“Jadi … apa yang ingin Kamu bicarakan? Sampai-sampai mengganggu waktu istirahat Saya seperti ini!”Kalimat langsung yang begitu to the point dan tanpa basa-basi sedikitpun dari Teddy itu membuat Matteo merasa punggungnya kian berkeringat meski berada di ruangan berpendingin ini. Setelah kedatangannya diterima keduanya bertemu dan duduk bersama berhadapan, tapi di lima menit pertama mereka hanya duduk diam saling memandang satu dengan yang lainnya.Keterdiaman yang ada nyata sangat bisa menyebabkan suasana menjadi tegang hingga Matteo tidak berani buka suara terlebih dahulu untuk memulai percakapan.Tersentak Matteo tidak kentara ditegur demikian oleh Teddy, dia sangat jelas jika ayah dari Falisha itu pasti memiliki penilaian tertentu mengenai kehadirannya.“Begini Om …,” ujar Matteo menjawab pelan setelah sebelumnya terlebih dahulu menelan Saliva guna menentramkan ketegangan diri. Sungguh, Matteo rasanya membutuhkan sedikit ruang untuk meredam rasa dan terbersit setitik penyesalan men
"Loh, Mas Bram sudah pulang? Tumben … jam segini?"Falisha bermonolog sendiri sambil memerhatikan mobil putih yang terparkir manis di tepi tembok, di samping pagar rumahnya.Wanita bernama lengkap Falisha Tahira Tirta itu terang saja bertanya-tanya. Hari ini masih terhitung hari kerja sang Suami, tetapi tak biasanya pria itu pulang sebelum lewat petang. Pagar besi yang tidak tertutup juga turut membuat wanita bertubuh tambun itu langsung mengerutkan keningnya.Falisha yakin sekali jika gerbang itu dalam keadaan tertutup sebelum ia tinggalkan untuk menjemput putrinya dari sekolah.“Tadi perasaan sudah kututup kok!”Tanpa mematikan mesin motor, netra kecokelatan wanita itu sudah lebih dulu beredar mencari tahu. Falisha tentu tidak akan salah mengenali, sebab nomor kendaraan mobil yang merupakan tanggal kelahiran putri mereka tertera nyata di sana.Di belakang Falisha, ada seorang gadis kecil berpotongan rambut bob. Sang bocah ikut memanjangkan lehernya mencari tahu dalam diam dan kehera
"Kamu ... kenapa tega melakukan semua ini, Mas?"Pertanyaan ini memang pertanyaan bodoh, tapi Falisha tetap mengutarakannya demi mendapatkan kepastian langsung dari pria yang telah menikahinya bertahun-tahun ini. Bukti pengkhianatan pria ini, aksi yang tidak diliputi oleh perasaan bersalah sedikitpun. Wanita itu baru menyadari, semua yang terjadi hari ini adalah pertanda bahwa sejatinya, bahteranya bersama Bramantyo sudah kandas … bahkan jauh sebelum hari ini.Hera yang masih berada di dalam dekapan berpeluh Bramantyo jelas satu frekuensi dengan pria itu. Ia tidak menutupi tawa geli yang meluncur bebas dari bibirnya karena baru saja mendengar lelucon bodoh dari Falisha.“Kamu serius nanya begitu, Lisha?” Bramantyo berujar dengan nada mencela, “Kamu nggak ngaca lihat dirimu sendiri seperti apa?”Pandangan mata jijik Bramantyo terang-terangan ia tujukan sepenuhnya untuk Falisha, “Gemuknya kebangetan, kucel, kusam, bau juga!” sambungnya melemparkan hinaan pada Falisha.“Sudah kayak babi
"Apa maksudmu, Mas?!"Mendengus Bramantyo mendengar pertanyaan itu, “Mobil, tanah, termasuk rumah ini … semua atas namaku!” sanggah Bramantyo. “Kamu atau anak tulimu itu tidak berhak sepeser pun atas hasil kerja kerasku!” sambungnya ketus tanpa menurunkan tangannya yang masih berada di pinggang.Membesar mata Falisha akan apa yang baru saja dilontarkan oleh Bramantyo.'Segala sesuatunya pasti telah disusun oleh pria itu matang-matang,' pikir Falisha. Falisha menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir.“Tega kamu, Mas, mengambil hak anakmu sendiri?” sindir Falisha dengan wajah pias dan basahnya.Sayang, pria yang masih menghadapnya dengan arogan itu tak peduli. Atas hasutan Hera, dengan dalih peduli padanya, Bramantyo mulai berlaku menyimpang dari segala kesepakatan pra nikah yang pernah ia sepakati bersama Falisha, termasuk dalam urusan harta.“Kamu boleh tidak menafkahiku setelah ini, Mas! Aku tidak akan mempermasalahkannya!”“Tentu tidak! Untuk apa Aku melakukannya!” sela Bramantyo
