Arga diawasi siang malam tak kurang dari dua belas penjaga, masing-masing
selalu awas dan siap siaga di balik jeruji sel. Hanya Arga seorang yang ditahan di sini. Tak seorang pun bicara atau sekedar menyapanya, termasuk para penjaga.Deru pintu besi bergeser di luar bungker. Para prajurit sedang bertukar sif. Kegaduhan merembes ke dalam dari jendela-jendela yang berposisi tinggi di dinding beton.
Ruangan ini sejuk, sebagian dibangun di bawah tanah, dan dibelah oleh koridor panjang yang memisahkan dua deret sel berjeruji.
Derap langkah kaki mendekat, terdengar bergema dari luar jeruji, Arga lekas memasang posisi siaga, berekspresi garang menampilkan taring-taring nan runcing. Beberapa prajurit berpelindung baju tempur memasuki penjara, "Raja ingin menemuimu." kata salah satu dari mereka terburu-buru. Mereka mengeluarkan Arga dari sel tanpa melepaskan ikatan rantai. Memaksanya berjalan di istana dalam keadaan terantai. Sebagai tawanan.
Puluhan penjabat dan Menteri berbaris rapi, di sekitar Aula,tampak tengah menunggu kedatangan Arga si Harimau putih. Ratu dan para pangeran, serta para putri duduk berdampingan, di sebelah kiri singgasana, bersama penjabat dan para pendampingnya dari kerajaan. Di sisi kanan, paling dekat dengan singgasana ketimbang yang lainnya, duduklah Nawang Barawa .
Di singgasana, Raja mengerjapkan mata, kemudian memandangi Arga sambil mengangkat alis, "Arga Giandra Bratajaya, Aku menyanjung keberhasilanmu dalam perang sebelumnya." Ada nada ketus dalam suaranya.
"Masih dalam tugasmu sebagai Banding Agung, jadi kali ini kau ku perintahkan untuk menghancurkan penghalang yang selama ini menganggu berkembangnya Kerajaan kita, yakni Orang Darat, yang berada di Zona Terlarang, beri mereka dua pilihan, bergabung dengan kerajaan atau binasa." Dia menyeringai bengis, memamerkan gigi-giginya yang putih.
Ternyata selama ini Arga hanya terkena tipu muslihat yang sudah dipersipakan, mulai dari minta tolong di hutan, menjadi Banding Agung, hingga peperangan yang menewaskan Nehan. Semua itu sudah jadi wacana Raja sejak awal. Tujuan utamanya ialah untuk menghancurkan sukunya. Memaksa mereka mematuhi perintah kerajaan, mengontrol mereka, ingin mengambil sumber daya mereka, serta kekuatan mereka.
"Grooaaar... Grrooarr... Ggrrr." Arga berontak dari kukungannya, dia ingin menerkam Raja biadab itu, para prajurit dengan sigap menarik tali, dan menodongkan senjata. menahannya di tempat.
"Jika kau keberatan kau boleh saja menolak." Raja mengatupkan kedua tangan ke depan tubuh sembari bersandar, lalu melanjutkan, "Tapi kau akan kehilangan ibumu!." ancamnya ,dia mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu ruangan yang terbuka lebar.
Menampakkan wanita paruh baya yang meronta-ronta di tengah-tengah lingkaran pengawal , sedang terkekang, mulutnya dibekap, tangannya diikat ke belakang punggung. Sesuai perintah, salah satu Pengawal melepaskan bekapan di mulutnya, "Nak.... Arga... Ini ibu nak..." Dia tersenyum penuh kasih kepada anaknya, Suaranya tampak lirih.
Raja memberi isyarat jari, menyudahi pertemuan singkat antara ibu dan anak, Kedua pengawal terus mendorong, tidak memberinya kesempatan untuk memulihkan keseimbangan. Sungguh sebuah pemandangan yang memilukan.
Simpati yang barusan Arga rasakan telah lenyap, digantikan amarah yang berkilat-kilat di mata birunya. Amarahnya ditujukan kepada kaisar. Dia menengadah, mendesis kepada sang penguasa singgasana dan istana. Cakar-cakar tajamnya tertekuk ke lantai mosaik dari petak-petak marmer shapire dan granit putih, ingin mencakar mereka hingga tercabik-cabik.
"Aku anggap kau menyetujuinya Arga, Baiklah dalam 3 hari lagi kau akan menjalankan ekspedisi ke kampung halamanmu." perintah Raja, Senyumnya mengambang, tindak tanduknya santai, bahkan bahunya tampak rileks tanpa rasa bersalah, tanpa beban ataupun ketegangan.
