Sementara tubuh Peramal Maut sendiri tampak terjengkang ke belakang dengan paras pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Cepat lelaki tua ini melompat bangun. Darah segar yang membasahi hidung segera dibesut dengan punggung tangan.
Jauh di depan sana, tubuh Dewi Bunga tampak masih berjumpalitan di udara. Namun tanpa diduga-duga sama sekali, tiba-tiba tangannya kembali mengibas, melontarkan kembali bunga-bunga bangkai senjata andalannya ke arah Peramal Maut. Peramal Maut terkesiap bukan main. Sungguh tak disangka kalau akan mendapat serangan demikian mendadaknya. Tanpa pikir panjang, tubuhnya segera dibuang ke samping.
Namun, serangan bunga-bunga bangkai dari tangan Dewi Bunga Bangkai tak cukup sampai di situ. Laksana air hujan, puluhan bunga bangkai itu terus mengejar sosok Peramal Maut yang tengah sibuk menyelamatkan diri.
Werrr! Werrr!
"Bajingan! Kau kira gampang merobohkanku, hah! Tunggulah pembalasanku nanti, Gadis Bengal!" Peramal Maut masih saja sib
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, Peramal Maut. Kenapa tidak kalian berdua maju barengan saja?""Keparat! Justru kaulah yang akan menyesal telah bertemu Peramal Maut!" putus Peramal Maut.Di ujung akhir kalimatnya Peramal Maut yang memang sebenarnya sedang dibalur kemarahan memuncak segera menerjang Gembong Kenjeran. Tidak tanggung-tanggung segera dikerahkannya pukulan andalannya 'Gelap Ngampar'.Maka begitu kedua telapak tangannya berubah menjadi hitam legam, segera dihentakkan ke depan."Hea!"Wesss! Wesss!Gembong Kenjeran menjengekkan hidung. Angkuh. Sedikit pun hatinya tidak gentar menghadapi serangan lawan. Malah lelaki ini sempat mengumbar suara tawanya yang bergelak. Dan ketika jarak serangan Peramal Maut hanya tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya, segera dikerahkannya pukulan andalan 'Pelebur Bumi' yang baru saja dipelajarinya dari Eyang Pamekasan."Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku!Hea!" Gembong Kenjeran alias G
Peramal Maut sejenak memperhatikan lelaki yang sebenarnya bernama Gendon Prakoso itu. Melihat pandang mata Gembong Kenjeran yang beringas, buru-buru diraihnya dua butiran kuning dan ditelannya."Nah! Kau telah menelan obat itu. Sekarang, kau harus secepatnya mencari Si Buta dari Sungai Ular dan Penyair Sinting. Kalau tak kau kerjakan, dalam jangka empat puluh hari kau akan mati dengan cara amat mengerikan. Kau tahu! Obat yang kau telan tadi adalah racun ganas yang perlahan-lahan akan menggerogoti ususmu! Kalau kau tak dapat mencari keterangan tentang Si Buta dari Sungai Ular dan Penyair Sinting dalam waktu yang kuberikan, jangan harap aku akan memberikan obat pemunahnya!" urai Gendon Prakoso, menyentak perasaan.Paras Peramal Maut kontan pias. Ia langsung mengutuk dirinya yang terlalu bodoh, hingga dapat dikadali Gembong Kenjeran yang memberikan racun amat mematikan. Namun untuk menolak perintah jelas terlambat. Tak ada pilihan lain. Peramal Maut pun akhirnya menuruti.
"Oh...! Rupanya kau, Kakek Pikun! Ayo sini, Kek! Kenapa malu-malu? Apa tidak ingin ikut menikmati daging kelinci?" sambut Ratu Adil ramah. Senyumnya pun ikut terkembang di bibir."Mau! Mauuu...!" kata batin Kakek Pikun, semangat."Ayo, Kek! Jangan malu-malu! Nanti keburu disikat habis temanku yang rakus ini!" tuding Ratu Adil ke arah Si Buta dari Sungai Ular."Oh...! Jangan dihabiskan!" teriak Kakek Pikun tak dapat menyembunyikan perasaan. Malah dengan langkah buru-buru segera didekatinya Ratu Adil dan Si Buta dari Sungai Ular. Ia duduk menjejeri Si Buta dari Sungai Ular dan tangannya langsung memotes paha daging kelinci panggang.Ratu Adil dan Si Buta dari Sungai Ular yang melihat ulah Kakek Pikun hanya tersenyum-senyum saja. Tanpa malu-malu lagi, Kakek Pikun segera menyantap paha kelinci di tangannya lahap. Malah, lebih lahap dibanding Si Buta dari Sungai Ular dan Ratu Adil.Maklum sudah dua hari dua malam perutnya belum diisi. Maka tak heran kal
