“Gue suka sama lu, Ndri. Gue cinta sama lu.” Alex berjongkok, dengan manisnya ia mengulurkan sebuket bunga lili berwarna pink. Semata untuk meluluhkan gadis cantik di depannya.
Melihat warna pink, gadis yang dipanggil Andri itu merasa mual. Ada kemarahan yang tertahan saat ia melihat warna yang begitu dibencinya seumur hidup. Hampir saja ia melempar bunga di depannya, karena warna itu mengingatkan masa lalunya yang begitu ingin ia lupakan.
“Gue gak suka pink.” Gadis itu masih mematung dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca, tapi berusaha ia kondisikan perasaannya, agar rasa sedihnya tak berubah menjadi air mata yang tak tertahankan. Entah mengapa ia selalu terluka saat melihat sesuatu yang pernah membuatnya begitu terpuruk. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya.
Alex menarik bunga yang disodorkan untuk gadis yang ia cintai.
“Kenapa?” Alex bertanya. Karena menurut pengalamannya, gadis-gadis akan berterima kasih padanya setelah ia memberikan lili berwarna pink. Atau mereka akan luluh dengan mudah dalam pelukan Alex. Hanya Andri yang berbeda.
“Norak.” Andri menjawab. Tak perlu ia jelaskan masa lalunya.
Alex mengangguk mengerti, ia tak bisa memaksa selera seseorang. Juga tak bisa menyamaratakan selera mereka.
“Yaudah dibuang aja ya, nanti aku beli lain ya.” Alex berusaha sebaik mungkin mengambil hati gadis yang ia cintai. Termasuk dengan membuang bunga yang sudah dibeli, karena Andri tak suka.
“Jadi, gimana? Lu terima cinta gue?” Alex bertanya. Ingin memastikan perasaan gadis di depannya untuk dirinya.
Alex, teman beda sekolah dengan Andri. Mereka bertemu karena sama-sama bekerja dalam proyek iklan susu penambah tinggi badan dari sebuah perusahaan. Mengingat tubuh mereka sangat cocok untuk iklan itu. Alex dengan ketinggian seratus delapan puluh, sempurna untuk seorang pemuda yang berpenampilan menarik, dan wajah mereka juga sama-sama layak untuk masuk majalah-majalah remaja dan dunia permodelan.
“Gue pikirkan dulu.” Andri memutuskan.
Setelah mengatakan itu, Andri berbalik ingin pulang. Senyum sinisnya terkembang sempurna.
Cinta?
‘Kita akan lihat, cinta seperti apa yang lu punya.’ Andri membatin, meninggalkan Alex yang masih menatap punggung gadis yang ia cintai.
.
“Sempurna!” Andri berkata pada diri sendiri, setelah memastikan penampilannya sesuai dengan yang diinginkan.Gadis itu melihat bayangannya sendiri dari cermin besar di depannya. Cermin yang memantulkan bayangan seluruh tubuhnya. Tubuh yang telah berubah seiring dengan ia yang semakin tumbuh.
Tubuh dengan ketinggian seratus tujuh puluh centimeter, pinggang ramping ditambah pinggulnya yang berbentuk indah. Tubuh tinggi dan kurus yang dulu selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya, kini sudah terlihat lebih berisi.
“I will see ... cinta seperti apa yang lu punya,” ucapnya seraya berjalan ke arah pintu.
Andri keluar dari kamarnya yang tak sama dengan miliknya dulu. Ia melihat perempuan yang telah membesarkannya itu duduk di ruang keluarga sambil menikmati secangkir teh dan beberapa camilan. Hari Minggu memang sering ia habiskan dengan bersantai membaca buku setelah melakukan rutinitas olahraga bersama dirinya.
Olahraga menjadi rutinitas pagi sebelum Naya berangkat kerja, juga rutinitas seorang gadis yang ia sebut anaknya sebelum pergi sekolah. Hal itu dilakukan sejak beberapa waktu lalu, ketika Naya mengenalkan dunia luar pada gadis yang mentalnya sedang sangat buruk dan takut bertemu dengan orang-orang di luar sana.
Sekarang, ia mulai merasa baik-baik saja. Meski masih ada benci yang begitu kentara dalam hatinya. Benci pada masa lalunya.
“Mau ke mana?” Naya bertanya. Ia mengamati penampilan anak gadisnya dari atas sampai bawah. Ia merasa tak seperti biasanya gadis itu berpenampilan seperti itu. Seingatnya, ia baru saja membeli beberapa celana dan baju-baju bagus untuknya.
“Keluar bentar, Ma.” Gadis itu menjawab sambil tersenyum.
Naya mengernyitkan kening melihat senyum anak gadisnya seperti menyiratkan sesuatu, “lagi?” tanyanya.
