Share

Nestapa Falisha

Termangu Falisha dengan mulut membisu saat ini, dia duduk di kursi besi dengan mata yang menatap kosong pintu ganda berwarna putih di hadapannya.

Kepala disandarkan Falisha pada tembok tanpa peduli akan penampilannya, pusat perhatian wanita ini hanya pada anaknya yang tengah menjalani operasi.

Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir Falisha sejak kedatangannya yang ditemani Matteo kemari, ia seolah bisu karena dirundung perasaan bersalah.

Ya, jelas Falisha menyalahkan dirinya sendiri dalam hal ini. Falisha merasa sumber permasalahan yang sebenarnya adalah berasal dari dirinya.

Dalam keterdiamannya, Falisha memutar ulang untuk kesekian kali di kepalanya apa yang Bramantyo lakukan juga ucapkan kepadanya. Pengulangan yang bukan disengaja itu kini seolah berputar dan menjadi pembenaran semu.

“Sha …,” tegur Matteo pelan, dia tidak tahan lagi dengan keterdiaman Falisha yang seperti orang kehilangan jiwanya itu.

Memang, di dalam peristiwa kecelakaan ini Matteo juga memiliki kesalahan. Maka dari itu dia menunjukkan respek lebih terhadap Falisha terlebih yang ditabraknya ini merupakan sahabat lamanya.

Matteo sendiri rela membatalkan semua jadwalnya hari ini hanya demi memberikan dukungan moral pada Falisha, bentuk pertanggungjawabannya. Padahal, sejujurnya ada meeting penting yang harus dihadiri oleh CEO Taslim Grup itu, berkenaan dengan tender besar bernilai miliaran dolar.

Beruntung, kolega Matteo mengerti dan bersedia menunda meeting mereka.

“Hmm?”

“Aku tadi lupa kasih tahu … kalau barang-barang pribadi Kamu … tas selempang, itu ada sama Aku. Akan Aku suruh sopirku mengantarkannya padamu nanti," ucap Matteo mengungkapkan apa yang sempat dia lupakan sejak Falisha sadar pasca kecelakaan.

Sejujurnya, bukan itu saja alasan Matteo sebab pria ini ingin membuka pembicaraan agar Falisha tidak larut dalam kebisuan.

Karena rasa simpatinya yang besar terhadap Falisha, Matteo lebih suka melihat wanita itu marah-marah atau mengumbar kebencian terhadap mereka atas kesalahan yang dilakukan ketimbang tenggelam dalam nestapanya.

"Ok!" sahut Falisha singkat dan padat, seakan secara tidak langsung memberitahukan kepada Matteo jika ia tidak berminat untuk bercakap-cakap sekarang, bahkan ia tidak memalingkan tatapan mata dari si pintu ganda.

Akan tetapi, Matteo seolah tidak peka dengan keinginan terpendam Falisha sebab ia kembali angkat bicara.

"Jangan tersinggung … tapi untuk biaya pengobatan rumah sakit ini Kamu tidak perlu khawatir. Semuanya Aku yang akan menanggungnya, ini salah satu bentuk tanggung jawabku terhadap Kalian berdua karena kecelakaan ini. Motormu juga sudah dibawa ke bengkel untuk diperbaiki. Jika seandainya nanti kerusakannya parah, akan ku ganti dengan yang baru," ucap Matteo lagi, berusaha ia menjelaskan dengan kalimat yang dipilihnya dengan kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan Falisha.

Kembali, Falisha tidak melirik Matteo sedikitpun ketika kalimat-kalimat itu ia dengar.

"Baik, makasih Mat," sahut Falisha datar, tanpa ada ekspresi yang berarti.

Matteo menghela napas panjang tidak kentara karena sikap Falisha, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasinya. Falisha yang sekarang dikenal Matteo bukan lagi Falisha kecil yang kurus kerempeng tapi ceria penuh tawa seperti dulu melainkan menjelma menjadi sosok yang amat sangat berbeda.

Sebenarnya wajar saja, manusia memang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Apalagi mereka tidak pernah berjumpa lagi sejak bertahun-tahun yang lalu.

Pun jika bukan karena kartu identitas juga tahi lalat kecil yang ada di bibir bawah Falisha, Matteo juga yakin tidak akan mengenali kawan lamanya itu di pandangan pertama.

