Share

Pelukan Pertama

Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.

“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.

Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.

Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan begini dia bisa menghangatkan kakinya. Tetapi harapannya pupus saat angin dingin mengarah kepadanya. Shelley semakin menggigil kedingingan saat angin itu melewati tubuhnya.

“Kurasa, besok aku akan terkena flu,” gumam Shelley setelah angin itu melewati tubuhnya.

Shelley terus berusaha untuk menghangatkan tubuhnya. Tangannya menyambar tasnya yang ada disebelah kiri. Dia menaruh tas itu di dalam pelukannya. Shelley memeluk tas itu dengan sangat erat dan berharap hal ini bisa menghangatkan tubuhnya.

Sebuah mobil sport berwarna hitam melewati halte. Dengan cepat, sang pengendara menepikan mobilnya dan melihat kearah halte.

“Bukankah itu Shelley?” gumamnya.

Sang pengendara yang merupakan mahasiswa bisnis itu pun lantas melihat pada smart watch yang melingkar dipergelangan tangannya. Dia mencengkram kemudi mobil sport miliknya.

“Shit, apa yang dia lakukan di jam segini. Apalagi jalanan sangat sepi,” makinya di dalam hati sambil memundurkan mobil sportnya dengan cepat.

Shelley menatap waspada pada mobil sport yang berhenti tepat di depan halte bus. Dia sudah menyiapkan ancang-ancang kalau pengendara mobil itu memiliki niat jahat padanya.

Seorang pria turun dari mobil dan berjalan kearahnya. Dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria itu, tetapi sepertinya dia sudah tidak asing dengan orang yang sedang berjalan kearahnya. Shelley semakin waspada dan menyiapkan ancang-ancang untuk menjaga beserta melindungi dirinya dari niat jahat pria itu.

Cahaya dari lampu halte telah mengenai wajah pria itu. Pantas saja dia merasa tidak asing dengannya. Ternyata dia adalah mahasiswa yang menatapnya beberapa detik di ruang makan kampus. Namun, Shelley lupa siapa nama pria itu. Dia hanya mengingat inisial pria itu. E. Ya, dia sangat ingat dengan inisial pria itu.

Langkah pria itu terhenti saat sudah berada tepat dihadapan Shelley. Shelley menatap sekilas padanya. Di detik berikutnya, Shelley menundukan wajahnya. Pria itu mengikuti arah pandangan Shelley. Pandangan Shelley tertuju pada lantai halte. Tidak ada yang istimewa dari lantai halte ini. Lantai di halte ini sama seperti halte lainnya.

“Apa ada yang menarik dari lantai semen ini?” batin pria itu bertanya-tanya.

Pria itu mengalihkan pandangannya pada Shelley yang masih setia untuk menundukan kepalanya dan menatap lantai semen.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya sang pria dengan datar.

Shelley hanya diam karena dia tidak mampu mengeluarkan suaranya. Dia bisa merasakan dengan jelas kalau bibirnya mulai kaku untuk digerakkan. Itulah sebabnya dia tidak bisa menjawab ucapan pria berinisial E dihadapnnya.

“Apa kau tidak bisa menjawab?!" sentak pria itu masih dengan tatapan datarnya.

Angin dingin kembali berhembus. Angin dingin itu mengarah pada Shelley dan pria itu. Saat angin itu berhembus kearahnya, dengan spontan pria tadi memeluk tubuhnya sendiri.

“Shit, anginnya sangat dingin,” gerutu pria itu di dalam hatinya.

Pandangan pria itu kembali tertuju pada Shelley. Kali ini tatapan datarnya berubah menjadi tatapan khawatir. Pria itu tidak bisa menyembunyikan tatapan khawatir itu dari Shelley. Pria itu melangkahkan kakinya dan menundukkan tubuhnya agar dia bisa melihat bagaimana kondisi Shelley.

Dengan perlahan, pria itu menyentuh dagu Shelley dan menariknya dengan perlahan. Manik biru terang milik Shelley terkunci dengan manik berwarna cokelat terang milik pria itu. Pria itu menyentuh lengan Shelley. Betapa terkejutnya dia saat menyentuh lengan wanita berkacamata dihadapannya. Dingin. Ya, dia merasa lengan Shelley sangat dingin.

“Ikutlah bersamaku!” perintah pria itu sambil menarik lengan Shelley tanpa izin pada sang empu. 

Shelley yang ditarik dengan perlahan menuju mobil sport milik pria berinisal E didepannya, hanya bisa diam dan tidak bisa menolak. Yang ada dipikirannya, dia harus segera menghangatkan tubuhnya. Dan dia harap, mobil milik pria berinisial E bisa menghangatkan tubuhnya.

“Masuklah!” perintah pria itu setelah membukakan pintu mobilnya.