“Argh!”Falisha mengerang perlahan, ketika merasakan kepalanya berdenyut nyeri saat ia membuka matanya.“Kamu sudah sadar?”Pertanyaan dasar ini meluncur dari bibir pria yang pertama dilihat Falisha dan ia yakin pria itu bukanlah dokter ditilik dari jas hitam tidak terkancing yang membalut tubuhnya.Falisha tidak menjawab, pening yang mendera kian kuat membuatnya spontan mengangkat tangan untuk memijat pangkal matanya.“Falisha? Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit atau gimana?” tanya pria itu lagi dengan langkah kaki yang kontan dipercepat karena reaksi yang ditunjukkan Falisha, “Rio panggil dokter!” titahnya kemudian sambil menekan tombol yang berada di samping brankar.Pijatan sederhana dengan jemari gempal Falisha sebenarnya tidak terlalu banyak membantu tapi pening itu sudah tidak lagi ia pedulikan sebab pria yang kini beridir tepat di samping brangkar telah mengalihkan perhatian sepenuhnya.Falisha menurunkan tangannya, detik itu juga ia mendapati ada sepasang netra biru yang men
Matteo tidak sempat menjawab atau tidak ingin menjawab, Falisha sendiri tidak jelas sebab ketika pria itu akan buka mulut pintu kamar rawat inap ini membuka setelah sebelumnya terdengar ketukan ringan.Baik Falisha ataupun juga Matteo, perhatian keduanya sama-sama teralihkan bersamaan akan kedatangan seorang pria berjas putih.Pria bertubuh kurus yang di awal sempat Falisha lihat mengikuti Matteo kini mengekor di belakang dokter itu. Falisha yakin dia tidak salah lihat meski hanya sesaat tadi.“Halo, Ibu!” sapa sang Dokter dengan ramah tanpa menjeda langkahnya, “Saya Randy, dokter visit Ibu hari ini. Ada keluhan yang dirasa mengganggu, Bu?” tanyanya ketika sudah berada di samping brankar Falisha, netranya tanpa sungkan berkeliaran memerhatikan kondisi fisik wanita itu.Senyum kecil diulas Falisha atas perhatian yang diberikan oleh dokter jaga itu, “Saya merasa baik-baik saja, Dok … masih sedikit pusing, juga rasanya sakit di sana sini, tapi masih bisa Saya tahan,” sahut Falisha jujur,
Termangu Falisha dengan mulut membisu saat ini, dia duduk di kursi besi dengan mata yang menatap kosong pintu ganda berwarna putih di hadapannya.Kepala disandarkan Falisha pada tembok tanpa peduli akan penampilannya, pusat perhatian wanita ini hanya pada anaknya yang tengah menjalani operasi.Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir Falisha sejak kedatangannya yang ditemani Matteo kemari, ia seolah bisu karena dirundung perasaan bersalah.Ya, jelas Falisha menyalahkan dirinya sendiri dalam hal ini. Falisha merasa sumber permasalahan yang sebenarnya adalah berasal dari dirinya.Dalam keterdiamannya, Falisha memutar ulang untuk kesekian kali di kepalanya apa yang Bramantyo lakukan juga ucapkan kepadanya. Pengulangan yang bukan disengaja itu kini seolah berputar dan menjadi pembenaran semu.“Sha …,” tegur Matteo pelan, dia tidak tahan lagi dengan keterdiaman Falisha yang seperti orang kehilangan jiwanya itu.Memang, di dalam peristiwa kecelakaan ini Matteo juga memiliki kesal
"Lisha!!"Merasa dipanggil namanya membuat Falisha menoleh ke arah sumber suara, demikian pula dengan Matteo yang penasaran juga ikut memalingkan wajah dan mengabaikan dering ponselnya sebentar untuk memenuhi keingintahuan.Adalah seorang wanita muda berambut diikat kuncir kuda dan sedang berlari kecil menghampiri posisi Falisha.Falisha mengembuskan napas panjang tapi tetap mengulas senyum di wajahnya untuk wanita itu dan tentu saja ia mengenalinya sebab yang datang ini merupakan salah satu dari seorang sahabat dekatnya, Lina Fayyola Wijaya.Wanita yang bersahabat dengan Falisha sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu terlihat sekali penuh dengan urgensi, ia bahkan melewati Matteo begitu saja tanpa meliriknya sedikitpun.Belum sempat ada sepatah kat