Share

Bab 4 Mencoba Bangkit

Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT.

Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan.

Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja.

"Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku.

Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau.

"Halo. Assalamulaiakum Yo."

"Waalaikumsalam mbak." Jawab Satrio dengan antusias.

"Aku ada kejutan untuk Mbak Bunga dan Mawar." Kata Satrio yang membuat keningku berkerut bingung.

"Kejutan apa Yo? Apa kamu titipkan ke Ibu?" Tanyaku penasaran.

"Buka pintunya sekarang mbak. Ada paket di depan."

Karena penasaran dengan perkataan Satrio, aku berjalan menuju pintu depan lalu membuka pintu yang tertutup. Saat membuka pintu, Satrio sudah berdiri dengan membawa sebuket bunga di tangannya.

"Assalamualaikum." Sapa Satrio lalu memeluk tubuhku.

"Waalaikumsalam." Aku balas memeluk tubuh adik laki-lakiku itu.

Tanpa terasa air mataku sudah mengalir. Tidak lama kemudian suara isak tangis keluar dari bibirku. Untuk mengeluarkan segala beban yang selama ini aku tahan. Satrio yang mendengar suara tangisku semakin mengerat pelukannya.

"Ayo kita masuk dulu mbak. Nanti di dalam Mbak Bunga bisa menangis sepuasnya." Aku menganggukan kepala lalu mengurai pelukan kami.

Ternyata Satrio membawa banyak barang. Ada beberapa mainan boneka untuk Mawar, buah-buahan dan masih banyak lagi barang yang lain.

"Duduk dulu Yo. Mbak minta maaf karena menangis waktu kamu baru datang." Ujarku setelah pelukan kami terlepas. Satrio justru menggelengkan kepalanya.

"Mbak nggak perlu minta maaf. Justru itu tujuanku datang kesini secara mendadak. Aku mau melihat keadaanmu dan Mawar. Ibu sudah sejak lama khawatir dengan keadaan kalian. Rencananya hari ini Ibu yang datang kesini. Tapi, aku mengajukan diri agar Ibu tidak kelelahan. Sekarang aku mau melihat Mawar mbak. Aku mau melakukan video call dengan Ibu."

Aku hanya bisa menundukan kepala. Memang sudah sejak lama aku tidak melakukan video call dengan Ibu. Hal itu aku lakukan agar Ibu tidak melihat kondisi Mawar yang semakin memprihatinkan.

Tanpa menungguku lebih dulu, Satrio sudah beranjak ke ruang tengah. Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Langkah Satrio berhenti saat melihat penampilan Mawar yang memakai kaos dan celana kebesaran karena tubuhnya yang memang sangat kurus.

"Ya Allah Mawar." Satrio sudah jongkok menghadap ke arah Mawar.

"Mawar ingat sama Paklek?" Mawar menatap Satrio dengan pandangan bingung.

"Ini Paklik Satrio. Adiknya Ibu. Salim dulu sama Lik Satrio sayang." Aku meraih tangan Mawar. Namun, putriku sudah menepisnya.

"Aku cuma mau sama Ibu. Lik Yo adiknya Bapak juga." Aku menggelengkan kepala. Tahu kenapa Mawar bisa bersikap seperti ini.

"Lik Yo beda sama Pakde Budi dan Bude Yuni. Lek Yo cuma adiknya Ibu. Jadi, Lek Yo itu orang baik." Jelasku sesederhana mungkin agar Mawar mengerti.

"Ibu benar. Lek Yo orang baik. Buktinya Paklek bawa boneka yang banyak untuk Mawar." Kata Satrio berusaha menarik perhatian putriku. Mata bulat Mawar seketika membesar saat melihat salah satu mainan boneka yang sudah di keluarkan dari wadahnya.

Tangan kecilnya lalu menerima boneka yang berbentuk beruang kecil itu. Dalam sekejap. Satrio sudah akrab dengan Mawar. Hingga waktu makan siang akhirnya tiba. Satrio melakukan panggilan video call dengan Ibu. Aku dan Ibu sama-sama menangis untuk melepas rindu. Apalagi saat Ibu melihat kondisi Mawar melalui layar ponsel Satrio.

"Kamu nggak boleh diam saja saat di jahati jika itu sudah berkaitan dengan anak nduk."

"Tapi, aku takut Bu. Aku sama sekali nggak pegang uang jika mau bercerai dari Mas Ragil." Aku bisa merasakan tangan Satrio yang merangkul bahuku.

