Share

Menyesal

Author: Naffa Aisha
last update Last Updated: 2022-11-24 15:41:48

Siapa yang Menghamili Muridku?

 

Bab 3 : Menyesal

 

Setelah membuatkan sarapan untuk Mas Bilal, kutemani ia duduk di depan meja makan. Lalu menyiapkan bekal untuknya. Tempat kerja yang lumayan jauh, mengharuskan ia berangkat pagi-pagi sekali sebelum jalanan macet. Dia mengelola perusahaan tambang minyak warisan keluarga.

 

"Mas berangkat dulu, Dek. Hati-hati di rumah! Ingat, jangan terlalu ikut campur dengan urusan anak muridmu itu. Sebaiknya antar dia pulang pagi ini juga!" ucapnya ketika memasuki mobil.

 

Aku hanya mengangguk, tak kuasa membantah omongan pria brewokan itu walau sebenarnya keinginanku jauh berbeda dengan perintahnya.

 

"Mas hati-hati di jalan!" Aku melambaikan tangan padanya lalu masuk ke rumah setelah mobilnya sudah tak kelihatan lagi.

 

Kubawa sepiring nasi goreng dan segelas susu hangat menuju kamar tamu yang ditempati Diyya. Kuketuk pintunya, lalu masuk. Gadis kecil itu buru-buru bangun dari tempat tidur dan tersenyum ke arahku.

 

"Selamat pagi, Cantik. Sarapan dulu, yuk!" sapaku padanya sembari meletakkan makanan yang dihadapannya.

 

"Gak usah repot-repot, Bu!" ujarnya sembari melirik makanan di hadapan, ia terlihat menelan ludah sambil menggigit bibir lalu menundukkan wajah.

 

"Gak repot kok, ayo dimakan, Nak! Sama Bu Endang gak usah malu-malu, santai saja," kataku sambil mengelus pundaknya.

 

Sandiyya menatapku malu-malu, lalu makan dengan lahabnya. Kasian sekali dia, sepertinya ia sangat lapar. Apakah dia belum makan dari semalam? Aku jadi menyesal tadi malam tak menawari dia makan. Seorang wanita hamil yang usia kandungnya sudah agak gede itu pasti doyan makan. Begitu yang kudengar dari orang-orang, soalnya diriku belum pernah mengalami nikmat Allah yang satu itu. Ah, mendadak hati jadi pilu jika teringat hal yang begitu kudamba sejak lama.

 

"Makasih ya, Bu," ucap Sandiyya pelan sembari melirikku.

 

Oh, ternyata piring dan gelasnya sudah bersih tanpa sisa. Kutarik napas dalam-dalam agar air mata tak jatuh di pipi ini. Rasa prihatinku pada gadis hamil berusia belia ini membuat air mata selalu ingin luruh saja.

 

"Kalau mau nambah, nasi gorengnya masih ada banyak loh di dapur," kataku dengan memaksakan senyum.

 

"Makasih, Bu. Diyya udah kenyang. Makasih, Bu, sudah baik sama Diyya," ujarnya dengan wajah ingin menangis.

 

"Jangan nangis, Nak! Ibu hamil gak boleh cengeng, entar yang di dalam perut ikutan nangis juga," ucapku berusaha menghiburnya.

 

Mendengar ucapanku, Sandiyya malah menangis sambil memegangi perut buncitnya. Apa aku salah bicara? Astaga, aku harus hati-hati lagi dalam berbicara. Permasalahan yang sedang dihadapinya ini sangat berat, wajar saja kalau ia jadi sensetif. Apalagi dia hamil diusia dini dan tanpa suami.

 

Kuhapus air mata di pipi mulus gadis berambut panjang itu dan membujuknya untuk tidak menangis lagi. Kusuruh ia mandi dan menyuruhnya mengganti pakaian dengan pakaian yang sudah kupinjami, walaupun agak kebesaran.

