Share

2 Jam Kebersamaan Keduanya

“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV.

Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin.

“Negara?”

Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.”

“Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana.

Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.”

Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar.

“Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?”

Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.”

“Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah masalah untukmu?”

Shelley mengangguk. “Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu. Jadi hal seperti itu bukanlah masalah besar untukku. Yang terpenting, aku tetap berbuat baik pada siapapun,” terang Shelley.

“Termasuk pada orang yang telah membullymu?” tanya Alana setelah mendengar ucapan Shelley.

“Tentu saja. Kalau aku membalas keburukan mereka, sama saja aku seperti mereka yang sudah membullyku,” jawab Shelley dengan tersenyum.

Alana terdiam karena jawaban Alana yang terdengar sangat jujur. Jujur saja, dia tidak pernah bertemu dengan orang seperti Shelley. Mungkin, dia bisa belajar banyak hal dari Shelley. Biarpun Shelley hanyalah seorang pelayan dan berkuliah di kampus bisnis ter-elit di benua Amerika karena dibiayai oleh majikannya, Shelley terlihat seperti orang yang sangat cerdas dan memiliki pemikiran yang berbeda dari orang kebanyakan. Hati yang dimiliki oleh Shelley pun jarang ditemukan di kota metripolitan ini. Hati yang tulus, otak yang cerdas, dan selalu memiliki pikiran yang baik, adalah ciri khas dari seorang Shelley.

Alana menatap wajah Shelley. Bibir tipis, rambut berwarna hitam kecokelatan yang dikuncir kuda, kulit putih bersih, bola mata berwarna biru terang, alis tipis, hidung mancung, dan kacamata baca. Dia yakin kalau Shelley melepas kuciran rambutnya dan melepas kacamata baca itu, Shelley akan terlihat lebih cantik. Andai saja dia bisa melihat saat Shelley tidak menggunakan kacamata baca dan mengurai rambut hitam kecokletan yang terlihat panjang. Dia yakin kalau Shelley sudah seperti itu, pasti Shelley akan terlihat sangat cantik.

“Shelley, apakah kau mau memakai bajuku? Aku khawatir kalau pakaian milik Lizzie sedikit basah karena terkena beberapa rintik hujan,” tawar Alana.

Shelley melihat pada pakaian milik Lizzie yang sedang dia kenakan. “Tidak perlu Alana. Pakaian ini tidak basah,” jawab Shelley setelah melihat pakaian Lizzie yang tidak basah sama sekali.

“Kalau begitu, aku akan berganti pakaian. Tunggu sebentar ya, Shelley,” ucap Alana sambil bangkit dari duduknya.

“Baiklah, kalau begitu aku akan menonton TV-mu.”

“Jika kau ingin mengganti saluran TV-nya, gantilah. Jangan sungkan,” ucap Alana sebelum menutup pintu kamarnya.

***

Alana mengunci pintu kamarnya dan segera melangkahkan kakinya menuju lemari pakaiannya. Dia harus memilih pakaiannya dengan cepat. Bukan karena takut barangnya ada yang hilang karena Shelley. Tetapi dia tidak ingin Shelley menunggunya terlalu lama dan dia tidak mau kalau Shelley sampai bosan di apartemennya. Dia akan selalu memastikan Shelley merasa nyaman berada di apartemen mewahnya ini.

Alana telah berganti pakaian. Kini, dia menggunakan pakaian khas rumahan. Celana pendek di atas lutut dan kaos longgar kebesaran berwarna kuning telur dan terdapat tulisan ‘i’m okay MOM’ berwarna hitam.

Alana mengambil ponselnya yang tadi dia lempar sembarangan di kasur queen size miliknya. Ada beberapa notifikasi di layar kunci ponselnya. Dia mendudukkan tubuhnya dan melihat apa saja notifikasi yang masuk kedalam ponselnya.

