Sri Astuti menghubungi Bu Sudarmaji dari kampusnya. “Hai Rahma, kamu ada waktu siang ini?”“Ada dong. Memang aku ini wanita karir kayak kamu. Aku ini kan cuma ibu rumah tangga. Jadi kerjaannya ya di rumah.” Jawab Bu Sudarmaji diiringi tawa.“Uh, dasar banyak gaya si Nyonya Sudarmaji.”“Memang ada apa Sri?”“Aku mau bicara tentang satu hal.”“Wah, kayaknya dari nada suara kamu masalah serius ya.”“Pokoknya ketemu ya siang ini. Kita makan di restoran yang kemaren saja. Yang langganan kamu itu.”“Boleh. Terus kita langsung ketemuan di sana?"“Iya aku langsung ke sana saja. Sekarang aku lagi di kampus. Aku langsung dari kampus ke sana. Kamu boleh ajak Eline juga.”“Ya udah, sebentar lagi aku hubungi Eline.”“Ya udah, ya. Sampai ketemu di sana.”“Ya, oke.” Tutup Bu Sudarmaji.Setelah menelpon Bu Sudarmaji, Sri Astuti menelpon Lisa. Lisa menerima telepon tepat setelah selesai diskusi dengan Nia. Saat Nia keluar dari ruangan Lisa, handphonenya berbunyi. “Iya, Ma. Jadi kita ketemu sama Tante
Sri Astuti dan Tomas suaminya sedang sarapan pagi. Lisa masuk ke ruangan makan dan menyapa keduanya. "Pagi, Pa, Ma.""Pagi, mau kemana kamu pagi-pagi sudah rapi?" tanya Pak Tomas pada putrinya. "Kayak orang mau dinas atau mau ngantor gitu." Pak Tomas memperhatikan putrinya dari kaki sampai kepala. Ia tersenyum sambil memasukkan sepotong buah pepaya ke mulutnya."Belum dibilangin, Ma ya Pa?""Soal apa? Belum ada Mamamu cerita.""Memang kamu sudah fiks kerja di kantornya, Mirna?""Ya sudah, Ma. Kemaren kan jadi ketemu Mirna.""Oo, Mirna teman kuliahmu di LA itu ya?""Iya, Pa. Dia punya kantor konsultan keuangan dan akuntan gitu. Dia mendirikan kantor itu bersama suaminya beberapa tahun yang lalu."Wah, baguslah dari pada bengong di rumah. Lagian kan cocok juga dengan bidang pendidikan kamu. Walau penelitian S2 kamu kemaren lebih ke pengelolaan keuangan masyarakat kecil. S1 kamukan dulu akuntansi." Pak Tomas berbicara sambil me lap mulutnya pakai serbet."Iya, Pa. Memang sudah harus ada
Lisa dan Jefri ngobrol di kafe itu sampai pukul delapan malam. Mereka begitu asyik berduaan. Lisa seperti mendapatkan kawan yang bisa diajaknya ngobrol berjam-jam. Berbeda dengan Jayadi yang hanya sesekali merespon Lisa. Jayadi selalu bersikap dingin walaupun ia bisa terlihat santai menanggapi Lisa. Bersama Jefri semua cerita dan perkataan mendapatkan respon yang setimpal."Udah pukul delapan malam," Jefri melihat waktu di handphonenya."Kenapa? Kamu sudah mulai bosan?" tanggap Lisa sambil menatap mata Jefri."Bosan dengan kamu. Nggak lah.""Terus mengapa memikirkan waktu?" Lisa memainkan pipet minuman di tangannya. "Ya, kalau kamu bosan nggak di sini?" "Iya sih sudah mulai bosan.""Ya kalau sudah bosan di sini? Kita cari tempat lain, gimana?" kata Jefri."Memang sudah hampir empat jam kita di sini, hehe." Lisa memandang wajah Jefri. Apa aku tidak salah, mengapa justru aku seakan menemukan yang sebenarnya kucari pada adik Jayadi ini, batin Lisa.Jefri balas menatap mata Lisa. Mungk
