Share

Menyesal

Siapa yang Menghamili Muridku?

 

Bab 3 : Menyesal

 

Setelah membuatkan sarapan untuk Mas Bilal, kutemani ia duduk di depan meja makan. Lalu menyiapkan bekal untuknya. Tempat kerja yang lumayan jauh, mengharuskan ia berangkat pagi-pagi sekali sebelum jalanan macet. Dia mengelola perusahaan tambang minyak warisan keluarga.

 

"Mas berangkat dulu, Dek. Hati-hati di rumah! Ingat, jangan terlalu ikut campur dengan urusan anak muridmu itu. Sebaiknya antar dia pulang pagi ini juga!" ucapnya ketika memasuki mobil.

 

Aku hanya mengangguk, tak kuasa membantah omongan pria brewokan itu walau sebenarnya keinginanku jauh berbeda dengan perintahnya.

 

"Mas hati-hati di jalan!" Aku melambaikan tangan padanya lalu masuk ke rumah setelah mobilnya sudah tak kelihatan lagi.

 

Kubawa sepiring nasi goreng dan segelas susu hangat menuju kamar tamu yang ditempati Diyya. Kuketuk pintunya, lalu masuk. Gadis kecil itu buru-buru bangun dari tempat tidur dan tersenyum ke arahku.

 

"Selamat pagi, Cantik. Sarapan dulu, yuk!" sapaku padanya sembari meletakkan makanan yang dihadapannya.

 

"Gak usah repot-repot, Bu!" ujarnya sembari melirik makanan di hadapan, ia terlihat menelan ludah sambil menggigit bibir lalu menundukkan wajah.

 

"Gak repot kok, ayo dimakan, Nak! Sama Bu Endang gak usah malu-malu, santai saja," kataku sambil mengelus pundaknya.

 

Sandiyya menatapku malu-malu, lalu makan dengan lahabnya. Kasian sekali dia, sepertinya ia sangat lapar. Apakah dia belum makan dari semalam? Aku jadi menyesal tadi malam tak menawari dia makan. Seorang wanita hamil yang usia kandungnya sudah agak gede itu pasti doyan makan. Begitu yang kudengar dari orang-orang, soalnya diriku belum pernah mengalami nikmat Allah yang satu itu. Ah, mendadak hati jadi pilu jika teringat hal yang begitu kudamba sejak lama.

 

"Makasih ya, Bu," ucap Sandiyya pelan sembari melirikku.

 

Oh, ternyata piring dan gelasnya sudah bersih tanpa sisa. Kutarik napas dalam-dalam agar air mata tak jatuh di pipi ini. Rasa prihatinku pada gadis hamil berusia belia ini membuat air mata selalu ingin luruh saja.

 

"Kalau mau nambah, nasi gorengnya masih ada banyak loh di dapur," kataku dengan memaksakan senyum.

 

"Makasih, Bu. Diyya udah kenyang. Makasih, Bu, sudah baik sama Diyya," ujarnya dengan wajah ingin menangis.

 

"Jangan nangis, Nak! Ibu hamil gak boleh cengeng, entar yang di dalam perut ikutan nangis juga," ucapku berusaha menghiburnya.

 

Mendengar ucapanku, Sandiyya malah menangis sambil memegangi perut buncitnya. Apa aku salah bicara? Astaga, aku harus hati-hati lagi dalam berbicara. Permasalahan yang sedang dihadapinya ini sangat berat, wajar saja kalau ia jadi sensetif. Apalagi dia hamil diusia dini dan tanpa suami.

 

Kuhapus air mata di pipi mulus gadis berambut panjang itu dan membujuknya untuk tidak menangis lagi. Kusuruh ia mandi dan menyuruhnya mengganti pakaian dengan pakaian yang sudah kupinjami, walaupun agak kebesaran.

 

Kini wajahnya sudah terlihat agak segar dan bersih. Aku duduk di samping gadis itu sambil membantu menyisir rambut panjangnya.

