"Oke, semua setuju, kan. Jadi, aku yang memilih tempatnya. Ada dua tempat mau ke Farm House atau Orchid Forest di Cikole. Mau yang mana?" usul Iis yang membuat semua berpikir keras. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Orchid Forest atuh!" Serempak Ujang dan Tania menjawab kegirangan. Asep menepuk jidatnya lagi. "Tetap, kita minta ijin dulu ke keluarga kalian, kan?" ujar Asep yang membuat mereka berpikir. Dan sepakat setuju, berangkat ke rumah Tania dan Iis. Sekalian menitipkan barang-barang mereka. "Bagaimana Gema dan Abah, boleh? Ayolah ...," tanya Tania. "Pak, Bu. Boleh, kan? Ya, ya!" tanya Iis ke kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama di teras rumah Tania. Asep dan Ujang tersenyum tetap menunggu di teras dekat gerobak. "Duh, berdebar jantungku. Seperti bertemu camer nih." Ujang menarik napas dalam-dalam. "Huhf!" Asep menahan tawanya. Asep Saepudin dan Ujang Sumarwan sudah sangat akrab dengan warga setempat. Mereka sering membantu kegiatan RT dan RW. Juga mengontrak di jalan besar seberang taman Galaksi. Gema menatap dalam Si Badut. Pak Aan pun menatap Ujang, kedua pria itu menundukkan kepala. Pak Aan memanggil mereka untuk berbicara sebentar. "Cuma ke sana saja? Tidak ke mana-mana lagi? Tidak ada maksud lain, kan?" cecar Aan yang penuh curiga. Gema menepuk-nepuk bahu Asep. "Iya, Pak. Kang Gema. Cuma dua jam di sana. Langsung pulang kok." Ujang meyakinkan. "Baiklah, jangan lebih dari jam 21.00. Jaga mereka dan hati-hati di jalannya," ucap Gema yang disetujui Aan. *** Para wanita bersorak gembira, langsung masuk berdandan rapi dan cantik. Ujang dan Asep berbincang bersama keluarga kecil Tania dan Iis. Mereka pun berangkat dan sampai di tempat wisata Orchid Forest, Cikole, Lembang-Bandung. Di sana penuh pohon pinus, kebun bunga, dan resort yang indah dihiasi lampu gantung warna-warni. Paling lucu adalah pria-pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang melihatnya. Ujang dan Asep tetap menggunakan kostum pentas tadi. Tania dan Iis tertawa dengan memukul tangan masing-masing. Dengan percaya dirinya tetap berjalan-jalan dan berswafoto. Saat foto berempat Iis sangat jail, dia mendorong Tania ke samping. Dibantu Ujang dari belakang mendorong Asep. Hingga dua orang itu bertabrakan dan saling berpelukan. Lensa kamera pun mengabadikan momen itu. Pria bermata cokelat nan tajam, begitu lekat menatap wajah cantik Tania. Jantung Asep berdebar kencang, untuk pertama kali baginya terpesona oleh sesuatu. Wajah pria yang kaku itu berubah jadi merah merona lagi. Tania semakin mati kutu, wajahnya pun semerah tomat. Tania melihat jelas rahang yang kokoh, tanpa sadar menyentuhnya. Ujang dan Iis memberi jempol, misinya sukses. "Permisi!" ujar Asep yang berlalu pergi ke kursi kayu. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku ada di mana ini. Apa aku di surga, ya?" Tania berjongkok menghadap lampu jalan dan menahan jeritnya. "Momen yang tepat. Ayo, kita pergi aja. Bukannya mau ke toilet tadi?" tanya Iis ke Ujang yang membenarkan perkataannya. Mereka cekikikan meninggalkan kedua sahabatnya. "Iis ... Kamu—, kok pada pergi! Ujang! Iis!" panggil wanita berambut ikal panjang itu. Asep menoleh dan menghampiri Tania. "Kamu enggak apa-apa? Kenapa berteriak?" Asep celingukan mencari Ujang dan Iis. "Ah, maaf. Aku kaget saja. Tiba-tiba sendirian. Aku tidak suka sendirian." Suasana hati Tania berubah jadi sendu. "Oh, tadi aku merasa tanganmu