Tokoh sesat dari Hutan Kenjeran yang sebenarnya tengah melanjutkan perjalanan menuju tempat persembunyiannya di Hutan Kenjeran itu mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Kedua telapak tangannya kini telah berubah menjadi kuning hingga pangkal lengan."Tunggu! Sebenarnya kalian mau apa mencari-cari Si Buta dari Sungai Ular?" cegah Kakek Pikun heran."Wasiat Maut Eyang Pamekasan telah dititahkan padaku. Aku harus secepatnya menghentikan sepak terjang Si Buta dari Sungai Ular dan Penyair Sinting.""Pamekasan? Kau menyebut-nyebut pertapa sesat berhati iblis itu? Apa hubunganmu dengan tua bangka keparat itu, he!""Tutup mulutmu, Kambing Tua! Kau tak pantas memaki guruku!" dengus Gembong Kenjeran, meledak-ledak."Oh...! Jadi tua bangka berhati iblis itu gurumu? Pantas! Kalau gurunya berhati iblis, tentu muridnya berhati setan. Aku tak sudi takluk di bawah kekuasaanmu. Apalagi, membantumu untuk mencari Si Buta dari Sungai Ular. Cari saja sendiri kalau k
SATU SOSOK ramping terbungkus pakaian hijau pupus menghentikan kelebatannya di dekat sebuah padang rumput. Bulatan besar berwarna merah tembaga yang mulai rebah di kaki langit sebelah barat menciptakan bayangan tubuhnya yang memanjang. Tubuhnya berputar sejenak dengan pandangan mengedar ke sekeliling. Ketika merasa tak ada orang yang mengikutinya, napas lega berhembus dari hidung dan mulutnya. Sosok itu adalah seorang perempuan cantik bertubuh sintal. Usianya sekitar tiga puluh atau tiga puluh lima tahun. Tubuhnya terlihat ramping dan masih padat berisi. Pakaian hijau pupusnya begitu ketat, membuat sepasang buah dadanya tampak membusung indah. Dari tubuhnya pun tercium bau harum bunga melati. Sementara rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dengan hiasan-hiasan indah dari permata hijau. Di tangan perempuan berpakaian hijau itu terpegang sebuah payung berumbai-rumbai warna hijau. Siapa lagi perempuan yang memiliki ciri-ciri seperti itu kalau bukan Putri Hijau"Di pundak
Dua muda-mudi yang memang Si Buta dari Sungai Ular dan Ratu Adil memalingkan kepala ke samping, memandang Putri Hijau tak mengerti."Kebaikan yang sesungguhnya diinginkan Yang Kuasa memang sulit dimengerti apabila hati masih terbelenggu. Lepaskanlah belenggu itu, baru kalian mengerti apa hakekat kehidupan yang sebenarnya," lanjut Putri Hijau.Si Buta dari Sungai Ular dan Ratu Adil menggumam tak jelas. Bukan saja tak mengerti dengan apa yang diucapkan Putri Hijau, melainkan juga heran melihat sosok Putri Hijau yang kini menjadi seorang perempuan cantik berusia kira-kira tiga puluh lima tahun."Apakah kau Putri Hijau?" tanya Si Buta dari Sungai Ular dan Ratu Adil hampir berbarengan.Putri Hijau tersenyum."Kalian sudah bertemu denganku, kenapa bisa lupa?""Aku tidak lupa. Tapi, bukankah beberapa hari lalu kau berwujud seorang gadis muda? Kenapa hari ini...?" Si Buta dari Sungai Ular memperhatikan sosok Putri Hijau dengan seksama. Perempuan can
"Kau tampaknya ketakutan, Peramal Maut. Hanya orang-orang yang bermaksud tak baik sajalah yang merasa ketakutan. Kalau tidak, kenapa merasa gusar?""Aku tidak bermaksud jahat. Siapa bilang begitu?""Sudahlah! Jangan ngotot seperti itu! Katakan saja kalau kau memang sedang mengawasi kami!" sergah Si Buta dari Sungai Ular."Berapa kali aku harus mengatakannya pada kalian" Aku tidak mematai-matai kalian. Sekarang, minggir! Jangan halangi langkahku!"Peramal Maut mengibaskan tangannya kasar. Namun baru saja hendak berkelebat kembali, Putri Hijau dan Si Buta dari Sungai Ular tetap tak beranjak dengan tangan menjulur, seolah hendak menahan langkah Peramal Maut."Kalian ini sebenarnya mau apa, he! Apa kalian sengaja ingin mencari penyakit!" dengus Peramal Maut, tak suka."Sabar, wahai sobatku Peramal Maut! Jangan keburu terbawa amarah! Kami sebenarnya hanya ingin bertanya, benarkah kau tidak sedang mengawasi kami?" ujar Putri Hijau, kalem."
"Janji? Janji apa?"Peramal Maut menggeram kesal. "Kau bilang akan memberikan aku obat penawar racun bila aku sudah mendapat keterangan mengenai Si Buta dari Sungai Ular dan Penyair Sinting.""Benar! Tapi apa kau juga membawa laporan mengenai Penyair Sinting?""Be..., belum.""Kalau begitu, kenapa berani meminta obat penawar racun kalau kau sendiri belum menyelesaikan tugasmu!""Karena.... Karena aku tak ingin mati sebelum aku mendapat keterangan mengenai Si Buta dari Sungai Ular dan Penyair Sinting. Sebab, Penyair Sinting adalah seorang tokoh sakti yang jarang sekali menampakkan diri di dunia persilatan. Untuk itulah, aku meminta obat penawar racun yang kau janjikan.""Laksanakan tugasmu, baru kau berhak meminta obat penawar racun itu!" tandas Dewi Bunga Bangkai, menjengkelkan."Benar! Kau harus menyelesaikan tugas yang kuberikan, baru boleh meminta obat penawar racun," timpal Gembong Kenjeran."Ayo, Dewi! Kita cari jahanam ke