 

Kini wajahnya sudah terlihat agak segar dan bersih. Aku duduk di samping gadis itu sambil membantu menyisir rambut panjangnya.

 

"Kalau Bu Endang boleh tahu, apa rencana kamu selanjutnya, Diyya?" tanyaku pelan.

 

"Gak tahu, Bu," jawabnya lirih.

 

"Diyya .... " Kupandangi wajah polosnya. "Kamu tahu gak, kalau melakukan hubungan badan dengan lawan jenis itu bisa hamil?" tanyaku masih penasaran akan nalar murid cerdasku itu.

 

Diyya tertunduk dan menjawab, "Tahu, Bu. Tapi, kata teman-teman kalau cuma satu kali doang gak akan hamil."

 

Kutarik napas panjang lalu mengalihkan pandangan darinya, jawabannya sungguh polos. Pengaruh teman-teman yang tidak benarlah yang telah menjeruskan anak ini. Sungguh miris pergaulan anak zaman sekarang.

 

"Terus ... Si Om juga janji ... bakalan pakai pengaman biar Diyya gak hamil katanya," lirihnya lagi sambil menggenggam benda pipih itu lagi. Ya, ponsel mata tiga yang lagi ngehits di kalangan anak muda.

 

"Waktu tahu hamil, Diyya udah berusaha gugurin, Bu. Udah makan nanas dan olahraga berat juga, tapi .... "

 

Aku tersenyum kecut mendengar ceritanya, bisa kubayangkan kebingungannya saat itu.

 

"Kamu menyesal, Diyya?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

 

"Menyesal, Bu." Sandiyya terlihat menahan tangis. Penyesalan sangat jelas tampak di wajahnya.

 

"Ya sudah, tak perlu kamu sesali lagi. Semuanya sudah terjadi, yang terpenting sekarang ... kamu harus menjaga kandungan itu baik-baik. Jangan berniat menggugurkannya lagi, bayi ini tidak berdosa. Jangan tambah dosamu dengan melenyapkannya, Diyya!"

 

"Iya, Bu."

 

"Satu lagi, apa kamu mau tetap sekolah?" Sekali lagi kutatap lekat wajah gadis berkulit bersih itu.

 

Sandiyya tersenyum kecut sambil menggigit bibirnya. Ia menarik napas lalu berkata, "Andaikan boleh, jawabannya iya, Bu. Namun Diyya sadar, kesempatan untuk meraih cita-cita itu telah kandas bersamaan kesalahan fatal ini."

 

"Emang Diyya punya cita-cita mau jadi apa?"

 

"Jadi seperti Bu Endang, seorang guru matematika yang menyenangkan. Selalu bisa membuat anak didiknya bersemangat untuk belajar."

 

Aku tersenyum, sedikit tersanjung dengan ucapan polosnya. Semangatku untuk membantu dan memperjuang anak didikku ini semakin berkobar.

 

"Bu Endang janji akan bantu kamu menggapai cita-cita itu. Kekhilafan fatalmu harus ditebus dengan kegigihan untuk mau memperbaiki kesalahan. Ibu yakin kamu pasti bisa."

 

"Benar, Bu?" tanyanya bersemangat dengan binar bahagia. Akhirnya aku bisa melihat senyum manis itu lagi.

 

"Insyallah. Ya sudah, Ibu mau ke sekolah. Kamu di rumah saja dulu! Kunci kamarnya dan jangan ke mana-mana. Kamu sekarang tanggung jawab Bu Endang, kamu aman di sini."

 

"Terus ... Ibuk .... "

 

"Masalah Ibuk kamu, nanti Bu Endang yang akan berusaha memberikan pengertian padanya."

 

Aku keluar dari kamar Sandiyya dan bersiap-siap untuk pergi mengajar. Sebelum berangkat, tak lupa kubawa beberapa buah apel dan jeruk ke kamar gadis itu, juga setoples biskuit. Orang hamil biasanya suka ngemil. Semoga Allah juga cepat memberikan rasa itu padaku, kuelus perut ini sambil berdoa dalam hati.

