Share

Si Brengsek dari Masa Lalu
Si Brengsek dari Masa Lalu
Penulis: SageGreen_

Tiba-Tiba Pindah

Sandra menangis sesenggukan di sebuah kamar mandi berukuran 2x2 meter. Wanita itu menahan sakit yang amat dalam di dalam dada, dan juga perut bagian bawahnya yang mengalami kontraksi hebat. Cairan berwarna merah menyala itu mengalir sangat deras keluar dari bagian bawah tubuhnya. Beberapa saat kemudian, bongkahan berukuran agak besar dan kecil keluar bersamaan di bawah lantai kamar mandi.

“M-maaf, maafkan mama, Nak." Sandra terisak sambil terduduk di bawah lantai kamar mandi. Tak peduli lagi dengan air shower yang dingin mengucur deras di atas kepala dan tubuhnya yang tak berbusana.

Sandra melirik bongkahan-bongkahan itu, lalu dengan sisa tenaga yang ada pada tubuhnya, dia berjongkok memungutinya dengan menggunakan sarung tangan yang sudah ia pakai sejak sebelum dia melakukan aksinya. Bongkahan berwarna merah merekah itu ia masukkan ke dalam kantong berwarna hitam dan ia masukkan ke dalam kotak plastik bening. Setelah berhasil ia masukkan, dia melepas sarung tangannya lalu meraih ponsel yang sudah ada di atas wastafel.

Sandra meringis sambil menangis kemudian mengarahkan gawainya ke kotak plastik tersebut. “Ini akan mama tunjukkan pada badjingan itu,” serunya seraya tersenyum pilu.

Sementara di tempat lain, Tyo mondar-mandir gelisah karena sebelumnya sudah mendengar kabar jika Sandra akan melakukan aksinya tengah malam ini. Hatinya diliputi perasaan sangat bersalah, marah, dan sedih. Bodohnya, dia tak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya itu, hal yang sangat mustahil dia lakukan. Setelah terasa pegal mondar-mandir, dia lalu duduk di kursi yang ada di balkon apartementnya.

Sandra calling...

Buru-buru Tyo menjawab panggilan telponnya. “Sayang... Bagai—”

“Dia sudah mati! Apa kamu sudah puas, atau sekarang sudah tertawa bahagia?!” gertak Sandra di seberang sana.

Tyo menghela napas berat lalu mengusap keringat dingin yang tiba-tiba keluar dari pelipisnya. “Tidak... Aku tidak berpikiran seperti itu, Sandra. Mana mungkin aku bisa bahagia?” belanya seolah tidak ikhlas.

Sandra tertawa miris di seberang sana sembari berkata kasar. “Bajingan! Kamu adalah seorang bajingan! Kamu hanya mementingkan dirimu sendiri, dan tidak pernah mengerti perasaanku! Apa kamu tidak penasaran bagaimana keadaanku sekarang. Jika aku tidak mati, itu juga sudah sebuah keberuntungan,” racau Sandra seraya menangis semakin keras.

Lag-lagi Tyo menghela napas berat. Kemana dirinya pergi setelah berhasil menghamili Sandra? Bukannya bertanggung-jawab dirinya malah terang-terangan menyuruh wanita itu menggugurkan kandungannya dan membelikannya sebuah obat khusus untuk Sandra. Akibat dari pikiran piciknya itu, Sandra lah yang akhirnya memikul beban itu sendiri.

“Pengecut! Bajingan! Bangsaatt!” umpat Sandra kembali.

Tyo membeku di tempatnya. Tanpa basa-basi dia segera menutup panggilannya lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Tak lupa ia menutup pintu balkon, kemudian meraih kunci mobilnya. Malam itu, Tyo segera melajukan mobil bmw-nya menuju kota tempat kelahiran Sandra. Jarak kota S ke kota Y membutuhkan waktu tempuh sekitar empat jam. Malam itu Tyo memang sengaja tak membawa supir pribadi bersamanya, karena akan menyelesaikan masalah pribadinya tanpa bayang-bayang dari orang lain.

Sementara di tempat lain, Sandra buru-buru berdiri dan segera membersihkan tubuhnya yang bersimbah darah. Hujan deras malam itu menambah kengerian dan kesedihan yang mendalam bagi Sandra. Dia menangis di bawah guyuran shower, kedua tangannya berpijak pada dinding kamar mandi sambil sesekali dia menertawai betapa kejamnya dirinya malam ini.

Setelah cukup lama berada di dalam kamar mandi, membersihkan seluruh tubuh dan semua pakaian yang menempel. Sandra akhirnya keluar, dengan langkah tertatih, kemudian meraih obat-obatan yang ada di atas nakas, buru-buru dia minum. Selain itu, tubuhnya terasa sedikit sempoyongan, tetapi lebih hebatn lagi, fisik Sandra ternyata jauh lebih kuat. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran ranjang, lalu mulai membaca pesan-pesan yang dikirim Tyo.

“Lihat! Bahkan dia hanya mengirimkan pesan tidak berguna seperti ini, dasar bajingan tengik!” umpat Sandra.

Dari pada lelah menanggapi ocehan Tyo di dalam aplikasi berwarna hijau. Sandra kemudian memejamkan mata sambil sesekali meringis merasakan perutnya yang masih sangat nyeri. Hingga akhirnya dia terlelap menyambut mimpi.