Alana menghembuskan napas kala melihat-lihat notifikasi yang menurutnya tidak penting untuk dibahas sekarang. Dia menyempatkan diri untuk melihat story W******p dari Lizzie dan Adward. Lizzie hanya membagikan sebuah foto pemandangan dari atas gedung. Dia yakin kalau Lizzie berada disebuah gedung pencakar langit yang sedang populer akhir-akhir ini. pemandangan yang diberikan memang sangat indah. Tetapi yang membuatnya aneh, kenapa langitnya tidak gelap seperti langit yang ada dikawasan unit apartemennya?

Alana mengedikkan bahu dan menaruh ponselnya di atas nakas sebelah tempat tidurnya. Dia melangkahkan kakinya menuju meja rias yang sangat simple dan berada di belakang tubuhnya. Tangannya terulur pada sebuah benda berwarna hitam pekat. Jari lentiknya mengambil benda itu dan langsung dilingkarkan pada pergelangan tangannya.

Alana melihat pantulan wajahnya sekilas pada cermin berbentukbundar yang ada dihadapannya. Wajahnya terlihat sangat kusut. Padahal dia sudah membasuh wajahnya dengan air tadi.

“Daripada aku pusing memikirkan tentang wajahku, lebih baik aku segera menghampiri Shelley dan meminta bantuannya,” gumam Alana sebelum meninggalkan cermin yang sudah membuatnya sedikit kesal.

Alana melangkahkan kakinya lagi untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas kamarnya. Setelah ponselnya berada di dalam genggamannya, Alana segera melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kamar.

Shelley mengulurkan tangannya untuk mengambil cangkir yang berisi coklat panas. Dia sengaja memiringkan cangkir itu dengan pelan. Tujuannya supaya mulutnya tidak kepanasan saat terkena coklat yang masih panas. Saat coklat itu mengenai lidahnya, Shelley langsung membatin.

“Astaga, ternyata sudah tidak panas,” gerutu Shelley di dalam hatinya.

“Apakah masih panas, Shelley?” tanya Alana dengan pelan agar Shelley tidak kaget. Namun, Shelley tetap saja kaget karena kehadiran Alana yang tiba-tiba.

“Astaga Alana, kau membuatku kaget,” ucap Shelley dengan sedikit kesal, setelah menjauhkan cangkir coklat panas dari mulutnya. Ralat, coklat yang diminum oleh Shelley sudah tidak panas lagi.

“Maafkan aku Shelley,” ujar Alana dengan tidak enak.

“Kalau sudah tidak panas, aku bisa memanaskannya lagi.” lanjut Alana.

Shelley menggeleng. “Tidak perlu, lagipula sebentar lagi aku akan pulang.”

Alana sedikit membulatkan kedua matanya. “Kenapa? Apa kau tidak merasa nyaman di apartemen ini?”

“Bukan seperti itu Alana, aku ... aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku,” ucap Shelley agar Alana tidak salah paham.

“Mungkin kalau ada waktu dan diperbolehkan oleh majikanku, aku akan menginap di apartemenmu Alana,” sambung Shelley supaya raut sedih Alana cepat menghilang.

Benar saja, raut wajah Alana kembali seperti sedia kala. Raut wajah bahagia telah menggantikan raut wajah sedihnya.

“Benarkah?” tanya Alana dengan raut wajah bahagia.

Shelley mengangguk. “Akan aku usahakan. Semoga saja majikanku mengizinkannya.”

Dengan spontan, Alana memeluk tubuh Shelley dengan sangat erat untuk menyalurkan rasa bahagia yang ada dalam dirinya.

“Aku sangat senang kau mau menginap di apartemenku, Shelley,” ucap Alana dengan snagat senang disela-sela pelukannya dengan Shelley.

Shelley yang berada di dalam pelukan Alana hanya tersenyum dan berucap ‘iya’ dengan kikuk. Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley melerai pelukan dengan perlahan.

“Eum Alana, sepertinya aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil melihat kearah jam dinding.

