Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT.
Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan.
Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja.
"Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku.
Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau.
"Halo. Assalamulaiakum Yo."
"Waalaikumsalam mbak." Jawab Satrio dengan antusias.
"Aku ada kejutan untuk Mbak Bunga dan Mawar." Kata Satrio yang membuat keningku berkerut bingung.
"Kejutan apa Yo? Apa kamu titipkan ke Ibu?" Tanyaku penasaran.
"Buka pintunya sekarang mbak. Ada paket di depan."
Karena penasaran dengan perkataan Satrio, aku berjalan menuju pintu depan lalu membuka pintu yang tertutup. Saat membuka pintu, Satrio sudah berdiri dengan membawa sebuket bunga di tangannya.
"Assalamualaikum." Sapa Satrio lalu memeluk tubuhku.
"Waalaikumsalam." Aku balas memeluk tubuh adik laki-lakiku itu.
Tanpa terasa air mataku sudah mengalir. Tidak lama kemudian suara isak tangis keluar dari bibirku. Untuk mengeluarkan segala beban yang selama ini aku tahan. Satrio yang mendengar suara tangisku semakin mengerat pelukannya.
"Ayo kita masuk dulu mbak. Nanti di dalam Mbak Bunga bisa menangis sepuasnya." Aku menganggukan kepala lalu mengurai pelukan kami.
Ternyata Satrio membawa banyak barang. Ada beberapa mainan boneka untuk Mawar, buah-buahan dan masih banyak lagi barang yang lain.
"Duduk dulu Yo. Mbak minta maaf karena menangis waktu kamu baru datang." Ujarku setelah pelukan kami terlepas. Satrio justru menggelengkan kepalanya.
"Mbak nggak perlu minta maaf. Justru itu tujuanku datang kesini secara mendadak. Aku mau melihat keadaanmu dan Mawar. Ibu sudah sejak lama khawatir dengan keadaan kalian. Rencananya hari ini Ibu yang datang kesini. Tapi, aku mengajukan diri agar Ibu tidak kelelahan. Sekarang aku mau melihat Mawar mbak. Aku mau melakukan video call dengan Ibu."
Aku hanya bisa menundukan kepala. Memang sudah sejak lama aku tidak melakukan video call dengan Ibu. Hal itu aku lakukan agar Ibu tidak melihat kondisi Mawar yang semakin memprihatinkan.
Tanpa menungguku lebih dulu, Satrio sudah beranjak ke ruang tengah. Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Langkah Satrio berhenti saat melihat penampilan Mawar yang memakai kaos dan celana kebesaran karena tubuhnya yang memang sangat kurus.
"Ya Allah Mawar." Satrio sudah jongkok menghadap ke arah Mawar.
"Mawar ingat sama Paklek?" Mawar menatap Satrio dengan pandangan bingung.
"Ini Paklik Satrio. Adiknya Ibu. Salim dulu sama Lik Satrio sayang." Aku meraih tangan Mawar. Namun, putriku sudah menepisnya.
"Aku cuma mau sama Ibu. Lik Yo adiknya Bapak juga." Aku menggelengkan kepala. Tahu kenapa Mawar bisa bersikap seperti ini.
"Lik Yo beda sama Pakde Budi dan Bude Yuni. Lek Yo cuma adiknya Ibu. Jadi, Lek Yo itu orang baik." Jelasku sesederhana mungkin agar Mawar mengerti.
"Ibu benar. Lek Yo orang baik. Buktinya Paklek bawa boneka yang banyak untuk Mawar." Kata Satrio berusaha menarik perhatian putriku. Mata bulat Mawar seketika membesar saat melihat salah satu mainan boneka yang sudah di keluarkan dari wadahnya.
Tangan kecilnya lalu menerima boneka yang berbentuk beruang kecil itu. Dalam sekejap. Satrio sudah akrab dengan Mawar. Hingga waktu makan siang akhirnya tiba. Satrio melakukan panggilan video call dengan Ibu. Aku dan Ibu sama-sama menangis untuk melepas rindu. Apalagi saat Ibu melihat kondisi Mawar melalui layar ponsel Satrio.
"Kamu nggak boleh diam saja saat di jahati jika itu sudah berkaitan dengan anak nduk."