 

Bersambung ....

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Tamat

    Siapa yang Menghamili MuridkuBab 59 : Tamat“Selama, Sandiyya, kamu berhak atas nilai ‘A’ dalam skripsimu ini.” Dosen pembimbing menyalamiku.Ya Allah, air mata kebahagiaanku jatuh tak tertahan, aku tak menyangka kalau akan mendapatkan nilai terbaik. Aku langsung melakukan sujud syukur.“Selamat, ya, Sandiyya. Semoga gelar Sarjana Pendidikan ini bisa kamu manfaatkan sebagai mana mestinya!” Kepala Jurusa Prodi Matematika memasangkan tanda lulus yang bertuliskan “Sandiyya, S,Pd” di bahuku, seperti putri Indonesia tampilanku saat ini, senang tak terkira hatiku.Air mata masih tak dapat kutahan, aku tersenyum senang dan menyalami dua dosen penguji, dosen pembimbing juga Kepala jurusan.“Sayang, selamat, ya.” Om Egi menyalamiku saat ruangan mulai sepi, para dosen sudah keluar dari ruangan sidang.“Makasih, ya, Mas, semua ini tak lepas dari dukungan kamu, Bu Endang, Ibuk juga anak-anak. Aku persembahkan keberhasilan ini kepada kalian,” jawabku sambil menerima uluran tangannya.“Kita pulan

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Lega

    Siapa yang Menghamili Muridku?Bab 58 : LegaSaat membuka mata di pagi hari, aku merasa semua drama yang terjadi semalam adalah mimpi. Akan tetapi, pria yang masih terlelap di sampingku ini membuatku yakin kalau hal semalam adalah nyata adanya.Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menarik napas lega, hati ini terasa berbunga-bunga saat ini. Nggak nyangka saja, kalau kini aku telah resmi menjadi istri Om Egi. Melani, dia wanita tegar, yang rela mundur dari pernikahannya. Aku berhutang budi kepadanya, kalau bukan karena dia, aku tak yakin bisa menikah Papa dari putraku itu.“Selamat pagi, Sayang.” Sebuah pelukan serta ciuman mendarat di dahiku.Aku menoleh dan menahan senyum, sedikit malu juga sebab pagi status kami tak lagi seperti kemarin lagi.“Saya mau mandi dulu,” ujarnya sambil melepaskan pelukannya dariku lalu turun dari tempat tidur.Aku mengangguk lalu melipat selimut juga merapikan bantal. Jadi kangen dengan anak-anak, sedang apa mereka dan di mana? Kuraih ponsel dan melak

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Trauma

    Siapa yang Menghamili MuridkuBab 57 : Trauma“Terima kasih, ya, Tante Melani. Diyya janji akan selalu mengingat pesan ini, terima kasih juga atas—“ Aku tak bisa melanjutkan kata-kata ini, hanya air mata yang kembali menjawab semua ini.“Iya, sama-sama, saya mengerti, semoga kalian selalu bahagia.” Melani melepaskan pelukannya.Bu Endang menghampiri Melani dan memeluknya, mereka sedikit menjauh dan terlihat berbicara. Om Egi dan aku mendekat kepada Ibuk lalu salim kepadanya.“Jaga putri Ibuk yang masih kekanak-kanakan ini ya, Egi, cinta dan sayangi dia. Tuntun dan bimbinglah dia menjadi istri yang sholeha dan berbakti kepada suami. Ibuk sangat senang kalian bisa berjodoh,” ujar Ibuk dengan sambil menepuk pundak Om Egi.“Insyallah, Buk,” jawab Om Egi.Aku langsung memeluk Ibuk dan menangis di pundaknya, dan Ibuk mulai mengeluarkan nasihat-nasihatnya untuk kami.“Bu Melani, terima kasih, telah menikahkan putri saya dengan pria yang ia sayangi tapi tak berani ia ungkapan karena masa lalu

