"Lisha!!"
Merasa dipanggil namanya membuat Falisha menoleh ke arah sumber suara, demikian pula dengan Matteo yang penasaran juga ikut memalingkan wajah dan mengabaikan dering ponselnya sebentar untuk memenuhi keingintahuan.
Adalah seorang wanita muda berambut diikat kuncir kuda dan sedang berlari kecil menghampiri posisi Falisha.
Falisha mengembuskan napas panjang tapi tetap mengulas senyum di wajahnya untuk wanita itu dan tentu saja ia mengenalinya sebab yang datang ini merupakan salah satu dari seorang sahabat dekatnya, Lina Fayyola Wijaya.
Wanita yang bersahabat dengan Falisha sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu terlihat sekali penuh dengan urgensi, ia bahkan melewati Matteo begitu saja tanpa meliriknya sedikitpun.
Belum sempat ada sepatah kata pun yang diucapkan oleh Falisha untuk menyapa sang Sahabat, wanita itu sudah lebih dulu berhambur untuk memeluknya.
"Aw … sakit, Lin …," keluh Falisha refleks saat Lina mendekapnya cukup kuat, bukan ia tidak menghargai kehangatan dari sahabatnya ini tapi memang itulah yang dirasakan.
Lina yang mendengarkan itu kontan mengurai pelukan diikuti dengan cengiran kecil karena merasa bersalah tapi tidak mengurangi kekhawatirannya.
"Maaf, nggak sengaja!" ucap Lina seraya mendudukkan dirinya di samping Falisha, "pantesan Aku telpon Kamu dari tadi tapi nggak aktif. Aku tahu Kamu sama Meera di sini dari si Tono, rupanya dia kerja di sini. Nah, dia pas piket jaga terus ngabarin ke kami. Aduh, Lis … kami sampai panik banget tadi denger kabar Kamu kecelakaan. Ririn udah di jalan, paling bentaran nyampe! Ameera gimana? Nggak apa ‘kan dia?" sambungnya nyerocos panjang tanpa diminta oleh Falisha.
Sadar jika Falisha mengenal wanita ini, Matteo pun mengkode sahabat lamanya itu tanpa suara. Dia hanya menunjuk ke arah ponsel yang tengah berdering lantas menjauh dari Falisha yang langsung mengerti maksud bahasa tubuhnya.
Falisha mengangguk tipis tidak diperhatikan Lina dan dia biarkan Matteo menjauh untuk menerima panggilan.
“Makasih ya sudah mau datang, Lin …,” ujar Falisha tulus, dia senang ada kawannya datang dan memberikan perhatian seperti sekarang, “Aku nggak apa, cuma Ameera lagi operasi di dalam, tangannya patah,” sambungnya menjelaskan singkat.
Meski sudah mendengar langsung dari Tono perihal kecelakaan yang menimpa Falisha dan Ameera serta melihat langsung keadaan sahabatnya tapi tetap saja tidak mampu mengusir kecemasan yang melanda hati. Terlebih mendapati keterangan itu seakan diminimalkan oleh Falisha membuat miris hati Lina.
Bagaimana tidak jika yang sekarang Lina lihat adalah lebam kebiruan di berbagai tempat tapi Falisha masih bisa mengatakannya baik-baik saja. Sungguh, Lina ingin sekali punya kekuatan super untu membaca pikiran Falisha yang sebenarnya.
Tangan Lina kemudian terangkat penuh kesengajaan, dirabanya dahi Falisha seakan ingin mengukur suhu tubuh wanita itu dengan menggunakan telapak tangannya, “Nggak … nggak panas, tapi kenapa Kamu makasih ke Aku?” ujar Lina menutupi isi hati yang sebenarnya.
“Ck, Lin!”
“Ya iya,’kan? Ngapain Kamu kayak gitu? Memangnya kita ini orang lain? Kenal sekian lama, susah senang sama-sama, Aku tampol juga nih!” ceplos Lina berlagak berang dengan pelototan matanya, “btw, itu siapa? Yang duduk di samping Kamu tadi?” tanyanya dengan suara yang mendadak dikecilkan, malu jika terdengar oleh pria yang tengah menerima telepon tidak jauh dari posisi duduk mereka itu.
“Temen … dia yang bawa Aku sama Ameera ke rumah sakit,” jawab Falisha singkat tanpa memperjelas pada Lina bahwa Matteo adalah pihak yang menabraknya.
Lina yang mendengar jawaban itu hanya ber-oh ria lantas mengedarkan pandangan mata ke arah sekeliling seakan mencari sesuatu dan alisnya kemudian bertaut.
“Lakimu mana, Lis? Kok nggak keliatan? Padahal Kamunya kecelakaan … anakmu lagi di operasi. Kamu udah ngabarin dia, ‘kan?” tanya Lina to the point, mengutarakan begitu saja apa yang ada di kepalanya.
Berdenyut nyeri hati Falisha atas apa yang baru saja dipertanyakan oleh sahabatnya itu, tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Lina sebab sang Sahabat tidak tahu apa-apa tentang masalah pribadinya yang terjadi beberapa jam lalu.