Gadis bertubuh tinggi itu hanya nyengir, mengerti maksud pertanyaan penuh kekhawatiran dari mamanya. Lalu mendekat ke arah Naya untuk mencium pipi mulus itu.
“Pamit ya, Ma.” Gadis itu berucap. Kemudian melangkah ke luar rumah, meninggalkan Naya yang masih menggelengkan kepala. Entah sudah berapa kali ia berpenampilan aneh seperti itu.
.Taman kota.
Andri menepati janji untuk menemui seseorang di taman kota. Saat sampai di tempat tujuan, ia mengedarkan pandangan ke semua sudut taman. Ada banyak penjual dagangan di sana, ada es krim, cilok, bakso keliling dan masih banyak lagi. Sebenarnya ini kawasan dilarang jualan, tapi namanya juga orang mencari nafkah, ya harus dari segala arah. Seketika ada yang seolah mengiris hati gadis itu, ia sangat mengerti tentang nasib sedih seseorang yang menggantungkan hidupnya dari hasil dagangan itu. Sebab itu ia mendekat, dan membeli beberapa jajanan meski ia tak sedang menginginkannya.
Mata bulat dengan bulu yang lentik alami itu melihat seseorang duduk sendirian di salah satu kursi taman, dekat pohon karsen yang dahannya meneduhkan. Seseorang yang belum lama ini menyatakan cinta untuknya.
Gadis itu berjalan mendekat pada kursi taman di mana Alex duduk menunggunya.
“Hai, Lex! Udah lama nunggu ya?” Andri tersenyum pada calon pacarnya.
Alex sedikit tersentak, melihat orang asing di depannya. Lalu, ia mengamati lekat-lekat dan menyadari bahwa itu memang gadis yang beberapa hari lalu ia katakan cinta.
Tanpa perintah, Andri langsung duduk di samping Alex dengan jarak yang sangat dekat, hingga membuat Alex sedikit menggeser, risih, geli dan entahlah.
Andri sebentar memalingkan wajah hanya untuk tersenyum. Ingin sekali ia tertawa, tapi tak mungkin di depan Alex. Ia berjanji pada diri sendiri untuk menuntaskan tawanya nanti di kamar dan bercerita pada mamanya, pasti perempuan itu akan ikut tertawa.
“Jalan, yuk! Bosan!” Andri menarik tangan Alex yang seperti masih bingung menatap penampilannya. Tak mau ambil pusing, ia anggap saja Alex sedang terpesona dengannya.
Karena ditarik, Alex terpaksa mengikuti langkah Andri, meski ia belum menyetujui permintaannya.
Alex mengendarai mobil barunya. Sengaja ia bawa untuk menarik perhatian Andri, bahkan gadis itu lah yang pertama menaiki mobil baru hasil jerih payahnya. Alex baru dibolehkan membeli mobil oleh papanya, karena akan masuk kuliah dan sudah cukup usia untuk mendapat izin mengemudi.
Alex ingin bertanya banyak, tapi ia seolah tak punya kesempatan untuk berbicara. Andri selalu mendominasi obrolan mereka saat di mobil, hingga ia merasa bosan dan sedikit ilfil, apalagi melihat wajahnya yang sama sekali tak menarik seperti biasanya.
“Enak juga ya mobil baru lu,” Andri sedikit menggerakkan bokongnya.
“Kursinya empuk.” Gadis itu nyengir.
Alex hanya mengangguk kesal, tapi coba ia tahan.
Alex dan Andri turun mobil dan memasuki sebuah mall besar yang ada di kota Jakarta. Keduanya mengangguk hormat pada orang yang bertugas membuka pintu untuk pengunjung.
Alex merasa risih dan sekarang rasa itu berubah menjadi menjijikkan dan ilfill karena Andri terus menempel di lengannya. Lelaki itu mengeluarkan kaca mata hitam dari saku kemejanya, berharap tak ada yang mengenalinya di sini. Karena sedari tadi ia merasa begitu malu saat orang-orang melihat dirinya berjalan dengan gadis cupu yang penampilannya sangat memprihatinkan.
Andri tersenyum. Ia mengerti kejengkelan Alex. Namun, ia tetap ingin melanjutkan misinya.
Misi membuktikan seberapa cinta lelaki yang bersamanya kini. Cinta apa yang dimiliki oleh lelaki itu.
“Lex!” Seseorang memanggil saat keduanya sedang memilih-milih jam tangan untuk dibeli. Bukan keduanya sebenarnya, tapi hanya Andri saja, karena Alex sibuk memutar ke sana sini, terlihat tak betah.
Terlihat oleh Andri, Alex tiba-tiba membalikkan badan, seperti tak ingin dikenali. Tak ingin menemui teman yang memanggilnya. Namun, lelaki yang memanggilnya, sekarang malah mendekat menuju Alex.
“Cieee ... pacar baru.” Lelaki itu memberikan selamat untuk Alex yang terlihat wajahnya memerah. Mungkin malu, atau sedang menahan marah.