Nawang tiba-tiba berdiri dari kursinya meneriakkan yel-yel Kerajaan, "Maheswara adalah negara abadi, terlahir dari kekuatan kita, kekuasaan kita, capaian kita, juga pengorbanan kita. Orang Darat, dan orang laut tidak berhak merebut kepunyaan kita ataupun mengubah diri kita. Mereka bukan apa-apa dibandingkan kita, tidak peduli siapa sekutu mereka."
Sontak semua orang di ruangan ikut menyahut, mengikuti yel-yel Nawang. Seakan menunjukkan kepada khalayak bahwa Kerajaan Maheswara Memegang kekuasaan untuk mengubah dunia, siap mengontrol kekuatan dari Orang Darat, dan Orang Laut yang tak terbayangkan untuk mengecap kemenangan
Dalam kenyataan pahit Arga menyadari, Dia sekarang tak lebih dari sekedar piaraan yang awalnya di agung-agungkan karena tugas mulia, namun setelahnya dikurung, dan dirantai erat-erat. Arga mendengus, 'Piaraan sekalipun bisa menggigit' pikir Arga.◇❖❖◇ |Arga|Cahaya matahari yang nampak dari balik jendela sel kian memudar, mulai menyongsong kegelapan menandakan malam kembali.Sudah genap dua hari aku di kurung di balik kandang dingin nan membekukan ini, besok aku akan membantai sukuku sendiri, tempat lahirku, keluargaku. Jika dipiki-pikir, bukankah kelakuanku tidak lebih bejat dari pamanku sendiri, bukankah usaha ayahku akan sia-sia jika anaknya berakhir kelam seperti saudaranya sendiri?. Rasa bersalah terus menghantui ku.Dalam kegelapan nan hampa, aku terus memikirkan Jika bukan karena mereka menculik ibuku, mengancamku dengan ibuku. Aku terus merutuki kebodohan ku yang awalnya ingin mencari Anggrek Berlian untuk menyembuhkan ibuku, malah jatuh terjebak dalam kemunafikan mereka."Makam malam." Seonggok daging memenuhi nampan diselipkan melalui celah sel. Setelahnya prajurit itu berlalu meninggalkan ku kembali bersama kegelapan. Aku kembali meringkuk membenamkan kepalaku,
|Arga| Seiring jam demi jam berlalu, udara seolah membakar paru-paru dan mengeringkan tenggorokanku. Sensasi tersebut hanya disamai oleh ototku yang serasa dijalari api. Ototku yang pegal menjerit-jerit seiring tiap langkah, seiring tiap ayunan kaki ke depan dan ke atas untuk mendaki batu-batu terjal, yang mengarah ke puncak tebing. Udara semakin dingin semakin tinggi aku naik, sedangkan kakiku sesekali terpeleset di tanah licin berselimut kubangan lumpur dan permukaan cadas berkerikil. Meskipun ngilu, aku terus maju. Lautan berombak membentang di hadapanku. Uap air di udara berkondensasi dan jatuh, membasahiku. Kabut disusul oleh hujan, yang menderas dalam sekejap. Bagaikan hujan badai yang tiba-tiba. Aku sudah basah kuyup dalam hitungan detik, di tengah terpaan hujan. Aku menghirup udara dalam-dalam, membiarkan bau tajam hujan berbaur tanah menusuk indraku. Di atas, langit mendung berair menyembunyikan matahari. Seaka
|Arga|"Nak bangun." kurasakan suara yang kelewat lembut, mengusik pendengaranku memaksaku untuk terbangun, mataku menyipit tak kala terkena silauan cahaya mentari pagi. Aku terpaku, nafasku tersengal. Ku pandangi sekitarku, untuk mencari tahu keberadaan nya.Semua tata letak perabotan, lukisan, pahatan terlihat akrab dan nampak sama dengan rumahku. 'Apakah aku kembali ke rumah, Bukankah aku sudah tenggelam di lautan?, tapi siapa yang membawaku pulang?.' Batinku bertanya-tanya. Aku tersadarkan oleh riuhnya suara burung, yang berkicau di bawah langit kebiruan bertabur sinar keemasan.Mataku tertumbuk ke asal suara ramah yang membangunkan ku tadi. Aku mendapati sebuah wajah yang malah lebih ramah lagi. "Ibu?!." Kagetku. "Apa benar ini ibuku?, Nyonya Arjanti Baratajaya?." merasa tak percaya, aku menampar kedua pipiku keras. Aku melenguh tak kala merasakan nyeri di kedua pipiku. Orang yang kuyakini sebagai ibuku terheran-heran, "Ada apa denganmu, nak?. Apakah
Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.Rumah itu sendiri,