Kontan, tanpa bisa dicegah bening yang sempat mengering kembali berkumpul di rongga mata Falisha dan bulir itu menetes bahkan sebelum ia sempat menahannya.
“Loh … loh … Lis? Kok nangis? Mana yang sakit? Aku panggilin dokter ya! Tunggu, tunggu!” ucap Lina cepat, gelagapan dia melihat Falisha yang tiba-tiba berurai air mata.
“Nggak usah, Lin … nggak usah,” cegah Falisha sambil menggeleng kepala, dipeganginya Lina agar wanita itu tidak beranjak, “Aku nggak apa … tubuhku nggak apa, luka ini cuma memar lecet aja.”
Lina mengerjapkan mata keheranan, “Terus, kenapa nangis?” tanyanya lagi, ingin ia mengorek keterangan tanpa basa basi.
“Mas Bram selingkuh … terus Aku diceraikan … dan hak-hak kami juga dirampas …,” ujar Falisha dengan suara serak dan tangis yang kian tergugu.
Seketika itu juga Lina tertegun, dia terdiam dengan matanya membola sempurna mendengar apa yang baru saja dikatakan Falisha.
Tapi, aksi diam Lina itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Sebab, setelah ia menguasai diri kembali, segera wanita itu angkat bicara menumpahkan isi kepalanya.
“Si Brengsek nggak tahu diri emang! Sudah hidup agak enak langsung lupa segalanya! Padahal kamu yang dari dulu ikut susah sama dia. Sialan! Awas aja, Ku potong tititnya kalau ketemu! Berani-beraninya nyakitin Lisha!” ceplos Lina geram, dia yang tidak lagi memfilter kata-katanya.
Meski kata-katanya kasar tapi tidak bisa dipungkiri jika Lina jelas berpihak pada Falisha. Berteman sekian lama dengan wanita bertubuh tambun itu membuat Lina sangat paham bagaimana jatuh bangunnya kehidupan Falisha selama ini.
Pembelaan yang diberikan Lina membuat tangis Falisha kian pecah. Tersedu-sedu ia menumpahkan air matanya di pelukan sahabat dekatnya itu.
Matteo yang telah menyelesaikan panggilan teleponnya sedari tadi nyatanya mendengarkan semua percakapan Falisha dan Lina. Dia tidak bermaksud menguping tapi rasa penasarannya jelas terpancing dan sambungan percakapan telepon itu lebih singkat dari perkiraannya.
Namun, Matteo tetap di posisinya dengan membiarkan Falisha menangis di pelukan Lina. Dia juga tidak menyangka bahwa ternyata kehidupan Falisha tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Lina sendiri tidak mengeluarkan sepatah kata lagi meski caci maki untuk Bramantyo telah menggantung di ujung lidah, ia lebih memilih menenangkan Falisha terlebih dahulu. Kini, separuh hidup wanita itu sudah sirna, rumah tangganya hancur berantakan.
Keterdiaman yang berat menyelimuti ketiga orang itu, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai-sampai tidak ada yang memerhatikan jika lampu indikator ruang operasi telah padam dan beberapa petugas medis keluar dari sana.
“Siapa kerabat pasien?”
####
“Bagaimana para saksi? Sah?”Pertanyaan sederhana tapi sarat makna ini terdengar sedikit keras dari seorang pria berkacamata di ruangan yang terisikan kurang lebih sekitar dua puluhan orang tersebut.Gema kata sah yang mengiyakan balik pertanyaan itu pun segera menggaung memenuhi ruangan berdekorasi putih, semua orang yang ada di sana sepakat seiya sekata dengan si Pria berkacamata yang berprofesi sebagai seorang penghulu ini dan puji-pujian terhadap Tuhan yang Maha Esa pun terlantun kemudian.Benar, apa yang tengah berlangsung adalah pernikahan antara Falisha dan Matteo. Disaksikan langsung oleh keluarga inti masing-masing dan kerabat dekat saja, akad nikah keduanya berlangsung lancar tanpa kendala apapun.Oleh Falisha, ada selaput bening yang menyelimuti netranya. Yang mana, setengah mati Falisha tahan agar tidak jatuh bersama gelombang gejolak rasa. Falisha sama sekali tidak pernah menyangka jika ia akan menikah sampai dua kali bahkan suaminya seorang Matteo Saguna Taslim, teman ma
Sungguh, sekian tahun malang melintang di dunia bisnis, Matteo hampir tidak pernah kehilangan ketenangannya seperti sekarang ini.Bukannya sombong, akan tetapi di bawah tempaan langsung sang Kakek yang merupakan raja bisnis, Matteo memang sepiawai itu. Matteo sedari kecil selalu bisa mengendalikan diri, terutama emosi dan raut wajah hingga tidak bisa terbaca lawan bicaranya.Namun, sekarang semua jerih payahnya menmbentangkan pengendalian terasa sia-sia sebab segalanya dengan mudah digoyahkan oleh Teddy.Memang, keterkejutan yang dialami Matteo hanya sepersekian detik sebelum kemudian pria itu mampu mengontrol kembali emosinya tapi tetap saja dia merasa kecolongan.Kembali, Matteo menelan lagi salivanya demi mengusir gersang yang melanda tenggorokannya walau tak seberapa berguna dan dengan satu tarikan napas panjang tidak kentara diiringi dengan turunnya tangan Teddy yang menunjuknya ia pun berkata.“Apapun yang Saya rencanakan dengan Sasha, kesepakatan apapun yang terjadi antara kami
