Share

3. Manggala, Putra Petir

Ajian Ragasuri bukannya tidak memiliki dampak bagi pemiliknya, ajian ini hanya bisa dihilangkan atau disudahi, bila ada seseorang yang membangunkan si pengguna Ajian Ragasuri. Jika tidak, maka si pengguna Ajian Ragasuri ini akan tidur untuk selama-lamanya. Untungnya, lilitan si ular putih raksasa, telah membantu Manggala terbangun dari kondisi mati surinya. Manggala tak menyadari kalau tadi, tubuhnya telah mengeluarkan kilatan lidah petir yang dahsyat yang membuatnya telah selamat dari kematian.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Manggala berusaha untuk berenang keluar dari sungai tersebut, tapi malangnya, justru Manggala berenang ke arah yang salah. Manggala berenang mengikuti arus sungai yang bermuara pada sebuah lubang berukuran besar yang menjadi sarang dari semua ular yang ada di sungai ular tersebut.

“Aahhh...!” Manggala hanya mampu berteriak dengan keras saat tubuhnya tersuruk masuk ke dalam lubang itu tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Manggala merasakan tubuhnya seperti masuk ke lubang yang sangat dalam. Begitu dalamnya, Manggala merasa lubang itu seperti tanpa dasar. Sebisa dan sekuat tenaga, Manggala berusaha untuk tidak terperosok lebih dalam ke dalam lubang tersebut, tapi apa daya, kekuatan tenaganya sudah begitu sangat lemah dan tanpa daya menghadapi hisapan kuat dari lubang tersebut yang terus menarik tubuhnya lebih dalam.

Selanjutnya Manggala tak ingat apa lagi yang terjadi selanjutnya, karena dia pingsan!

Secara aneh bin ajaib, lubang besar itu tiba-tiba saja menutup dengan sendiri dan tak menyisakan bekas apapun diatasnya.

-o0o-

“BANGUNLAH dari tidurmu. Hai, anak muda!” sebuah suara terngiang ditelinga Manggala. Seketika itu juga Manggala seperti terlonjak dari tidur panjangnya. Manggala berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Samar-samar dia masih mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya, hingga seketika itu juga wajah Manggala tampak berubah pucat, seperti baru saja tersambar petir.

“Apa yang kau pikirkan saat ini, itu benar adanya, Anak Muda!” kembali terdengar suara yang seakan begitu dekat dihadapannya, tapi lagi-lagi Manggala tak bisa melihat siapa pemilik suara itu.

“Siapa?!”

“Kau boleh memanggilku, Eyang Gledek”

“E.. Eyang Gledek”

“Benar. Dan siapa namamu, Hai Anak Muda?”

“Nama saya Manggala, Eyang”

“Hmm..Manggala”

“Eyang. Apa maksud Eyang dengan mengatakan apa yang ku pikirkan tadi adalah benar?”

“Kau seharusnya sudah mati, Manggala” suara Eyang Gledek terdengar sangat enteng mengatakan tentang hal itu, tapi dampaknya langsung nyata di sosok Manggala yang langsung gemetar tanpa henti sekujur tubuhnya.

“Tidak! Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin terjadi!” kata Manggala tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Jika kau tidak percaya, silahkan kau sentuh dirimu sendiri” kembali terdengar suara Eyang Gledek dihadapannya.

Dengan tangan bergetar dan hati yang berdebar, Manggala mencoba menyentuh tangannya dengan tangannya sendiri, tak terasa apa-apa. Manggala seperti memegang angin. Berkali-kali Manggala mencoba menggapai sesuatu dengan tangannya, semuanya terasa kosong, tak ada yang tergenggam dan tak ada yang tersentuh. Wajah Manggala semakin pucat saat menyadari kebenaran ucapan Eyang Gledek.

“Untunglah saat kehadiran dirimu di dunia ini, aku telah menanamkan Tuah Petir ke dalam dadamu”

“Tu..ah.. Petir!” Manggala kaget mendengar kata-kata Eyang Gledek. “Apa itu, Eyang?”

“Tuah Petir didalam dirimu akan terbuka saat kau berada di antara hidup dan mati Manggala, dan saat Tuah Petir itu sudah terbuka, maka di dalam tubuhmu kini telah bersemanyam sebuah kekuatan dahsyat yang bernama Tenaga Inti Geledek”

“T-Tenaga Inti Geledek, Eyang?!” tanya Manggala seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya dari Eyang Gledek.