"Kamu nggak perlu takut. Karena itulah belajar usaha dari sekarang. Ibu juga tidak memintamu untuk memutuskan bercerai saat ini juga nak. Tapi, kamu perlu memberi pelajaran pada mereka. Seraya berdoa agar sikap Ragil suatu saat bisa berubah."

"Lalu apa yang harus aku lakukan Bu?" Tanyaku lagi. Karena pikiranku sudah benar-benar buntu.

Ibu lalu mengatakan rencananya yang akan melibatkan Satrio. Awalnya aku sempat keberatan karena tidak ingin Satrio merasa terbebani dengan masalahku. Tapi, adikku itu meyakinan dia masih bisa membantu karena Satrio belum ada tanggungan apapun. Yaitu istri dan anak.

***

"Waaah. Ada ikan." Mawar bertepuk tangan senang melihat ikan kakap di atas meja.

Ini pertama kalinya Mawar makan ikan selain di bulan puasa atau saat lebaran. Gadis kecilku itu sudah duduk di pangkuan pakleknya. Mulutnya makan dengan lahap.

Tok... tok... tok...

"Bunga buka pintunya." Itu suara teriakan Ibu mertuaku. Jika dia datang kesini pasti ada saja masalah yang akan di bawa.

"Aku tinggal dulu ya Yo. Tiitip Mawar sebentar."

"Iya mbak."

Aku segera membuka pintu depan agar Ibu berhenti berteriak. Ternyata tidak hanya Ibu mertua yang datang. Tapi, juga Mbak Sindi dan Mbak Yuni, kakak kedua dan kakak ketiga Mas Ragil.

PLAK

Tamparan keras langsung mendarat di pipi kananku hingga membuat langkagku sedikit terhuyung. Mbak Sindi dan Mbak Yuni terlihat puas sekali saat melihat aku di tampar oleh Ibu mereka.

"Apa maksudnya ini Bu? Kenapa Ibu sampai menampar aku?"

"Kamu masih tanya kenapa? Apa kamu nggak punya malu bawa pria lain masuk ke dalam rumah saat Ragil sedang bekerja hah?" Teriakan ibu membuat tetangga di sekitar rumah seketika keluar dari rumah mereka.

"Aku nggak bawa pria lain masuk ke rumahku." Bantahku tegas. Ku tahan air mata yang hampir jatuh agar tidak mengalir. Aku sudah tidak ingin lagi terlihat lemah di depan mereka.

"Jangan bohong kamu Nga. Itu buktinya ada mobil selingkuhan kamu di depan." Tunjuk Mbak Sindi ke arah mobil berwarna putih yang baru kusadari keberadaannya.

"Ayo kita masuk sekarang. Berani sekali si Bunga selingkuh saat Ragil kerja." Kata Ibu mertua yang mendorong tubuhku di dorong hingga menabrak pintu.

Ibu mertuaku masih terus mengomel hingga ia berhenti di ruang makan yang merangkap sebagai dapur. Begitu juga dengan Mbak Sindi dan Mbak Yuni.

"Eh ada Satrio." Ibu mertuaku tersenyum lalu menyalami Satrio dengan senyum mengembang.

"Iya ini saya. Bukan selingkuhannya Mbak Bunga." Jawab Satrio dengan nada datar.

"Kalau bisa jangan teriak-teriak ya Bu. Kasihan Mawar sampai ketakutan seperti ini. Anak kecil pasti mengira dia yang di bentak."

"Siapa juga yang lagi membentak Mawar. Kamu ini yang terlalu berlebihan Yo." Jawab Mbak Sindi tidak terima.

"Aku tidak mengatakan jika kalian membentak Mawar. Suara teriakan kalian yang membuat Mawar takut karena mengira dia sedang di bentak. Apa kuping Mbak Sindi itu budek?"

Ibu mertuaku menahan tangan Mbak Sindi agar tidak bicara lagi. Beliau lalu duduk di balik meja makan. "Ini semua kamu yang belikan Yo." Tunjuk Ibu Mas Ragil ke arah meha.

"Iya. Soalnya Mawar termasuk kurang gizi. Maklum gaji Mas Ragil yang cuma empat juta itu masih harus di bagi sama Ibu dan kakak-kakaknya. Jadi, gizi anaknya sendiri terabaikan." Sindiran Satrio telak yang membuat wajah Ibu mertuaku berubah warna menjadi merah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kakak mu yg tolol dan mampunya mengangkang dan menye2. udah tau suami selingkuh malahan cuman menangis.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status