Alex hanya tersenyum hambar. Sementara Andri fokus memilih jam tangan yang ia sukai. Sempat ia dengar Alex mengumpatnya setelah temannya pergi.
“Cewek s i a l a n!” gumam Alex tertahan.
Malu. Alex begitu malu dengan penampilan Andri.
Bagaimana bisa seorang model majalah remaja, tiba-tiba berpenampilan cupu seperti sekarang?
Tubuh tinggi itu dibalut kaus jelek yang bahunya sesekali turun karena longgar, itu baju yang sudah Andri fungsikan menjadi kain lap printer di kamarnya. Selain buruk, juga baunya tak sedap. Andri juga memakai rok pendek, tapi tak membuat paha jenjangnya terlihat seksi karena ia memakai legging panjang berwarna hitam, legging olahraganya. Tak hanya itu, ia juga memadunya dengan kaus kaki selutut dengan sepatu sport yang telah lama ia beli.
Wajah tirusnya sedikit diberi warna, di bibir dan pipinya yang lebih mirip seperti orang yang baru selesai ditonjok seseorang.
Rambut panjangnya digepang, itupun bukan memakai pita rambut yang cantik, tapi memakai karet gelang.
Saat Andri bercermin, ia persis dengan gadis itu. Gadis dengan masa lalu yang sulit. Silvi Andriani.
“Gue ke toilet bentar ya.” Alex meminta izin pada Andri yang masih sibuk dengan jam tangan yang akan dibelinya.
Andri mengangguk. “Jangan lama, ya!” Gadis itu sekadar berpesan. Karena sesungguhnya ia tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Sudah sangat terbiasa gadis itu dengan ending yang ditinggal sendirian.
Beberapa saat Andri menunggu di depan toko jam tangan. Namun, Alex tak lagi datang menemuinya. Gadis itu tahu bahwa sedari tadi Alex malu berjalan dengannya, malu menjadi pusat perhatian karena penampilannya.
Andri tertawa sinis. “Da s ar pl ay b oy cap kadal!”
P e r s e t a n dengan kata cinta!
Gadis itu tak pernah percaya pada kata cinta. Karena menurutnya mereka hanya menyukai Andri karena kecantikannya, karena popularitas saja. Bukan karena ingin hati. Karena sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati, dan mereka yang punya cinta tulus dari hati, akan menerima pasangannya dalam keadaan apa pun.
Andri seringkali membuktikan cinta para lelaki yang mengejarnya dengan caranya sendiri. Cara menjadi gadis dekil dan burik dari masa lalu, dan langsung terlihat hasilnya.
Andri melajukan mobilnya dengan sedikit kencang. Ia takut akan terlambat saat tiba di kampus, mengingat jarak tempuh dari rumah ke kampus lumayan lama, sekitar tiga puluh menit, itu pun kalau tidak terjadi kemacetan yang terlalu panjang. Ah, kapan Jakarta akan bebas dari macet?Sial!Baru saja Andri berharap agar ia tak terjebak kemacetan, tapi sia-sia, karena di depannya puluhan mobil sudah terhenti. Gadis itu menghela napas, ia mengambil ponsel dan menyambungkan earphone, sejenak kebosanan sedikit terhalau karena alunan musik memenuhi ruang telinganya.Dancing slowly in a empty roomCan the lonely take the place of you?I sing myself a quiet lullabyLets you go and let the lonely inTo take my heart againThe Lonely milik Christina Perri terus mengalun mendayu di telinga Andri. Ia ikut menyanyikan lagu yang seolah sedang mengatakan tentang dirinya sendiri. Perasaan kosong seringkali menghiasi hatinya. Padahal di luar sana, banyak lelaki yang memuja dan menyatakan cinta padanya, sepe
Sepulang dari kampus, Araska tergesa-gesa membuka pintu kamar. Ia menghempaskan tas ranselnya di kasur. Lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa penasarannya sedari tadi. Penasaran pada gadis yang dulu ia kenal begitu dekat, sering ia tolong, sampai-sampai gadis itu pernah tersesat pada kebaikannya.Ndri?Andri?Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi Andri. Pertanyaan itu kian menjadi-jadi di kepala Araska.Araska membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia mencari foto seorang gadis dekil korban bullying yang dilakukan teman sekelasnya. Foto yang pernah ia ambil di datfar nama siswa kelasnya, dulu saat ia masih SMP. Untung saja waktu itu wali kelas menyuruhnya untuk membuat sebuah map, yang berisi daftar nama siswa kelas mereka beserta fotonya. Saat gadis itu tak lagi datang ke sekolah, Araska mengambil foto itu. Awalnya hanya untuk kenangan, tapi saat ini ia merasa foto itu benar-benar berguna untuk menganalisa wajah Andri dengan gadis di masa lalunya.Ketemu. Araska menemu
Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny