◇❖❖◇
|Arga|
Cahaya matahari yang nampak dari balik jendela sel kian memudar, mulai menyongsong kegelapan menandakan malam kembali.
Sudah genap dua hari aku di kurung di balik kandang dingin nan membekukan ini, besok aku akan membantai sukuku sendiri, tempat lahirku, keluargaku. Jika dipiki-pikir, bukankah kelakuanku tidak lebih bejat dari pamanku sendiri, bukankah usaha ayahku akan sia-sia jika anaknya berakhir kelam seperti saudaranya sendiri?. Rasa bersalah terus menghantui ku.
Dalam kegelapan nan hampa, aku terus memikirkan Jika bukan karena mereka menculik ibuku, mengancamku dengan ibuku. Aku terus merutuki kebodohan ku yang awalnya ingin mencari Anggrek Berlian untuk menyembuhkan ibuku, malah jatuh terjebak dalam kemunafikan mereka.
"Makam malam." Seonggok daging memenuhi nampan diselipkan melalui celah sel. Setelahnya prajurit itu berlalu meninggalkan ku kembali bersama kegelapan. Aku kembali meringkuk membenamkan kepalaku, memikirkan ibu yang masih terkurung diluar sana, membuatku tidak berselera untuk makan.
"Apa kau benar-benar tidak ingin memakannya?." Suara kali ini terdengar akrab di telingaku berbeda dengan suara sebelumnya yang terdengar ketus dan kasar. Aku menengadah memperhatikan seseorang yang berdiri menjulang dari balik kurungan.
Kudapati Manggala tengah menatapku iba, "Arga aku disini untuk membebaskanmu." Manggala mulai membukakan kunci sel, dia membiarkanku keluar. Aku hampir-hampir tak percaya, bukankah dia pengawal kepercayaan Raja.
Dia berjongkok, lalu berbisik pelan ke telingaku, "Aku telah melumpuhkan penjagaan diluar selama 30 menit, kurungan ibumu ada di ujung Koridor selang dua buah belokan, yang satu mengarah ke kanan dan satu lagi ke kiri. Setelah kau belok lagi ke kanan, kau akan mendapati ibumu."
Entah apa yang merasukinya, namun yang pasti aku tak akan melupakan kebaikanmu Manggala, balasku sambil mengeluskan kepala ke lututnya tanda berterima kasih, setelahnya aku bergegas berlari mengikuti arahan Manggala untuk menemui ibuku. Yang benar saja, terlihat di kiri dan kanan jalan yang kulalui, para pengawal tersungkur pingsan, tak ada satupun yang terjaga.Aku semakin berlari cepat ketika kurungan itu sudah terlihat, namun hatiku mencelos melihat wanita yang tengah terlelap di balik jeruji, pipinya cekung , Tulang-tulangnya menonjol sedangkan kulitnya kelihatan dingin dan kusam. Makanan busuk menumpuk di sudut sel, menandakan sudah berhari-hari tak dimakan.
hatiku miris membayangkan betapa menderintanya ibu selama ini, dengan penyakit yang dideritanya, ditambah kelakuan anaknya sendiri yang menjerumuskan nya ke mala petaka.
Aku memukul-mukulkan kepalaku ke sel, menyesali kedurhakaanku, ingin rasanya aku menggantikan penderitaan nya itu. "Nak, Arga kau kah itu?."
Ibu terbangun mendengar suara besi yang ku benturkan ke kepala, dia mendekatiku mengulurkan tangannya keluar sel, mencoba meraihku, aku segera mendekatinya. Bukannya hardikan atau pukulan yang seharusnya kudapatkan, malah usapan lembut dan senyuman tulus yang dia berikan.
"Nak kau semakin kurus, apa kau tak makan dengan benar?." Ibu menanyaiku khawatir. 'Seharusnya Arga yang bertanya begitu kepada ibu,' Aku menatap ibu lirih.
"Kau pasti sangat menderita karena tak bisa kembali ke wujud aslimu." Aku semakin merasa bersalah, di saat sengsara pun ibu masih mencemaskanku. Aku menggelengkan kepala, cepat menyangkal, mataku mulai berair.
"Nak, ibu diam-diam telah menyuruh pipit untuk menemukan kalungmu." Ibu mengeluarkan kalung berbandul putih dari gundukan jerami. Sama sepertiku ibu juga memiliki hewan magis, seekor burung pipit.
"Pakailah Nak." Kata ibu sambil mengalungi ku dengan tangan rinkihnya. Sekejap cahaya putih berpendar mengitari kalung, lalu mengitariku, aku kini kembali ke wujud manusia ku.
"Ayo bu... Kita harus keluar dari sini." Aku bergegas mencari cara agar bisa melepaskan ibu. Namun Anehnya, semua kekuatan ku tak mempan pada kurungan itu.
"Percuma nak, penjara ini hanya bisa dibuka oleh Orang Negeri." Ibu menatapku dengan mata sayunya, "Tapi bu kita harus kembali bersama, harus menyelamatkan desa..." aku masih mencoba menghancurkan sel itu, "tinggalkan ibu nak, jangan buang waktumu disini, uhhuk....uhhukk." Penyakit Ibu kambuh, dia memuntahkan banyak darah. "Ibu...ibu... Harus bertahan..." Air mata yang sedari tadi kutahan mulai merembes, walau sudah pasrah dengan takdirnya ibu masih tersenyum.
"Arga kau harus kabur dari kerajaan ini, ibu akan mengalihkan perhatian mereka." Dalam masa kritisnya, Ibu masih sempat mengusap tanganku yang lebam membiru, berusaha mengurangi rasa sakitnya.
"Pergilah Nak, ingatlah ibu akan selalu mendukung setiap keputusanmu." Lagi-lagi ibu memberikanku semangat tulus, "Ibu... Maafkan... Maafkan Arga." Aku menatap ibu lekat untuk terakhir kalinya. Aku dengan berat hati meninggalkannya. Meskipun begitu, Senyuman lebar masih terpampang di wajah cantiknya, mengiringi kepergianku.
Tak lama, aku bertemu dengan penjaga di ujung lorong, otomatis kusembunyikan diri ke sela-sela tembok. Merasa curiga, penjaga itu mendekati tembok tempat persembunyian ku, aku mempersiapkan kekuatan, siap menyerang jika ditemukan.
Namun tiba-tiba Tawa Ibu Berkumandang ke penjuru sel. Tawanya hampa, patah-patah, dan parau karena jarang dikeluarkan. Menarik perhatian para penjaga, termasuk penjaga yang mencoba mendekatiku tadi. "PANGGIL RAJA KALIAN KEMARI!!." Terik Ibu Menggelegar. "AKU AKAN MEMBERITAHUKAN SUATU RAHASIA." Tawanya tidak kunjung berhenti, membuat Para pengawal dan prajurit yang berjaga menjadi heboh.
Aku tahu, ibu tidak akan memberitahukan apapun, karena ibu sangat menyanyangi sukunya. Semata-mata kericuhan yang ibu buat hanya untuk mengendorkan penjagaan, mengecoh mereka agar anaknya tersayang dapat kabur meninggalkan kerajaan.
Ibu akan langsung di habisi jika Raja tahu bahwa ibu tidak memberikan informasi penting apapun. Ingin aku kembali dan mencegah ibu melakukan itu, lalu membawa ibu pulang, dan mendekapnya erat seperti saat aku masih kanak-kanak. Namun itu hanya akan membuat pengorbanan ibu sia-sia. Air mataku semakin deras mengalir.