dingin. Ada yang sakit?" Tania terdiam dan napasnya mulai tersengal-sengal. Asep menyadari itu, menarik tangan untuk duduk di kursi. "Aku kedinginan ... jalan jauh. Aku punya asma. Ambil Ventolin Inhalerku di tas! Cepat!" pinta Tania yang mulai batuk-batuk dan merasa sesak napas. "Oke, sebentar. Makannya jangan pakai short dress tipis gini sih." Dia menemukannya. Tania langsung menghisap obatnya dengan cepat. Asep mengambil jaket kulit warna cokelat di tasnya, langsung diletakkan ke punggung Tania. "Pakai." "Nanti kamu kedinginan juga!" "Tidak, aku bisa genggam tanganmu, kan? Kita jadi hangat." Terdengar sangat indah kata-kata itu. Membuat wanita yang sudah lama single jadi meleleh parah. "Duh, kok panas, ya? Mau ke toilet dulu? Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian." Tania hanya mengangguk. Dua orang itu berjalan sambil bergandengan tangan. Tania menatap lekat tangan besar dan kekar itu. Dia merasakan kehangatan yang berbeda dan terlindungi. Asep mempererat genggaman setiap ada keramaian di jalan yang dilaluinya. Sesekali tubuh tegap Asep menjadi penghalang untuk menghalangi orang yang akan menabrak Tania. Malam yang indah dan di tempat yang romantis. Hari ini adalah kenangan indah di taman bunga. Akhirnya, Iis dan Ujang muncul dengan tertawa riang. Ujang sudah berganti pakaian, disusul Asep yang sudah merasa gerah dan mengganti pakaiannya. "Oh, My God! Oh, My Lord! Tania liat mereka. Tuh kan mereka cocoknya jadi model!" puji Iis saat dua pria berjalan beriringan dan berpakaian modis. Berjalan ke arah mereka seperti sedang catwalk. "Oh, Mamamia lezatoz! Ganteng banget!" ucap Tania yang tidak berkedip sedikitpun. "Untung kita ganti baju, kalau cuma kaos oblong dan training. Serasa beda kasta. Kharismatik mereka di luar nalar." Langsung Iis mengambil foto yang banyak. "Kalian tutup mulut. Nanti lalat masuk." Asep mencubit pipi Tania, tapi dia terdiam saat menyadari pipi Tania bengkak. "Pipimu kenapa? Abis ditonjok? Ngomong sama siapa? Preman yang kemarin?" tanya Asep yang penuh khawatir. "Oh, tadi pagi abis di tampar. Itu Teh Cindy, tapi aku sudah membalasnya dengan tendangan langit." Iis menyombongkan diri, Ujang pun bertepuk tangan. "Tania?" "Yuk, enggak usah dibahas. Aku ingin senang-senang di sini." *** Mereka pun bersenang-senang selama dua jam. Pukul 21.00 WIB pun pulang ke rumah Tania. Baru sampai di teras depan terdengar pertengkaran lagi. Iis memeluk Tania yang gemetar hebat. Ujang dan Asep menajamkan instingnya. Tanpa menoleh sedikit pun dua orang itu merasakan ada yang mengintai rumah itu. "Apa itu dia?" bisik Ujang. Dibalas Asep, "Entahlah, kita teruskan saja." "Mana anak sialan itu! Aku tidak peduli, kamu sama Tania harus bayar hutang itu." Rose marah besar, ketika dinasehati anaknya dan melawannya. "Nah, tuh datang. Masa kita pulang malam di marahin. Dia enggak dimarahin tuh. Marahin juga dong! Memang, enggak adil!" keluh Cindy yang keluar rumah. Memandangi kedua pria itu dengan sinis. "Kalau enggak bisa cari pacar! Tolong, berguna sedikit, ya!" sindir Cindy yang membuat Iis ingin menendangnya lagi. Namun, langsung ditahan Ujang. "Kalau kamu masih bisa ketawa bahagia. Berarti masih sanggup bayar semuanya. Masuk! Besok cari uang lagi!" perintah Rose sambil menjambak Tania. Ujang dan Asep syok, berlari untuk membantu Tania. Iis membawa kursi lipat langsung dilempar ke tubuh Rose."Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d