“Jadi … apa yang ingin Kamu bicarakan? Sampai-sampai mengganggu waktu istirahat Saya seperti ini!”Kalimat langsung yang begitu to the point dan tanpa basa-basi sedikitpun dari Teddy itu membuat Matteo merasa punggungnya kian berkeringat meski berada di ruangan berpendingin ini. Setelah kedatangannya diterima keduanya bertemu dan duduk bersama berhadapan, tapi di lima menit pertama mereka hanya duduk diam saling memandang satu dengan yang lainnya.Keterdiaman yang ada nyata sangat bisa menyebabkan suasana menjadi tegang hingga Matteo tidak berani buka suara terlebih dahulu untuk memulai percakapan.Tersentak Matteo tidak kentara ditegur demikian oleh Teddy, dia sangat jelas jika ayah dari Falisha itu pasti memiliki penilaian tertentu mengenai kehadirannya.“Begini Om …,” ujar Matteo menjawab pelan setelah sebelumnya terlebih dahulu menelan Saliva guna menentramkan ketegangan diri. Sungguh, Matteo rasanya membutuhkan sedikit ruang untuk meredam rasa dan terbersit setitik penyesalan men
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 116 Jalur Keinginan Matteo“Kamu tahu, Mat … sudah Aku putuskan, percepat saja pernikahan kita. Biar semuanya jadi lebih terkendali aja. Aku nggak apa kok, nggak perlu resepsi atau akad atau apapun yang mewah-mewah, tinggal tanda tangan tanpa apapun juga Aku bersedia. Beneran, Aku bersedia dan Papa juga telah merestui ini!”Tidak bisa Matteo tidak tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar, terutama kalimat terakhir yang terlontar dari bibir wanita yang ia pilih sebagai istri itu nantinya.Memang, pernikahan yang ingin dilakukan itu hanyalah pernikahan sebatas di atas kertas pun berjangka waktu tertentu meski belum ada pembicaraan mendetail dengan Falisha mengenai hal ini. Akan tetapi, bukan berarti Matteo ingin melangsungkannya dengan cara yang salah sebab dasar untuk menikah itu sendiri saja sudah tidak benar.Matteo ingin melalui jalur yang baik meski melewatkan momen lamaran dan sekelumit cinta yang seharusnya ada. Walau, ada banyak faktor yang harus
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 115 Percepatan“Kamu nangis? Matamu bengkak gini! Katakan, siapa yang bikin Kamu nangis?”Sungguh, beberapa tahun terakhir ini Falisha jarang sekali menerima perhatian dari orang yang ada disekelilingnya termasuk dari suaminya sekalipun. Koreksi, mantan suami si Bramantyo Satya. Selalunya, Falisha yang menjadi pemberi bukan penerima. Kasus ini tentu dikecualikan untuk putri semata wayangnya Ameera.Kalau pun mendapatkan perhatian kecil, selalu ada embel-embel entah apapun itu juga penghinaan yang mengikuti di belakang. Contoh kecil, saat itu Falisha dalam keadaan sakit. Falisha dikira sengaja berpura-pura sakit karena malas atau manja serta tidak ingin membereskan pekerjaan rumah, tuduhan ini selalu disematkan kepada setiap kali wanita itu menderita flu atau demam. Ujung-ujungnya Falisha tidak dibawa ke dokter dan cuma diberikan obat murah yang beredar di pasaran.Oleh karena itu, apa yang baru saja dilakukan Matteo pada Falisha tak pelak membuat hati wani
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 114 Restu Orang Tua (2)Teddy membalas pelukan Falisha erat, hatinya jelas menghangat atas perlakuan buah hatinya saat ini. Sungguh, Teddy merindukan saat-saat seperti sekarang, saat Falisha bermanja pada dirinya.“Sudah jadi seorang Ibu dan akan menjadi seorang istri lagi … Sasha harus lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab lagi ya.”Kalimat yang baru saja digaungkan Teddy disertai dengan usapan lembut di bagian punggung sukses membuat mata Falisha kian memanas.Falisha tidak mampu menjawab Teddy, sebagai gantinya ia menganggukkan kepala dan bening pun tumpah tanpa bisa dicegah.“Papa nggak tahu ada apa sebenarnya antara Kamu dan Matteo, Nak … tapi, Papa sangat berharap jika pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhir untukmu …,” ujar Teddy lagi tanpa menjeda usapannya dan kembali pria paruh baya itu menghela napas berat.Kalimat yang terlontar dari mulut Teddy