"Tapi, aku takut Bu. Aku sama sekali nggak pegang uang jika mau bercerai dari Mas Ragil." Aku bisa merasakan tangan Satrio yang merangkul bahuku.
"Kamu nggak perlu takut. Karena itulah belajar usaha dari sekarang. Ibu juga tidak memintamu untuk memutuskan bercerai saat ini juga nak. Tapi, kamu perlu memberi pelajaran pada mereka. Seraya berdoa agar sikap Ragil suatu saat bisa berubah."
"Lalu apa yang harus aku lakukan Bu?" Tanyaku lagi. Karena pikiranku sudah benar-benar buntu.
Ibu lalu mengatakan rencananya yang akan melibatkan Satrio. Awalnya aku sempat keberatan karena tidak ingin Satrio merasa terbebani dengan masalahku. Tapi, adikku itu meyakinan dia masih bisa membantu karena Satrio belum ada tanggungan apapun. Yaitu istri dan anak.
***
"Waaah. Ada ikan." Mawar bertepuk tangan senang melihat ikan kakap di atas meja.
Ini pertama kalinya Mawar makan ikan selain di bulan puasa atau saat lebaran. Gadis kecilku itu sudah duduk di pangkuan pakleknya. Mulutnya makan dengan lahap.
Tok... tok... tok...
"Bunga buka pintunya." Itu suara teriakan Ibu mertuaku. Jika dia datang kesini pasti ada saja masalah yang akan di bawa.
"Aku tinggal dulu ya Yo. Tiitip Mawar sebentar."
"Iya mbak."
Aku segera membuka pintu depan agar Ibu berhenti berteriak. Ternyata tidak hanya Ibu mertua yang datang. Tapi, juga Mbak Sindi dan Mbak Yuni, kakak kedua dan kakak ketiga Mas Ragil.
PLAK
Tamparan keras langsung mendarat di pipi kananku hingga membuat langkagku sedikit terhuyung. Mbak Sindi dan Mbak Yuni terlihat puas sekali saat melihat aku di tampar oleh Ibu mereka.
"Apa maksudnya ini Bu? Kenapa Ibu sampai menampar aku?"
"Kamu masih tanya kenapa? Apa kamu nggak punya malu bawa pria lain masuk ke dalam rumah saat Ragil sedang bekerja hah?" Teriakan ibu membuat tetangga di sekitar rumah seketika keluar dari rumah mereka.
"Aku nggak bawa pria lain masuk ke rumahku." Bantahku tegas. Ku tahan air mata yang hampir jatuh agar tidak mengalir. Aku sudah tidak ingin lagi terlihat lemah di depan mereka.
"Jangan bohong kamu Nga. Itu buktinya ada mobil selingkuhan kamu di depan." Tunjuk Mbak Sindi ke arah mobil berwarna putih yang baru kusadari keberadaannya.
"Ayo kita masuk sekarang. Berani sekali si Bunga selingkuh saat Ragil kerja." Kata Ibu mertua yang mendorong tubuhku di dorong hingga menabrak pintu.
Ibu mertuaku masih terus mengomel hingga ia berhenti di ruang makan yang merangkap sebagai dapur. Begitu juga dengan Mbak Sindi dan Mbak Yuni.
"Eh ada Satrio." Ibu mertuaku tersenyum lalu menyalami Satrio dengan senyum mengembang.
"Iya ini saya. Bukan selingkuhannya Mbak Bunga." Jawab Satrio dengan nada datar.
"Kalau bisa jangan teriak-teriak ya Bu. Kasihan Mawar sampai ketakutan seperti ini. Anak kecil pasti mengira dia yang di bentak."
"Siapa juga yang lagi membentak Mawar. Kamu ini yang terlalu berlebihan Yo." Jawab Mbak Sindi tidak terima.
"Aku tidak mengatakan jika kalian membentak Mawar. Suara teriakan kalian yang membuat Mawar takut karena mengira dia sedang di bentak. Apa kuping Mbak Sindi itu budek?"
Ibu mertuaku menahan tangan Mbak Sindi agar tidak bicara lagi. Beliau lalu duduk di balik meja makan. "Ini semua kamu yang belikan Yo." Tunjuk Ibu Mas Ragil ke arah meha.