"Oh jadi itulah sebabnya, suku kita tidak mau bekerjasama dan mematuhi peraturan kerajaan Maheswara." Celutuk Barra, pemuda tampan bersurai perak, sembari mengusap-usap Sigung peliharaan di pangkuannya.Arga tersenyum tipis, sesuai perkiraannya, Orang Kerajaan memang sudah bertindak. "Itulah sebabnya aku mengumpulkan kalian disini, karena aku tidak ingin jika suatu saat nanti, suku kita akan berakhir hancur, hanya karena kita menganggap remeh dan menutup sebelah mata atas penyabotasean ini.""Menurutku kita sebagai generasi muda dalam suku, memang harus melakukan tindakan secepat mungkin." Komentar Farra serius.Arga bangkit dengan keluwesan nan anggun. Ekspresinya tak terbaca,"Oleh sebabnya, disini aku sangat mengharapkan dedikasi kalian, sebagian sudahku rancangkan upaya apa saja yang harus kita lakukan." Arga membuka buku agendanya, dia tampak memilah-milah, "pertama, Melakukan pengamanan, dengan berjaga-jaga dan mengingat kapan saja jadwal penyer
◇❖❖◇Seusai dari pertemuan rapat tadi pagi bersama para sahabatnya, siangnya Arga melanjutkan pergi ke balai desa ingin meminta izin atas kepergiannya kepada sang kepala suku.Tok... Tok... TokArga mengetuk pelan pintu ruang belajar Eyang Abimayu, dia tampak gugup, karena ini kali pertamanya meminta izin secara resmi. Jika sebelumnya, Arga langsung melarikan diri dari desa tanpa sepengetahuan teman dan para warga. Mengakibatkan dirinya berakhir tragis. Kini demi tugas melindungi desa dan rencana balas dendamnya, dia harus bisa membuktikan kepada gurunya itu, bahwa dia bisa dipercayai dalam mengatasi masalah suku."Masuk." suaranya pelan dan tegas. Arga memasuki ruangan yang dipenuhi senjata-senjata tradisional, dengan rak-rak buku menjulang di setiap sisi. Eyang tengah sibuk membaca berkas-berkas yang menggunung, kepalanya menyembul dari tumpukan-tumpukan dokumen."Ada apa Arga?." Tanya Eyang Abimayu t
◇❖❖◇Setelah mengemas dan mempersiapkan segala pembekalan, Arga siap bepergian. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai rencananya. Namun, demi keamanan, Arga meninggalkan Nehan untuk mengurus Ibu. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Orang Darat terbongkar, karena akan terlalu mencolok membawa seekor Harimau ke khalayak banyak.Kini Arga menyusuri hutan belantara. Setelah berpamitan dengan Eyang, ibu, beserta para sahabatnya. Kakinya akan menapaki jalan selama satu hari dua malam. Suasana hutan masih terasa sama seperti dua bulan yang lalu. Ketika dirinya masih seorang pemuda polos yang gampang dimanfaatkan.Kini setelah semua peristiwa tersebut, menjadikannya diri yang baru, dewasa, ambisius, dan penuh rencana. Dia tidak akan mudah terpengaruh lagi, walaupun harus kembali ke kandang Singa. Dia sudah menyiapkan strategi agar bisa menghukum Singa.Beberapa saat menjelajah kini Arga telah sampai di sebuah lembah, dia merasa kelelahan
Kini Arga, sedang mengitari pasar plaza yang ada di depan gerbang istana. Dia ingin menyempatkan diri untuk menikmati beberapa makanan lokal.Sebelum kerajaan mengubahnya menjadi guru sang pangeran, selagi dia masih bisa berjalan bebas tanpa harus menyembunyikan diri dalam balutan tudung tebal nan menggerahkan. karena di kehidupan yang lalu, dia tidak sempat untuk menjelajahi salah satu pusat perbelanjaan teramai di Kerajaan itu, apalagi hanya sekedar untuk mencicipi makanannya. Di sisi kanan dan kiri jalan nampak kios-kios penjual kaki lima yang di penuhi aneka barang lengkap, mulai dari kebutuhan pokok, barang-barang unik, hingga barang-barang magis. Para pedagang terlihat cukup sibuk untuk menjajakan barang dagangan yang dimiliki.Arga memutuskan untuk memasuki sebuah kedai teh. Kedai itu penuh ramai dengan pengunjung, untungnya masih ada satu tempat duduk kosong yang berada di ujung ruangan.Lantas Arga segera menuju kesana, t