Ku paksakan kakiku kembali berlari walau berat hati meninggalkan ibu. Aku menyelinap keluar dengan mulus. Tak berhenti aku terus berlari meninggalkan kerajaan, tanpa arah, pasrah mengikuti langkahku. Aku sesenggukan, terbungkuk-bungkuk kehabisan nafas, Kini aku sendirian, tak ada lagi yang kumiliki di dunia ini.
|Arga| Seiring jam demi jam berlalu, udara seolah membakar paru-paru dan mengeringkan tenggorokanku. Sensasi tersebut hanya disamai oleh ototku yang serasa dijalari api. Ototku yang pegal menjerit-jerit seiring tiap langkah, seiring tiap ayunan kaki ke depan dan ke atas untuk mendaki batu-batu terjal, yang mengarah ke puncak tebing. Udara semakin dingin semakin tinggi aku naik, sedangkan kakiku sesekali terpeleset di tanah licin berselimut kubangan lumpur dan permukaan cadas berkerikil. Meskipun ngilu, aku terus maju. Lautan berombak membentang di hadapanku. Uap air di udara berkondensasi dan jatuh, membasahiku. Kabut disusul oleh hujan, yang menderas dalam sekejap. Bagaikan hujan badai yang tiba-tiba. Aku sudah basah kuyup dalam hitungan detik, di tengah terpaan hujan. Aku menghirup udara dalam-dalam, membiarkan bau tajam hujan berbaur tanah menusuk indraku. Di atas, langit mendung berair menyembunyikan matahari. Seaka
|Arga|"Nak bangun." kurasakan suara yang kelewat lembut, mengusik pendengaranku memaksaku untuk terbangun, mataku menyipit tak kala terkena silauan cahaya mentari pagi. Aku terpaku, nafasku tersengal. Ku pandangi sekitarku, untuk mencari tahu keberadaan nya.Semua tata letak perabotan, lukisan, pahatan terlihat akrab dan nampak sama dengan rumahku. 'Apakah aku kembali ke rumah, Bukankah aku sudah tenggelam di lautan?, tapi siapa yang membawaku pulang?.' Batinku bertanya-tanya. Aku tersadarkan oleh riuhnya suara burung, yang berkicau di bawah langit kebiruan bertabur sinar keemasan.Mataku tertumbuk ke asal suara ramah yang membangunkan ku tadi. Aku mendapati sebuah wajah yang malah lebih ramah lagi. "Ibu?!." Kagetku. "Apa benar ini ibuku?, Nyonya Arjanti Baratajaya?." merasa tak percaya, aku menampar kedua pipiku keras. Aku melenguh tak kala merasakan nyeri di kedua pipiku. Orang yang kuyakini sebagai ibuku terheran-heran, "Ada apa denganmu, nak?. Apakah
Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.Rumah itu sendiri,
"Oh jadi itulah sebabnya, suku kita tidak mau bekerjasama dan mematuhi peraturan kerajaan Maheswara." Celutuk Barra, pemuda tampan bersurai perak, sembari mengusap-usap Sigung peliharaan di pangkuannya.Arga tersenyum tipis, sesuai perkiraannya, Orang Kerajaan memang sudah bertindak. "Itulah sebabnya aku mengumpulkan kalian disini, karena aku tidak ingin jika suatu saat nanti, suku kita akan berakhir hancur, hanya karena kita menganggap remeh dan menutup sebelah mata atas penyabotasean ini.""Menurutku kita sebagai generasi muda dalam suku, memang harus melakukan tindakan secepat mungkin." Komentar Farra serius.Arga bangkit dengan keluwesan nan anggun. Ekspresinya tak terbaca,"Oleh sebabnya, disini aku sangat mengharapkan dedikasi kalian, sebagian sudahku rancangkan upaya apa saja yang harus kita lakukan." Arga membuka buku agendanya, dia tampak memilah-milah, "pertama, Melakukan pengamanan, dengan berjaga-jaga dan mengingat kapan saja jadwal penyer