“Terima kasih,” cicit Shelley dengan sangat pelan.

Shelley tahu kalau ucapannya tidak bisa didengar oleh pria disebelahnya, tetapi dia berusaha untuk menghargai apa yang sudah dilakukan oleh pria itu padanya.

“Daripada kau berucap itu, lebih baik masuk,” balas pria itu dengan datar sebelum menutup pintu mobilnya.

Sebuah mobil sedan berharga fantastis melewati mobil milik pria yang diketahui oleh Shelley berinisial E. Mobil sedan berwarna putih itu melaju dengan kecepatan rata-rata. Terdapat seorang sopir yang mengendalikan mobil sedan itu dan seorang mahasiswi yang sedang mengawasi mobil milik pria yang dicintai olehnya.

“Apa yang sedang dilakukan oleh Edbert?” gumamnya bertanya-tanya.

“Wait, sepertinya aku tidak asing dengan wanita berkacamata yang sedang bersama Edbet tadi. Tapi aku pernah melihat wanita itu dimana? ... Shelley? Tidak mungkin Shelley sedang bersama Edbert. Itu tidak mungkin! Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi!”

“Sir, tolong berhenti!” perintah mahasiswi yang tidak lain adalah Michalina.

“Maafkan Saya Nona, Saya tidak bisa menghentikan mobilnya karena tuan Swerta sedang menunggu Nona,” balasnya dengan tidak enak.

“Shit, untuk apa daddy menungguku?” tanya Michalina dengan kesal.

“Maaf Nona, Saya tidak tahu,” jawab sang sopir dengan pandangan lurus kedepan.

“Fuck,” maki Michalina sambil membuang pandangannya keluar jendela.

***

Shelley mulai merasa hangat saat berada di dalam mobil sport milik pria berinisial E. Dia berusaha untuk menggerakan bibirnya dengan perlahan. Tiba-tiba, pria tadi masuk kedalam mobil dan langsug duduk di kursi kemudi. Pandangan keduanya bertemu.

“Sudah kubilang, dia lebih menarik daripada Si Manja Michalina,” batin pria itu.

Drt ... drt ...

Dengan cepat, Shelley segera mengalihkan pandangannya pada jalanan yang hanya dilewati oleh 1 atau 2 kendaraan. 

“Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari wajahnya?” batin Shelley.

Shelley menutup kedua matanya dengan rapat saat pria disampingnya melepas pakaian tebalnya. Pria itu tersenyum kecil. Dia merasa terhibur dengan tingkah Shelley yang ternyata sangat lucu. Berbanding terbalik dengan sikap Michalina saat bersamanya, manja, merepotkan, dan menyebalkan.

“Betapa menggemaskannya Shelley?”

Pria itu mengulurkan pakaian tebalnya pada Shelley. “Bukalah kedua matamu!” perintah pria itu.

Shelley menggeleng sambil menutup matanya rapat-rapat. “NO! I don’t want!” tolak Shelley.

“Kau harus membuka matamu lalu kau bisa melihatnya sendiri,” ucap pria itu yang semakin membuat tubuh Shelley bergetar ketakutan.

Pria itu menatap terdiam pada Shelley. Dia bingung kenapa dirinya bisa berbicara sepanjang itu pada orang lain. Sebelumnya dia selalu berbicara dengna singkat. Tidak jarang juga, dia hanya mengisyaratkannya melalui bahasa tubuh.

“Kenapa aku bisa berbicara sepanjang itu pada orang lain?” batinnya bertanya-tanya.

Tangannya terulur untuk menyentuh bahu Shelley. Namun, Shelley terus saja menghindar. Dia tidak tahu kenapa Shelley terus menghindarinya? Apakah Shelley takut dengannya? Tapi, kenapa Shelley takut padanya?

“Bukalah matamu Shelley!” perintah pria itu sambil menaikan nada bicaranya.

“Tidak, aku tidak mau,” tolak Shelley.

“BUKA!” bentak pria itu dengan penuh amarah.

Pria itu sangat tidak suka kalau perintahnya ditolak ataupun dibantah. Dia sangat membenci hal itu. Kalau saja Shelley adalah pria, maka dia yakin Shelley sudah babak belur karenanya.

Dengan perlahan Shelley membuka kedua matanya dengan bahu bergetar. Baru kali ini dia dibentak oleh orang lain. itulah mengapa, kedua kelopak mata indahnya menampung air mata yang hendak menetes.

Setelah kedua matanya terbuka, dua bulir air mata jatuh terlebih dahulu. Pria dihadapannya menyernyitkan dahi. Di dalam batinnya, dia bertanya-tanya apakah dia telah membuat kesalahan yang menyebabkan Shelley menangis.

“Apa kau menangis karenaku?” tanya pria itu dengan lembut sambil menatap kedua manik milik Shelley dengan serius.