“Benar, Tenaga Inti Geledek... Apa kau tidak pernah merasa heran, saat melihat rajah petir yang ada di dadamu sejak kau lahir kedunia ini”

Lagi-lagi wajah Manggala berubah mendengar hal itu, tanpa sadar, telapak tangannya meraba dadanya. Memang ada sebuah tanda lahir disitu, sebuah rajah berbentuk petir yang menurut Ayahnya, Raja Samudra. Tanda itu sudah aja sejak Manggala masih bayi. Tanpa sadar, Manggala menurunkan pandangannya ke arah dadanya, dan memang terlihat rajah petir begitu jelas di dadanya. Tiba-tiba saja kedua mata Manggala membesar, seakan ia baru menyadari akan sesuatu.

“Mataku?! A-Aku bisa melihat!” Bagaikan ada petir yang menyambar didepan matanya, Manggala dapat melihat dengan jelas rajah petir yang ada didadanya.

“Kini matamu, memang sudah memiliki sepasang bola mata Anakku, Manggala. Hanya saja, bola matamu tidak berwarna hitam seperti orang-orang pada umumnya, bola matamu berwarna putih”

“Berwarna putih...” ulang Manggala

“Benar, kedua bola mata putihmu itu tercipta karena kekuatan Tenaga Inti Geledek yang ada didalam dirimu, sehingga menciptakan sebuah kesaktian yang bernama Mata Kilat!”

“M-Mata Kilat...!”

Terkejut untuk pertama kali, kata orang adalah biasa. Tapi kalau terus-terusan terkejut, bisa sakit jantung namanya. Hal itu kembali terjadi pada Manggala. Suara Eyang Gledek kembali terdengar. “Dengan Mata Kilat-mu, tak ada kecepatan yang tak bisa terlihat olehmu, bahkan dengan kecepatan cahaya sekalipun, kau bisa melihatnya dengan jelas”

Manggala tak tahu, harus bagaimana mengungkapkan rasa senang dan bahagianya mendengar penjelasan Eyang Gledek, kecuali dengan ungkapan. “Terima kasih Eyang, terima kasih.”

“Bukan hanya Mata Kilat, dengan kekuatan Tenaga Inti Geledek yang ada didalam tubuhmu, kini kaupun memiliki sebuah kesaktian yang bernama ‘Jejak Kilat’. Seperti namanya, kini kau memiliki kecepatan kilat dalam dirimu...” suara Eyang Gledek terus memberikan penjelasan kepada Manggala, tentang kemampuan-kemampuan kekuatan Tenaga Inti Geledek miliknya.

“... Mulai sekarang, kau adalah Manggala, Putra Petir!” ucap suara Eyang Gledek mengakhiri perkataannya.

“Manggala Putra Petir...!” ulang Manggala

-o0o-

Tujuh hari tujuh malam lamanya Manggala terbujur pingsan di dasar lubang sungai ular. Pakaiannya sudah compang-camping, hangus di sana-sini. Rambut gundul plontos, andai seekor lalat hinggap disana pasti terpeleset saking licinnya.

Pada hari ke tujuh, tubuh pemuda itu mulai terlihat bergerak-gerak. Saat ia membuka mata, tiba-tiba matanya terasa silau.

"Uhh ... cahaya apa ini? Kenapa silau sekali," katanya sambil memejamkan mata kembali. Setelah berkali-kali mengerjap-ngerjap mata menyesuaikan diri, akhirnya ia membuka kelopak mata. Begitu ia membuka mata, langsung terlonjak kaget.

"Lho ... gelap sekali toh?"

Sebuah kata yang aneh terlontar dari mulutnya.

Walau keadaan disekitarnya gelap gulita, tapi Manggala bisa melihat dengan jelas keadaan ditempat itu.

Ia pun melihat ke sekelilingnya. Semua terlihat jelas alias jelas terlihat. Bahkan sampai seberapa luas dan lebarnya gua ia tahu. Saat ia mendongak, dilihatnya beberapa kelelawar bergelantungan di atas sana.

Beberapa selongsong kulit ular terlihat berserakan dimana-mana. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu! Aku ... aku bisa melihat!" gumamnya sambil mengangkat dua tangan di depan mata. "Tanganku pun bisa kulihat dengan jelas."

Tiba-tiba ia berjingkrak-jingkrak seperti orang kesurupan. "Aku bisa melihat! Aku bisa melihat!" katanya dengan keras. "Aku tidak buta lagi!!"

Benar-benar kamso alias kampungan tur ndeso!

Makin lama lompatannya makin tinggi, dan hampir saja kepala botaknya benjol membentur atap gua, jika tidak dengan sigap mencengkeram tonjolan batu yang ada di depannya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fardan Sahal
iya seru banget
goodnovel comment avatar
Felan Jeong
buat lagi ceritanya dong kk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status