◇❖❖◇Seusai dari pertemuan rapat tadi pagi bersama para sahabatnya, siangnya Arga melanjutkan pergi ke balai desa ingin meminta izin atas kepergiannya kepada sang kepala suku.Tok... Tok... TokArga mengetuk pelan pintu ruang belajar Eyang Abimayu, dia tampak gugup, karena ini kali pertamanya meminta izin secara resmi. Jika sebelumnya, Arga langsung melarikan diri dari desa tanpa sepengetahuan teman dan para warga. Mengakibatkan dirinya berakhir tragis. Kini demi tugas melindungi desa dan rencana balas dendamnya, dia harus bisa membuktikan kepada gurunya itu, bahwa dia bisa dipercayai dalam mengatasi masalah suku."Masuk." suaranya pelan dan tegas. Arga memasuki ruangan yang dipenuhi senjata-senjata tradisional, dengan rak-rak buku menjulang di setiap sisi. Eyang tengah sibuk membaca berkas-berkas yang menggunung, kepalanya menyembul dari tumpukan-tumpukan dokumen."Ada apa Arga?." Tanya Eyang Abimayu t
◇❖❖◇Setelah mengemas dan mempersiapkan segala pembekalan, Arga siap bepergian. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai rencananya. Namun, demi keamanan, Arga meninggalkan Nehan untuk mengurus Ibu. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Orang Darat terbongkar, karena akan terlalu mencolok membawa seekor Harimau ke khalayak banyak.Kini Arga menyusuri hutan belantara. Setelah berpamitan dengan Eyang, ibu, beserta para sahabatnya. Kakinya akan menapaki jalan selama satu hari dua malam. Suasana hutan masih terasa sama seperti dua bulan yang lalu. Ketika dirinya masih seorang pemuda polos yang gampang dimanfaatkan.Kini setelah semua peristiwa tersebut, menjadikannya diri yang baru, dewasa, ambisius, dan penuh rencana. Dia tidak akan mudah terpengaruh lagi, walaupun harus kembali ke kandang Singa. Dia sudah menyiapkan strategi agar bisa menghukum Singa.Beberapa saat menjelajah kini Arga telah sampai di sebuah lembah, dia merasa kelelahan
Kini Arga, sedang mengitari pasar plaza yang ada di depan gerbang istana. Dia ingin menyempatkan diri untuk menikmati beberapa makanan lokal.Sebelum kerajaan mengubahnya menjadi guru sang pangeran, selagi dia masih bisa berjalan bebas tanpa harus menyembunyikan diri dalam balutan tudung tebal nan menggerahkan. karena di kehidupan yang lalu, dia tidak sempat untuk menjelajahi salah satu pusat perbelanjaan teramai di Kerajaan itu, apalagi hanya sekedar untuk mencicipi makanannya. Di sisi kanan dan kiri jalan nampak kios-kios penjual kaki lima yang di penuhi aneka barang lengkap, mulai dari kebutuhan pokok, barang-barang unik, hingga barang-barang magis. Para pedagang terlihat cukup sibuk untuk menjajakan barang dagangan yang dimiliki.Arga memutuskan untuk memasuki sebuah kedai teh. Kedai itu penuh ramai dengan pengunjung, untungnya masih ada satu tempat duduk kosong yang berada di ujung ruangan.Lantas Arga segera menuju kesana, t
Gerbang istana membentang kokoh dihadapan, tampak sudah berwarna silver kecoklatan, ia terus membentang kokoh dihadapan.Meski sudah lama melindungi bangunan kastil megah itu sehingga karatan, membuktikan perjuangan panjangnya dalam menghadang teriknya mentari juga guyuran hujan. Selama bertahun-tahun melebihi masa triwulan.Menarik nafas dalam Arga, melangkahkan kakinya siap memasuki kandang lawan. Kini dia berjalan santai tanpa perlu khawatir mendapat cegatan, atau bentakan dari para penjaga. Karena kedatangannya kali ini, sudah berbekalkan Undangan surat resmi dari kerajaan.Arga menyusuri Koridor istana sendirian, dia tidak memerlukan seseorang untuk menunjukkan jalan, sebab semua memorinya masih terpasang lekat di ingatan.Semua ruangan, serta tatanan furnitur, atau bahkan beragam rangkaian bunga masih terlihat sama di benaknya.Bayangan bangunan-bangunan tampak tak terlihat di tanah, berarti posisi matahari berad