Shelley hanya diam. Tidak mungkin dia berkata yang sebenarnya kalau dia menangis karena pria dihadapannya. Tanpa sadar, tangan pria itu terulur untuk mengusap aur mata yang terus mengalir dari kedua kelopak mata milik Shelley.

“Apa kau menangis karenaku membentakmu?” tanya pria itu sekali lagi dengan sangat lembut.

Lagi-lagi, Shelley hanya diam.

“Mungkinkah diam adalah jawaban ‘iya’?” batinnya.

Dengan cepat dan lembut, pria itu membawa Shelley kedalam pelukannya. Dia mengusap rambut Shelley dengan perlahan dan terus mengucapkan kata maaf.

“Maafkan aku Shelley ... maafkan aku,” ucap pria itu sambil terus mengusap rambut hitam kecokelatan milik Shelley dengan lembut.

Shelley merasa dia tidak langsung menyentuh kulit pria yang sedang memeluknya. Shelley membuka matanya sedikit dan menemukan pria yang sedang memeluknya ternyata masih memakai kaos berwarna hitam. Ada perasaan aneh yang menghangati relung hati Shelley. Shelley pun tidak tahu kenapa dia bisa merasakan pelukan sehangat, senyaman, dan setenang ini. Ini adalah kali pertamanya berpelukan dengan lawan jenis.

“Kenapa aku bisa merasa nyaman saat dipeluk olehnya?” batin Shelley.

Setelah beberapa detik pria itu memeluk Shelley, Shelley melerai pelukannya. Dia berusaha untuk tersenyum dan menatap manik berwarna cokelat terang milik pria dihadapannya.

“Maafkan aku karena telah membuatmu menangis,” ujarnya lagi dan lagi.

Shelley hanya tersenyum dan mengangguk dengan pelan.

 “Jadi, kau memaafkanku?” tanyanya dengan antusias.

Untuk kesekian kalinya Shelley mengangguk.

“Mengangguk artinya iya?” Shelley mengangguk lagi dan lagi.

Pria itu sangat bahagia saat mendapat maaf dari Shelley. Biarpun Shelley tidak mengucapkannya secara langsung, tetapi hal itu bukanlah masalah baginya. Yang terpenting Shelley memaafkannya.

“Pakailah pakaianku, ini sangat hangat,” pinta pria itu sambil memerikan pakaian yang tadi dia kenakan.

“T-tidak perlu,” tolak Shelley.

“Aku tidak suka penolakan Shelley,” balasnya dengan serius.

“Baiklah,” ucap Shelley menyerah sambil mengambil pakaian tebal milik pria dihadapannya.

Shelley memakai pakaian tebal milik pria dihadapannya dengan perlahan.

“Sudah?” tanyanya sambil menatap kaca mobil yang ternyata memantulkan Shelley dan dirinya.

“Wait a seconds,” balas Shelley.

“Aku akan menunggumu sampai kau siap,” sahut pria itu.

“Sudah,” ucap Shelley.

Setelah Shelley berucap ‘sudah’, pria itu langsung menatap Shelley yang mengenakan pakaian tebal miliknya. Dia tidak menyangka kalau tubuh mungil Shelley akan tenggelam dengan pakaian tebal miliknya. Yang lebih membuatnya tidak menyangka lagi adalah panjang pakaiannya yang menutupi rok setengah paha yang digunakan olrh Shelley.

“Apakah ini buruk?” tanya Shelley dengan tidak percaya diri.

Pria itu menggeleng. “Itu sangat imut.”

Drt ... drt ...

Pria itu menatap sekilas pada ponselnya dan langsung mematikan panggilan suara itu.

Tutt...

Shelley menyernyitkan dahi. “Kenapa dimatikan?”

“Tidak penting,” ucapnya tak acuh.

Duar....

“Aaa!” teriak Shelley sambil memeluk tubuh pria itu dengan sangat erat.

Pria itu menegang. Di detik berikutnya, dia membalas pelukan Shelley dan mengucapkan kalimat-kalimat yang mampu menenangkan hati Shelley.

“Tenanglah Shelley, aku ada di sini bersamamu,” ucap pria itu sambil mengusap rambut Shelley dengan sangat lembut.

“Aku sangat takut,” ujar Shelley dengan gemetar.

“Listen me, aku ada di sini untuk melindungimu. Kau tidak sendirian, tetapi ada aku yang akan menjadi pelindungmu,” balas pria itu dengan sangat lembut.

“Fuck you, Edbert!” maki seseorang dari belakang tubuh Edbert.

Sambil tetap memeluk tubuh Shelley, Edbert menolehkan kepalanya kesamping agar bisa melihat siapa yang telah mengeluarkan kalimat kasar untuk dirinya.

“Kau ...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status