Jefri membawa mobil keluar dari gerbang kantor Mirna.“Kemana nih arahnya lagi? Belok ke kanan atau ke kiri?”"Ke kiri,” kata Lisa yang terkejut karena saat itu dia lagi membalas pesan WA seorang kawan lamanya.“Kamu mau diantar kemana? Pulang atau kemana kakak ipar tak jadi.” Perkataan Jefri mengundang tawa Lisa. Jefri pun ikut tertawa sambil terus konsentrasi membawa mobil.“Jangan pulang dulu ah. Kamu mau menemaniku jalan-jalan? Habisnya aku bosan di rumah.”“Boleh, mau jalan kemana? Kebetulan aku juga lagi bosan. Habisnya sejak mulai menggantikan Jayadi di kantor, kepala mulai mumet karena sibuk dengan urusan bisnis.”“Kemana saja deh. Pokoknya jalan sampai capek, kalau perlu sampai pagi,” kata Lisa disertai tawa keras.Jefri senang melihat Lisa lebih rileks dan tak lagi pusing memikirkan hubungannya dengan Jayadi. Apalagi kalau ketemu mama, kelihatan wajah keduanya kusut, batin Jefri. Ia pun tersenyum karena memikirkan itu.“Kamu kok tersenyum, ada yang lucu ya?” Lisa mulai beran
Saat makan sesekali Lisa mencuri pandang pada Jefri. Jefri pura-pura tidak menyadari sikap Lisa begitu. Ia seakan hanya sibuk menikmati makanan di restoran dan sesekali bercanda dengan Mamanya, Eline dan Sri Astuti.“Ma, sungguh enak makanan di sini Ma. Sumpah, selera makanku jadi bertambah-tambah.”“Nah, ayo nambah lagi kalau begitu. Nih gulai ikannya enak bener di sini,” kata Bu Sudarmaji sambil menggeser gulai ikan dengan kuah santan kuning ke dekat Jefri.“yang ini juga enak nih. Coba kamu cicipi cumi bakar pakai sambal merah ini,” kata Eline menyodorkan masakan lainnya ke depan Jefri.“Jangan sampai naik berat badan ku saat pulang dari luar sana.” Jefri mulai berkeringat karena makan penuh semangat. Sesekali ia seperti kepedasan. "Eemm, pedas manis tapi rasanya nendang. Wah gawat bisa gendut nih."“Nggak akan, asal sering olah raga saja,” kata Si mama pada putranya.Lisa yang dari tadi memperhatikan Jefri, tiba-tiba punya hasrat ingin mendekati Jefri. Ia mulai menyusun rencana ba
Selesai makan siang, keempat orang perempuan itu pergi ke salon. “Kita ke salon yang biasa ya. Yang ada di sebelah plaza itu,” kata Bu Sudarmaji. “Perginya dengan satu mobil saja, pakai mobil Eline saja,” lanjut Bu Sudarmaji. “Baik, Tante,” kata Eline sambil pergi ke garasi mobilnya yang berada di samping kir rumah. Eline membawa mobil ke depan rumah, Lisa duduk di depan di sebelah Eline. Bu Sudarmaji dan Sri Astuti duduk di belakang. “Gimana kabar putramu?” tanya Sri Astuti saat mobil mereka mulai meninggalkan gerbang rumah Eline. Tini yang berdiri dekat gerbang melepas kepergian mereka kemudian menutup gerbang. “Nggak tahu tuh, katanya pergi ke Bali.” “Ada acara apa dia ke Bali?” ‘Ah sudah lah, aku lagi malas membicarakan anak satu itu.” Bu Sudarmaji cemberut karena Sri Astuti masih menanyakan soal Jayadi. Sri Astuti menanggapi gerutuan Bu Sudarmaji dengan memijat bahu sahabatnya itu. “Ah santai saja besti, jangan terlalu serius menanggapi anak muda.” Sri Astuti coba