Hening yang terasa berat bercampur canggung kembali menyelimuti dua orang itu, padahal di sekitaran mereka ada kesibukan yang seolah tidak terhenti tapi hiruk pikuknya tidak menyentuh mereka sama sekali.

Untuk beberapa menit yang terasa sangat lama, baik Matteo dan Falisha yang terdiam sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

Terutama Falisha tentu saja, hari ini di mulai dengan kebahagiaan yang melambung karena Ameera berulang tahun yang ke tujuh tapi setelah itu ia bagaikan dihempas ke dasar bumi.

Sudah jatuh ditimpa tangga, nasib benar-benar tidak ada yang bisa memprediksinya.

Falisha sendiri tidak pernah menyangka bahwa rumah tangganya yang terlihat baik-baik saja itu ternyata telah tersusupi bara. Bara bernama Hera Iswari, yang awalnya ia remehkan tidak dikira akan membakar dirinya sedemikian rupa.

Pernikahan siri terjadi di balik punggungnya, bahkan pengkhianatan itu Falisha lihat dengan mata kepalanya sendiri siang ini hingga berujung pada tindak kekerasan terhadap Putri semata wayangnya dan perceraian secara lisan.

Berat, sungguh berat hari Falisha. Yang seharusnya dijalani dengan tawa bahagia dan mengumandangkan lagu ulang tahun layaknya keluarga kecil hangat harmonis ternyata yang terjadi malah sangat jauh keluar jalur.

Tanpa sadar, berkumpul kembali bening di rongga mata Falisha. Netra kecokelatan wanita itu berselimut bening tanpa sepengetahuan siapapun.

"Sha … maaf, Aku menempatkan Kamu di posisi seperti ini. Kamu terluka, anakmu juga ikut terluka," ujar Matteo memecah keheningan karena rasa bersalah dan simpatinya pada Falisha.

Isakan samar yang tertangkap telinga kontan membuat Matteo berpaling dan mendapati Falisha kini tengah berlinang air mata dalam diamnya. Matteo tidak tahu jika bukan hanya keberadaan Ameera yang tengah operasi yang membuat Falisha jadi seperti ini.

Falisha menggeleng-geleng kecil, bening yang terus luruh dibiarkannya saja membasahi pipi tanpa ada niatan untuk mengusapnya.

"Bukan … bukan salah mu, Mat …," desis Falisha parau, "ini bukan salahmu … Aku juga bawa motor nggak hati-hati … nggak memperhatikan jalan."

Falisha bukanlah tipe seorang wanita yang kerap mengumbar masalah, terlebih masalah kehidupan pribadinya. Semua yang menimpanya seharian ini tidak satupun ia ungkap kepada Matteo, pahit perih menyayat hati itu ditelan seutuhnya oleh Falisha.

"Tapi, Sha …," Matteo ingin membantah tapi gelengan kepala yang diberikan Falisha dan netra basah yang sedang bertatapan dengannya ini membuatnya bungkam.

"Bukan … bukan sepenuhnya salah Kamu, Mamat …," lirih Falisha tetap pada pendiriannya, "Aku juga salah. Aku lagi kacau banget soalnya tapi malah tetap naik motor, bawa anak pula. It's okay, nggak usah minta maaf terus," sambungnya seraya mengusap asal basah di pipi. Tidak lupa, senyum semampunya Falisha ukir demi meyakinkan Matteo.

Oleh Falisha, dia sudah merasa cukup terbantu dengan kehadiran Matteo yang memberikan dukungan moral dan pembiayaan dari pria itu. Setidaknya untuk hal biaya rumah sakit yang pastinya tidak sedikit itu tidak perlu ia pusingkan.

Sungguh, ingin rasanya Matteo mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Namun, tidak ada satupun yang mampu ia ucapkan, semuanya hanya menggantung di ujung lidah.

Alih-alih membalas kata Falisha, Matteo pun mengangguk kecil menerima ucapan wanita itu.

Belum sempat ada kata yang terucap lagi antara mereka berdua, tiba-tiba dering nyaring ponsel Matteo menyela pembicaraan.

Perhatian Matteo teralih untuk sesaat. Tanpa melihat, sebenarnya Matteo tahu siapa yang menelponnya. Ada nada dering khusus yang ia sematkan untuk nama-nama tertentu di daftar kontaknya.

Baru jemari pria itu menyentuh gawainya, dari arah berlawanan dengan posisi duduknya bersama Falisha, menggema suara nyaring yang memanggil.

"Lisha!"

####

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status