Alana mengikuti arah pandangan Shelley. Ternyata, hari sudah mulai malam. Alana kembali menatap Shelley dan mengangguk pelan.

“Baiklah Shee, akan aku antarkan kau ke rumahmu,” ujar Alana.

Shelley menganga. Apakah Alana memanggilnya dengan panggilan Shee? Wow, dia tidak menyangka Alana akan memberinya panggilan secantik itu. Baru kali ini Shelley mendapat nama panggilan. Sebelumnya tidak ada yang mau memberinya nama panggilan. Semua orang yang dikenal olehnya selalu memanggilnya dengan nama aslinya, Shelley. Kecuali mendiang neneknya. Mendiang neneknya selalu memanggilnya dengan sebutan Shelle. Hah, ketika mengingat tentang mendiang neneknya, Shelley merasa sangat ingin memeluk makam neneknya yang berada di Los Angeles sana.

“Shee,” panggil Alana karena Shelley menganga.

“Shee,” panggil Alana lagi sambil menggerakan telapak tangannya tepat di depan mata Shelley.

“Shee,” panggil Alana lagi dan lagi sambil tetap menggerakan tangannya.

“SHEE!” panggil Alana sambil menaikan nada suaranya.

Shelley mengerjapkan kedua manik matanya saat Alana menaikan nada suaranya sambil terus melambaikan tangan padanya.

“Hah? Iya, ada apa Alana?” tanya Shelley dengan bingung.

Shelley yakin kalau Alana sedang berbicara tadi. Sialnya, dia malah melamun.

“Kenapa kau menganga sambil melamun?” tanya balik Alana.

“Aku? Melamun?” tanya balik Shelley dengan bingung.

“Iya, melamun. Sudah lebih dari tiga kali aku memanggil namamu, tapi kau terus saja diam dengan mulut menganga dan pandangan mata yang tertuju padaku,” ujar Alana panjang lebar.

“Hah—ti-tidak, aku sedang tidak memikirkan apapun,” alibi Shelley.

Sebenarnya Alana tahu kalau Shelley sedang berbohong padanya. Hanya saja, dia berusaha untuk percaya pada Shelley. Alana terus berpikir kalau Shelley melamun karena sedang memikirkan sesuatu yang bersifat pribadi dan belum saatnya dia mengetahui hal ini. Alana seperti itu karena dia percaya kalau Shelley akan menceritakan hal ini di waktu yang tepat.

“Alana, aku akan pulang sekarang. Terima kasih karena sudah mau berteman denganku dan menemaniku selama 2 jam,” ujar Shelley sambil bersiap untuk pergi.

“Itu sudah kewajibanku sebagai sahabat. Apakah kau lupa kalau kau, aku, dan Lizzie adalah sahabat?”

Shelley tersenyum malu. Jujur saja dia lupa tentang hal ini.

“Tidak perlu malu Shelley ... oh ya, kalau kau ingin masuk kedalam apartemenku, masuklah tanpa menunggu aku membuka pintu.” Shelley mengangguk dengan pelan.

“Jangan lupa untuk menyempatkan waktu untuk menginap di apartemenku.” tambah Alana dengan tatapan yang penuh dengan pengharapan.

“Aku akan usahakan. Eum, aku harus pergi sekarang dan hari juga sudah mulai gelap,” ucap Shelley sambil bangkit dari duduknya.

“Baiklah, hati-hati di jalan Shee dan jangan lupa jaga diri. Oh ya, jangan lewat jalan yang gelap dan sepi karena di daerah itu sangat rawan dengan penculikan dan berakhir pelecehan,” pesan Alana sebelum Shelley benar-benar melangkahkan kakinya menuju pintu keluar unit apartemnnya.

“Aku akan mengingat semua ucapanmu Alana,” balas Shelley dengan tersenyum sambil melangkahkan kakinya menuju pintu keluar unit apartemen milik sahabatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status