu kamar. Katanya, dia nggak bisa ninggalin tempat ini semalam. Ada yang harus di jaga."Suara Renata kembali terdengar. Shanum masih kurang fokus sebena
"Kamu ...." Shanum mengerjap bingung melihat seseorang sudah berdiri dengan cengiran khasnya pagi ini, di depan pintu kamar hotel, tempatnya menginap semalam."Selamat pagi, Bu ..." sapanya riang seperti biasa.Shanum mengerjap lagi, raut bingung dan tak percaya nampak jelas di matanya. Bukan apa-apa, ini masih pagi, loh. Dan ... yang tahu dia menginap di sini hanya pria yang ikut menginap di sebelah kamarnya, Safran. Makanya Shanum kira tadi yang mengetuk pintu kamarnya adalah Safran. Eh, ternyata bukannya Safran yang dia lihat, malah gadis ini. Yuli, asistennya di kantor. Tetapi kini pertanyaannya adalah ...."Kamu kok tahu saya di sini?" Dari pada jerawatan memikirkannya, Shanum memilih menanyakan langsung."Oh ... saya tahu dari pak Safran."Hah?"Safran?" beo Shanum Orang di depannya mengangguk cepat. "Semalam Pak Safran chat saya sekitar jam 2 an. Beliau bilang, Penyakit lambung ibu kumat. Tidak bisa pulang dan terpaksa menginap di hotel tempat pesta di laksanakan. Saya di sur
"Akh!"Shanum memekik kaget ketika rasa dingin tiba-tiba saja menghantam halus dari kepala hingga sekujur tubuhnya. Ia menatap nyalang si pelaku."Apa yang kau lakukan--""Maaf, kak! Bukan aku tak menginginkanmu, tapi aku tak bisa jika keadaannya seperti ini."Seketika Shanum diam, rontaannya pun melemah seiring dengan hatinya yang langsung tertohok pada ucapan si pelaku barusan.Kenapa? Kenapa jadi begini? Bukannya dia harusnya senang dan ...."Aku tak ingin menyentuhmu diluar ikatan halal, Kak."Lagi-lagi Shanum tertohok. Tanpa sadar menggigit bibir dalamnya dengan perasaan yang entah. Ada rasa malu yang hadir menelusup, juga rasa bingung pada sikap pria di hadapannya ini. Safran, siapa lagi?Padahal Shanum sudah pasrah pada apa pun yang akan terjadi malam ini. Shanum juga melihat ada kilatan hasrat dari sorot pria ini. Akan tetapi ... kenapa? Kenapa dia tak melanjutkan pergumulan yang hampir terjadi dan malah melakukan ini. 'Pria yang benar-benar mencintaimu pasti akan menjagamu.
Hari terus berganti menjadi minggu, bulan, lalu tahun. Terhitung sudah satu tahun lebih kedekatan Nata dan Safran. Mereka semakin seperti ayah dan anak. Meski hanya bertemu di hari weekend. Tetapi itu tak menghalangi chemistry antara keduanya. Anehnya, hal itu seolah tak mengganggu Shanum sama sekali. Tetap abai dan biasa saja. Kasarnya, jandanya Reksa itu seperti tak tertarik memperbaharui status antara keduanya.Tidak perduli orang sekitar berkata apa. Tidak perduli alam memberi tanda apa, dan tidak perduli Nata selengket apa pada Safran. Shanum masih dengan kekeraskepalaannya.Memang, Shanum kini tak melarang Safran datang dan dekat dengan Nata. Anaknya diajak pergi keluar hanya berdua saja pun, tidak masalah. Kadang, mereka bahkan menikmati weekend bertiga layaknya keluarga cemara. Akan tetapi, sudah. Hanya begitu saja. Tidak ada lanjutan apa pun. Membuat hubungan Safran dan Nata makin dekat, tapi hubungan dengan ibunya jalan di tempat.Apalagi sekarang mereka sudah tidak terliba
"Ya, karena aku nggak mau dijodohkan dengan kamu Safran. Aku nggak mau nikah sama kamu!" Inginnya Shanum menjawab demikian. Sayangnya, kalimat barusan hanya bisa Shanum gaungkan dalam hati karena takut menyakiti hati Safran.Shanum menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata pedas. "Aku cuma khawatir Nata akan merepotkanmu, Safran. Kamu kan punya pekerjaan penting juga," ujarnya, berusaha terdengar rasional. Safran tersenyum, matanya berbinar penuh kesabaran. "Aku sudah bilang, tidak masalah. Lagipula..." Ia menatap bayi Nata yang sedang asyik memainkan kerah bajunya. "...Tingkah lucu Nata mampu membuatku sedikit melupakan tumpukan pekerjaan yang kadang membuat stress," imbuhnya tulus.Arjuna tersenyum paham. "Anak memang obat stress paling mujarab," ucapnya mengaminkan. Shanum merasa akan percuma saja berargumen saat ini. Maka dari itu, pada akhirnya dia pun membiarkan saja Baby Nata masih menguasai Safran. Menunggu bayi itu bosan sendiri. Hari berlalu
Suasana meja makan sempat meredup sejenak setelah Frans "sengaja" menjatuhkan sendok. Tetapi Arletta, yang paham maksud Frans, segera mengalihkan pembicaraan. "Ah, sudahlah. Yang penting masalah pembobolan apartemen sudah selesai. Sekarang kita bisa makan dengan tenang," ucapnya sambil mengambil nasi dan lauk dengan santai. Sayangnya Shanum, yang penasaran, tidak bisa menahan diri. "Tadi Mama Alle bilang ada gadis yang mirip ... siapa?" Arletta mengunyah perlahan, matanya melirik ke Frans yang memberi tatapan bermakna. "Ah, nggak penting. Mungkin Mama salah lihat." "Tapi—" "Shanum, makan dulu. Nanti nasinya dingin," sela Arjuna dengan nada halus, tampak acuh meski sebenarnya juga penasaran.Shanum menghela napas, tapi akhirnya menuruti. Namun, pikirannya masih penasaran. Siapa gadis yang mirip dengan seseorang hingga Frans sampai bereaksi seperti itu?*** Setelah makan malam, Shanum tidak bisa tidur. Pikirannya terus menerawang tentang obrolan tadi. Gadis yang menelepon Re
Arjuna hanya bisa mendesah panjang. "Kamu mau ke mana lagi, Arletta?"Mama Alle—Arletta—memasang wajah serius. "Ada sedikit urusan. Nggak lama, kok.""Urusan apa?" tanya Karina curiga. "Jangan bilang ada yang perlu kamu 'hajar' lagi.""Aduh, Mbak Rin. Jangan suudzon. Aku ini udah tobat, tahu," jawab Arletta santai, tapi tidak meyakinkan sama sekali."Lah, terus kenapa nggak pakai mobil? Kenapa harus motor?" tanya Arkana."Karena pakai motor lebih fleksibel. Aku nggak mau buang waktu kena macet," balas Arletta cepat.Safran yang masih menggendong Baby Nata hanya menggeleng. "Mama, kalau ada sesuatu yang berbahaya, bilang. Jangan malah pergi sendiri."Arletta menatap putranya dengan senyum tipis. "Saf, kamu kan tahu sendiri. Mama nggak mungkin sembarangan. Lagian, ini bukan urusan besar.""Kalau bukan urusan besar, kenapa buru-buru?" sambar Arkana.Arletta melirik Arkana sekilas, lalu menghela napas. "Oke, baiklah. Tadi ada telepon dari anak buah Reyn. Mereka dapat laporan tentang seseo