 

"Kalau Bu Endang boleh tahu, apa rencana kamu selanjutnya, Diyya?" tanyaku pelan.

 

"Gak tahu, Bu," jawabnya lirih.

 

"Diyya .... " Kupandangi wajah polosnya. "Kamu tahu gak, kalau melakukan hubungan badan dengan lawan jenis itu bisa hamil?" tanyaku masih penasaran akan nalar murid cerdasku itu.

 

Diyya tertunduk dan menjawab, "Tahu, Bu. Tapi, kata teman-teman kalau cuma satu kali doang gak akan hamil."

 

Kutarik napas panjang lalu mengalihkan pandangan darinya, jawabannya sungguh polos. Pengaruh teman-teman yang tidak benarlah yang telah menjeruskan anak ini. Sungguh miris pergaulan anak zaman sekarang.

 

"Terus ... Si Om juga janji ... bakalan pakai pengaman biar Diyya gak hamil katanya," lirihnya lagi sambil menggenggam benda pipih itu lagi. Ya, ponsel mata tiga yang lagi ngehits di kalangan anak muda.

 

"Waktu tahu hamil, Diyya udah berusaha gugurin, Bu. Udah makan nanas dan olahraga berat juga, tapi .... "

 

Aku tersenyum kecut mendengar ceritanya, bisa kubayangkan kebingungannya saat itu.

 

"Kamu menyesal, Diyya?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

 

"Menyesal, Bu." Sandiyya terlihat menahan tangis. Penyesalan sangat jelas tampak di wajahnya.

 

"Ya sudah, tak perlu kamu sesali lagi. Semuanya sudah terjadi, yang terpenting sekarang ... kamu harus menjaga kandungan itu baik-baik. Jangan berniat menggugurkannya lagi, bayi ini tidak berdosa. Jangan tambah dosamu dengan melenyapkannya, Diyya!"

 

"Iya, Bu."

 

"Satu lagi, apa kamu mau tetap sekolah?" Sekali lagi kutatap lekat wajah gadis berkulit bersih itu.

 

Sandiyya tersenyum kecut sambil menggigit bibirnya. Ia menarik napas lalu berkata, "Andaikan boleh, jawabannya iya, Bu. Namun Diyya sadar, kesempatan untuk meraih cita-cita itu telah kandas bersamaan kesalahan fatal ini."

 

"Emang Diyya punya cita-cita mau jadi apa?"

 

"Jadi seperti Bu Endang, seorang guru matematika yang menyenangkan. Selalu bisa membuat anak didiknya bersemangat untuk belajar."

 

Aku tersenyum, sedikit tersanjung dengan ucapan polosnya. Semangatku untuk membantu dan memperjuang anak didikku ini semakin berkobar.

 

"Bu Endang janji akan bantu kamu menggapai cita-cita itu. Kekhilafan fatalmu harus ditebus dengan kegigihan untuk mau memperbaiki kesalahan. Ibu yakin kamu pasti bisa."

 

"Benar, Bu?" tanyanya bersemangat dengan binar bahagia. Akhirnya aku bisa melihat senyum manis itu lagi.

 

"Insyallah. Ya sudah, Ibu mau ke sekolah. Kamu di rumah saja dulu! Kunci kamarnya dan jangan ke mana-mana. Kamu sekarang tanggung jawab Bu Endang, kamu aman di sini."

 

"Terus ... Ibuk .... "

 

"Masalah Ibuk kamu, nanti Bu Endang yang akan berusaha memberikan pengertian padanya."

 

Aku keluar dari kamar Sandiyya dan bersiap-siap untuk pergi mengajar. Sebelum berangkat, tak lupa kubawa beberapa buah apel dan jeruk ke kamar gadis itu, juga setoples biskuit. Orang hamil biasanya suka ngemil. Semoga Allah juga cepat memberikan rasa itu padaku, kuelus perut ini sambil berdoa dalam hati.

 

Bersambung ....

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status