Keesokan paginya, rumah Sandra sudah heboh karena ada tamu yang memencet bel berkali-kali. Padahal jam masih menunjukkan pukul 06.00 pagi tetapi, orang itu benar-benar tidak sopan bertamu sepagi ini. Akhirnya, asisten rumah tangga Sandra yang tergopoh-gopoh untuk segera membukakan pintu. Perlahan pintu pun dibuka.

“Maaf, pagi-pagi sekali mau cari siapa ya, Tuan?” tanya Marni asisten rumah tangga Sandra.

Tyo berdiri dengan wajah pucat pasi. “S-Sandra ada?”

Marni mengangguk pelan. “Ya, ada. Tapi ... Nona, sedang tidak enak badan, Tuan.”

Tyo terkejut kemudian memaksa masuk ke dalam rumah Sandra. Tapi, gerakannya ditahan oleh Marni. “Tuan, tidak boleh sembarangan masuk. Bapak dan Ibu sedang tidak ada di rumah, jadi, tolong Anda segera pergi dari rumah ini. Atau Tuan bisa membangunkan Tuan muda.”

Gerakan Tyo mengendur, tubuhnya tak berdaya. Setelah sedikit cekcok dengan Marni, suara lantang dari dalam rumah mengagetkan mereka berdua. Siapa lagi kalau bukan Sandra.

“Siapa tamunya, Mbak?” teriak Sandra dari lantai dua. “Pagi-pagi sudah berisik sekali,” sambung Sandra kemudian mengikat kimono satinnya lalu berjalan ke bawah lantai satu. Sungguh jika tidak ada suara ribut-ribut di bawah, dia tidak akan bangun sepagi ini. Seluruh tubuhnya masih sangat remuk. Sambil masih sedikit sempoyongan, kepalanya juga berdenyut-denyut.

“Sandra!” panggil Tyo.

Sandra membelalakkan matanya lebar-lebar, ternyata pria pengecut itu sudah datang. “Mbak Marni tolong pergi, ini tamuku,” perintah Sandra, dingin.

Marni mengangguk pasrah kemudian berjalan meninggalkan Sandra dan Tyo yang masih berdiri di depan pintu. Setelah dirasa aman, Sandra menarik pergelangan tangan Tyo untuk berbicara di luar rumahnya.

“Sayang, wajahmu sangat pucat. Apa kamu baik-baik saja, hm?” tanya Tyo cemas. Seraya membenarkan rambut Sandra yang berantakan.

Sandra tersenyum sinis. “Memang apa pedulimu? Lebih baik kita akhiri saja hubungan kita yang tidak jelas ini. Pergilah, aku sudah lelah,” Sandra berbalik berjalan masuk ke dalam rumah. Namun, Tyo cepat memeluk pinggang Sandra dari belakang.

“Mana mungkin aku bisa melepasmu begitu saja, Sandra,” ucap Tyo tulus. “Maafkan aku, aku tidak seharusnya menyuruhmu untuk ...” Tyo meredam suaranya. Merasakan sesak di dadanya.

Sandra menangis pilu. Kedua pundaknya bergetar hebat, dan bodohnya dia selalu menuruti kata-kata pria pengecut itu. Meskipun seribu kesalahan yang Tyo lakukan, Sandra akan terus memaafkannya.

****

Satu bulan berlalu, setelah kejadian menyedihkan itu, Sandra mulai bangkit dari keterpurukannya. Setelah mengambil cuti cukup panjang gara-gara kebodohannya, pagi itu dia sudah siap bekerja di meja kubikelnya.

Seseorang lalu menepuk pundaknya pelan. "Mbak Sandra, Pak Manager mau bertemu sekarang juga."

Sandra terkesiap. "Se-sekarang?"

Wanita itu mengangguk. "Iya, Mbak."

Dahi Sandra sudah berkerut-kerut. Sepagi itu dia sudah disuruh datang ke ruangan bosnya. Gugup? Tentu saja Sandra sangat gugup. Sandra berpikir dia akan dipecat hari itu juga sebab, dia sudah nyaris menghabiskan jatah cuti tahunannya gara-gara si brengsek Tyo.

Sandra sampai di muka pintu ruangan bosnya dengan telapak tangan yang dingin. Lalu mulai mengetuk pintu perlahan.

"Masuk, San!" teriak bos Sandra dari dalam ruangan, seolah sudah tahu jika yang mengetuk adalah Sandra.

Bunyi hak sepatu tujuh senti itu menyeruak di dalam ruangan bosnya. Sandra datang dengan senyuman tertekan.

"Duduk dulu, ada yang mau saya sampaikan," ucap lelaki berkepala plontos itu.

Sandra mengangguk, lalu duduk dengan sedikit tidak nyaman. "Sebelumnya saya minta maaf atas cuti saya yang sangat panjang—"

Lelaki berkacamata itu tersenyum tipis lalu memotong kalimat Sandra. "Siapa yang mempermasalahkan itu. Saya cuma mau memberikan ini."

Sebuah amplop putih yang masih tersegel itu disodorkan di depan Sandra. Sandra yang tidak tahu apa-apa pun hanya pasrah jika memang ini adalah hari terakhirnya dia bekerja.

"Dibuka dan dibaca," perintah si manager.

Sandra tersenyum miris. Secepat kilat, ia pun membuka isi dari amplop tersebut. Secarik kertas berlogo sebuah perusahaan asuransi terkenal sangat kentara di pojok kiri atas isi surat tersebut. Mata bulat Sandra tambah membulat detik itu juga, satu tangannya membungkam mulutnya karena terkejut.

"Ti-tidak mungkin ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status