"Iya. Soalnya Mawar termasuk kurang gizi. Maklum gaji Mas Ragil yang cuma empat juta itu masih harus di bagi sama Ibu dan kakak-kakaknya. Jadi, gizi anaknya sendiri terabaikan." Sindiran Satrio telak yang membuat wajah Ibu mertuaku berubah warna menjadi merah.
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu
“Apa? Kamu nuduh Ragil selingkuh? Jangan sembarangan ya Yo.” Seru Ibu mertua penuh amarah. “Iya. Saya nggak cuma nuduh. Saya punya buktinya kalau Mas Ragil sudah selingkuh sama orang lain. Karena saya tidak sengaja melihat mereka berdua berjalan di mall sambil bergandengan tangan mesra. Sayang sekali, saya tidak bisa memotret wajah selingkuhan Mas Ragil.” Kenapa Satrio justru membeberkan hal itu sekarang? Padahal kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan Mas Ragil dan keluarganya tahu tentang perselingkuhan di antara Mas Ragil dan Arum. “Baik. Aku tidak akan pernah menagih gaji Ragil yang di berikan untuk membeli barang-barang Bunga dan Mawar hari ini. Kamu harus hapus foto itu sekarang juga.” Satrio mengambil hpnya. Kedua mataku membulat saat Satrio memperlihatkan foto Mas Ragil dengan seorang wanita. Tapi, aku tidak yakin jika itu bukan foto suamiku karena bentuk badannya yang berbeda. “Saya hapus sekarang. Puas kan Bude?” Foto itu sudah terhapus dari hp Satrio. “Sekarang silah
“Jangan bohong kamu Bunga. Memangnya kamu beli apa saja buat uang dua ratus ribu bisa habis kurang dari satu hari? Ibu saja bisa mengatur uang itu untuk dua hari.” Aku mengambil dompet dari dalam tas lalu menyerahkan tiga kertas struk pada Mas Ragil. “Tadi aku beli vitamin dan persediaan obat di apotek. Itu sudah habis delapan puluh ribu. Terus beli susu buat Mawar di salah satu toko habis delapan puluh ribu. Sisanya buat beli buah yang sudah aku masukan ke dalam kulkas.” ‘Selain itu, aku juga beli make up buat diriku sendiri. Untung saja masih ada sisa uang dari Satrio kemarin.’ Sambungku di dalam hati. “Berat badan Mawar kan sudah naik. Kenapa juga kamu masih harus beli vitamin dan susu. Mawar itu bukan bayi lagi.” Ibu mertua merebut kertas struk dari tangan Mas Ragil lalu merobeknya tanpa ampun. “Ibu benar Nga. Kalau bukan untuk membayar hutang pada Satrio aku tidak akan meminjam uang padamu.” Hardik Mas Ragil hingga membuat Mawar menangis. Aku menggendong Mawar lalu menepuk pun
Kepalaku terasa sangat pusing saat berusaha untuk membuka mata. Dinding dan atap yang berwarna putih adalah hal pertama yang aku lihat. Aku berusaha bangun, tapi rasa sakit di kepalaku justru menjadi lebih parah. “Jangan bangun dulu, nduk.” Aku menoleh pada Ibu yang duduk di kursi samping tempat tidur. “Aku dimana Bu?” Tanyaku pelan. “Kamu sekarang di puskesmas. Satrio nelpon Ibu kalau kepala kamu berdarah tadi. Untung lukanya nggak parah.” “Mawar dimana?” Tanyaku saat mengingat putriku. Aku ingat saat mendudukan Mawar di kursi makan. Berdebat dengan Mas Ragil dan Ibu mertua. Aku mengambil hpnya saat Arum menelpon lalu Mas Ragil mendorong tubuhku hingga terantuk meja. Aku takut jika Mawar juga akan terluka sama seperti denganku. Ibu kembali menyuruhku untuk berbaring di tempat tidur. “Kamu tenang saja nduk. Mawar aman bersama dengan Satrio. Untung saja adikmu tadi datang ke rumah kalian. Karena suami dan Ibu mertua kamu justru saling berdebat tanpa memperdulikan Mawar yang sedang