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Pergantian Mempelai

    Siapa yang Menghamili Muridku?Bab 56 : Pergantian Mempelai“Maafkan aku, Melani!” Om Egi menundukkan kepalanya.“Semua ini tak cukup hanya dengan meminta maaf saja, Egi! Kamu kenapa sih? Kalau memang tak mau nikah denganku, kenapa nggak bicara terus terang saja!” Melani menatap tajam Om Egi dan mengangkat wajah pria bertubuh tinggi itu hingga mereka bertatapan.“Semua terjadi tanpa kuasaku, bukan mauku seperti ini, Melani!” jawab Om Egi dengan suara parau, wajahnya terlihat kacau saat ini.“Jadi maumu apa?!” Melani berteriak marah yang membuat aku memegangi dada karenanya. “Apa maumu menikah dengan gadis muda ini? Bilang dong sama dia, jangan menjadikanku korban begini!”Om Egi terdiam.“Lalu kamu ... Sandiyya ‘kan namamu? Kenapa kamu menolak Egi kalau kamu tak ikhlas melihat dia menikah denganku?!” Melani kini menatapku tajam.“I—iya ... nggak gi—gitu, Tante ... Diyya i—ikhlas kok kalian me—menikah .... “ jawabku dengan terbata-bata, mati kutu rasanya dimarahkan calon istrinya Om

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Menghitung Hari

    Siapa yang Menghamili Muridku?Bab 55 : Menghitung HariSejak malam itu, aku mulai menghitung hari. Om Egi juga tak pernah datang atau juga mengirimkan chat. Aku juga enggan menangis sebab air mata suka jatuh dengan sendirinya walaupun aku tak mau menangis.Bu Endang, dia sangat senang mengetahui Om Egi akan menikah walau ada hati yang terluka atas hal itu. Guru tersayangku itu tak tahu kalau ada sesuatu diantara kami yang memang tak diketahui oleh siapa pun, kecuali hati kami berdua.Bu Endang itu sudah sibuk mengurusi anak kembarnya yang sedang aktif-aktifnya, jadi wajar saja kalau dia takkan sempat memantau hubunganku dengan Om Egi. Kalau dia tahu ada apa-apa diantara kami, dia pasti takkan membiarkan Abangnya mau menikahi wanita lain. Ah, sudahlah, ini sudah keputusanku dan mungkin saja sudah takdir dari Yang Maha Kuasa.Hari ini, tanggal di kalender yang kulingkari sudah berjumlah 6, dan itu tandanya kalau besok adalah yang paling menyedihkan akan tiba. Aku harus kuat, kebaya unt

  • Siapa yang Menghamili Muridku?   Mencoba Ikhlas

    Siapa yang Menghamili Muridku?Bab 54 : Mencoba IkhlasHari ini kondisiku sudah semakin membaik, mungkin karena bubur dan obat yang diberikan langsung oleh orang yang kusayangi tapi takkan lama lagi dia tidak akan bisa seperhatian ini lagi jika sudah menikahi Melani nanti. Melani akan menjadi wanita paling beruntung karena memiliki pria sebaik dan perhatian seperti Om Egi, hanya aku yang akan menangis sepanjang jalan atas isi hati yang tak bisa tersampaikan kepadanya.[Bagaimana keadaan Mamanya Dio? Apa perlu saya bawa ke dokter hari ini?]Itu chat dari Om Egi yang membuat suasana hati semakin membaik, apalagi saat membayangkan senyum juga tatapannya, aku jadi tersenyum sendiri.[Udah sembuh, Om, terima kasih, ya.]Kubalas chat dan berharap ia tak kembali membalasnya, sebab aku harus bisa membiasakan diri tanpa perhatiannya walau sebenarnya aku senang akan semua sikap manisnya selama ini. Om Egi, aku sayang sama Om tapi maaf ... aku belum bisa menjadi pendamping terbaik untukmu. Aku a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status